Report: The ROOTS OF SEATTLE SOUND Kamis, 28 Mei 2009 @ Prost Beer House, Kemang, Jakarta – Indonesia
Grunge, Akankah Sekedar Masa Lalu? Pada akhirnya, ruang di depan panggung dalam sebuah kafe di sudut Kemang, Jakarta Selatan, itu kembali sepi. Sejak awal, gig itu memang tidak berhasil membuat Prost Beer Café pada Jumat malam (28/5) sesak oleh pengunjung. Apakah ini terjadi karena musik yang dimainkan oleh pemusik di atas panggung disebut sebagai "grunge"? Dan entah sebab apa pula, panitia memberi tajuk gig tersebut dengan “The Roots of Seattle Sounds”. Judul tersebut mengesankan seolah-olah grunge sudah jauh terbenam dan kembali meringkuk di lembabnya cuaca Seattle, kota kecil di Washington, Amerika Serikat, yang sering disebut-sebut sebagai tanah air grunge. Dalam periode ledakannya, grunge memang tidak sekedar dicatat sebagai genre semata. Mereka lahir dan menguasai dunia pada saat angin politik sedang bergerak untuk perubahan besar. Seperti FLOWER GENERATION pada 1960-an yang lahir karena kekesalan akibat Perang Vietnam, grunge-mesti tidak terkait langsung dengan politik internasional kala itu-muncul di masa transisi berakhirnya perang dingin antara blok barat dan blok timur. Entah kebetulan atau tidak, hingar-bingar grunge mereda seiring dengan meredanya ideologi komunisme yang diwakili Uni Soviet sebagai lawan tanding kapitalisme-liberal yang digenggam Amerika Serikat. Tahun 1994 mungkin bisa dicatat sebagai turning point of grunge. Pada tahun kelam itu, kematian Kurt Cobain pada 8 April 1994 membubarkan salah satu ikon Seattle Sound, NIRVANA. Pada tahun yang sama, PEARL JAM membatalkan konser musim panas. Salah satu mainstreams of Seattle Sound itu keberatan terhadap agen tiket mereka, Ticketmaster yang memasang tarif konser mereka terlalu mahal. Seakan menggelinding, keruntuhan grunge dilanjutkan dengan penampilan terakhir ALICE IN CHAINS pada 1996. Enam tahun setelah itu, vokalis Alice in Chains, Layne Staley, tewas karena overdosis setelah mengasingkan diri. Pada tahun kematian Staley, dua punggawa Seattle Sound lainnya, SOUND GARDEN dan SCREAMING TREES, meluncurkan rekaman terakhir lewat album "Down on the Upside" dan "Dust". Setelah rentetan peristiwa itu, grunge seperti memilih diam dan menyendiri di Seattle. Kini, barangkali hanya Pearl Jam yang menjadi simbol eksistensi kejayaan grunge. Kemunculan album "Riot Act" yang elegan pada 2002, seperti menjadi seruan pengingat awak Seattle Sound kepada penggila grunge di seluruh dunia: “kami masih ada.” Lalu, apakah makna gig “The Roots of Seattle Sound” dengan beban sejarah grunge yang tak manis itu? = = = = = = Selengkapnya, baca dong di www.jurnallica.com