On Thu, Nov 16, 2006 at 02:15:28PM +0700, Sumitro wrote:
> Ronny Haryanto writes: 
> >On Thu, Nov 16, 2006 at 12:35:14PM +0700, Sumitro wrote:
> >>Kita memang perlu menginfo-kan ke publik, bahwa tindakan negosiasi dg 
> >>satu Vendor khusus saja adalah salah dan merugikan kepentingan nasional.  
> >>
> >>Masih ada kesempatan kepada kita untuk membuktikan bahwa LINUX bagi 
> >>masyarakat umum adalah pilihan terbaik.
> >
> >Dua kalimat di atas bertentangan, lho. 
> >
> >Yg paling sip itu ya diberi kebebasan untuk memilih mana yg terbaik
> >untuk tiap kasus. Saya gak mau pemerintah ikut mencampuri urusan saya
> >menentukan saya mau pake apa. Biar pemerintah menentukan apa yg mereka
> >pake sendiri aja, bukan apa yg masyarakat pake. 
> >
> >Mungkin yg anda maksud kita harus menunjukkan kalo Linux (dan yg
> >lain2) juga patut dipertimbangkan. 
> 
> Untuk memborong 600.000 SW MS itu pakai duitnya siapa?
> Khan itu duit rakyat, jadi harus bisa membuktikan bahwa keputusan itu 
> adalah yg terbaik bagi kepentingan jangka pendek maupun panjang Rakyat 
> Indonesia.
> Kalau duit kantong pribadi, boleh saja semau gue! 
> 
> Mau bikin perbandingan? Silahkan! 

Anda betul. Mungkin cara menulis saya tadi kurang bagus jadi
saya memberi kesan yg salah.

Saya bukannya tidak menyetujui kalo pemerintah tidak boleh pilih kasih
dan hanya menganak emaskan satu vendor saja. Dan saya juga bukannya
tidak setuju kalo Linux adalah salah satu pilihan yang sangat
menjanjikan dan patut dipertimbangkan.

Point saya adalah kalo pemerintah ga boleh main favorit ke satu
vendor, artinya vendor mana saja, bukan cuma Microsoft aja, termasuk
ke vendor2 Linux juga. Semuanya harus melalui proses seleksi yg fair,
jelas dan transparan kriteria dan proses pemilihannya.

Walaupun saya supporter Linux tapi saya juga menyadari kalo tidak
semua kebutuhan bisa diselesaikan dengan Linux. Linux juga punya
kekurangan2nya sendiri. Ini kita juga harus fair. Kriteria pemilihan
tidak seharusnya cuma masalah biaya semata. Walaupun cuma biaya pun,
biaya itu bukan cuma initial cost (harga beli) saja, tapi TCO itu kan
termasuk biaya maintenance, support, resources (human and otherwise),
seperti yg anda katakan harus untuk jangka panjang juga bukan cuma
awalnya saja.

Semua itu mesti disesuaikan dengan kebutuhan, dan gak bisa dipukul
rata, karena pemerintah kan mengurusi banyak bidang. Kalo kita
mikirnya cuma pekerja kantoran yg sehari2 pake Word, Excel sama web
browser sih itu mungkin typical, tapi tidak mencakup semua. Contohnya
mungkin misalnya badan meteorologi deh katakanlah, kalo mereka punya
software utk weather forecasting yg cuma jalan di Windows atau Solaris
dan binary-only/proprietary/closed-source masa mau dipaksa suruh pake
Linux? Rewrite softwarenya supaya jalan di Linux? Itu kan juga biaya.

Makanya harus dibuat sejelas dan setransparan mungkin. Ini cakupannya
ke siapa saja? Badan pemerintah yg mana saja? Untuk kegunaan apa saja?
Exclusive atau nggak? Membuka lapangan kerja dalam negeri nggak?
Membuang2 duit ke luar negeri atau invest ke dalam negeri?

Saya bukannya supporter Linux yg backstabbing, tapi saya rasa ada
baiknya kalo kita juga fair dalam beradvokasi, jadi jangan sampe
memberikan ekspektasi yang berlebihan sehingga malah backfire sewaktu
ekspektasi itu tidak bisa tercapai. "Wah katanya Linux bisa gini gitu,
tapi kok ini gak bisa ya, wah Linux itu jelek ternyata."

Ini bukannya discouragement lho. Kita mesti tetep semangat berjuang,
tapi jgn sampe terjebak menawarkan yg di luar kemampuan.

Setelah dipikir2 lagi, point saya yg diberi kebebasan sesuai kebutuhan juga
mungkin kurang tepat. Mungkin ada baiknya pemerintah membuat guideline
utk badan2nya, jadi kalo ada kebutuhan2 yg umum sudah ditentukan
terlebih dahulu, misalnya kalo kebutuhan pengguna cuma pake office
apps dan browsing ya bisa dipakein Linux sama OpenOffice, misalnya.
Kalo gak ada pilihan lain, seperti contoh weather forecasting tadi, ya
mau gak mau. Jadi tidak exclusive.

Mudah2an saya gak terlalu ngelantur.

Ronny

Attachment: signature.asc
Description: Digital signature

Kirim email ke