Tuli Mengancam Kaum Muda
 
Menurut penelitian, ketulian menyerang orang makin dini. Penyebabnya adalah 
gaya hidup modern, seperti mendengarkan musik melalui earphone. 
Entakan irama musik menemani perjalanan Linda 'sebut saja begitu namanya' 
selama penerbangan dari Bangkok menuju Jakarta . 
Sejak pesawat lepas landas hingga mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, 
sekitar tiga setengah jam, earphone yang tersambung pada alat pemutar musik 
mini terus menempel di telinga gadis 18 tahun ini.
Semula Linda merasa asyik dan nikmat bisa mendengarkan musik kesayangannya 
tanpa peduli orang sekitar. Namun, ketika kupingnya tak lagi disumpal, dia 
terkejut.
Ternyata kupingnya terus berdengung dan gerebek-gerebek. Berkali-kali Linda 
menelan ludah, berharap dengungan dan rasa 'penuh' di telinga segera pergi, 
tapi gagal. 
Kupingnya malah makin budek. Hiruk-pikuk kesibukan bandara cuma terdengar 
sayup-sayup.
Untunglah, perlahan-lahan dengungan itu memudar. Tapi Linda merasa 
pendengarannya tak setajam sebelumnya. Kondisi ini memaksanya mendatangi klinik 
telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). ¨Dia mengalami ketulian sampai 110 
desibel,¨ kata Ratna D. Restuti, dokter spesialis THT dari Rumah Sakit 
Proklamasi, Jakarta Pusat, yang menangani gadis itu.
Angka 110 menunjukkan ukuran intensitas pendengaran atau audiogram. Untuk orang 
dengan pendengaran normal, audiogramnya terletak antara nol dan 20 desibel.. Di 
atas angka itu, artinya kondisi telinga sudah tidak beres.
Kebiasaan mendengarkan musik dengan alat yang langsung disumpalkan ke telinga 
(earphone) 'yang menjadi tren di kalangan anak muda masa kini' membuat prihatin 
Ratna. Apalagi lingkungan sekarang tak bebas dari kepungan suara bising: rumah 
dengan suara berbagai peralatan elektronik, jalan raya yang penuh kendaraan 
bermotor, tempat-tempat hiburan dengan musik keras, dan pabrik yang penuh 
geraman mesin. 
Menurut hasil penelitian Jenny Bashiruddin, yang juga ahli THT, efek bising ini 
memang luar biasa. ¨Tak ada yang menyadari, misalnya, pusat permainan anak-anak 
di mal juga sumber bising berbahaya, karena tingkat kebisingannya mencapai 
90-95 desibel,¨ kata Jenny, yang melakukan penelitian efek bising di berbagai 
tempat selama 2007.
Dengan tingkat suara setinggi itu, anak-anak seharusnya hanya boleh tinggal 
satu-dua jam. Jika lebih lama dari itu, akan terjadi kelelahan koklea (rumah 
siput), yang berperan penting dalam proses pendengaran. Kelelahan koklea yang 
terjadi terus-menerus dan tak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan 
pendengaran menetap. Menurut Jenny, makin sering dan lama diserbu kebisingan, 
makin cepat berkurang masa seseorang mampu mendengar secara normal. 
Alhasil, tuli pun makin dini menyerang orang. 
Ini rupanya menjadi kecenderungan global. Di Amerika Serikat, melalui 
penelitian lebih komprehensif, telah disimpulkan bahwa pendengaran sekitar 5,2 
juta anak berusia 6-19 tahun terganggu gara-gara terlalu sering terpapar musik 
keras akibat pemakaian Walkman dan iPod, kebiasaan menikmati televisi ukuran 
jumbo dengan suara menggelegar, atau pergi ke klub joget dengan musik tekno 
ajib-ajib.
Para ahli kesehatan di sana memperkirakan anak-anak iPod generation ini bakal 
lebih awal mengalami presbiakusis (tuli karena usia lanjut), yakni pada usia 
40-an tahun. Padahal, secara normal, pengurangan kualitas pendengaran baru 
terjadi saat menginjak usia 60-70 tahun. Kondisi Indonesia pun tidak jauh 
berbeda. Apalagi makin banyak saja orang wira-wiri dengan kabel bersumpal 
¨tertancap¨ di telinga.
Bila tidak percaya kedahsyatan dampaknya, lihat saja nasib Linda. Menurut 
Ratna, gadis muda itu didiagnosis mengalami tuli akibat bising karena telah 
mendengarkan musik dengan perangkat yang langsung menempel di telinga secara 
terus-menerus lebih dari tiga jam. Alat seperti ini semakin berakibat buruk 
karena si pemakai cenderung menggeber volume keras-keras agar telinga mereka 
tidak terganggu suara berisik di sekitarnya. ¨Seperti jika digunakan di 
kendaraan, termasuk pesawat dan kereta api,¨ kata Ratna.
Untunglah Linda segera mendapat pertolongan. Dengan terapi hiperbalik 
'memberinya obat-obatan khusus' tingkat ketuliannya berkurang, tapi tak sembuh. 
¨Tuli akibat bising memang cuma bisa dikurangi, tidak bisa pulih seratus persen 
jadi normal kembali,¨ ujar Ratna. Sebab, yang rusak adalah sel rambut pada 
organ telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap rangsangan atau frekuensi 
suara. Bila bagian ini sudah terganggu dan rusak, tak akan bisa kembali normal.
Menurut Damayanti Soetjipto, ahli THT dari Rumah Sakit MMC, Jakarta Selatan, 
paparan bising merupakan salah satu penyebab ketulian di Indonesia, yang 
kasusnya mencapai 0,4 persen dari total jumlah penduduk. Penyebab lainnya 
adalah congek, serumen (kotoran telinga), obat-obatan, usia lanjut, tuli sejak 
lahir, dan tuli mendadak. ¨Sebenarnya sebagian bisa dicegah, tapi kesadaran 
masyarakat soal ini masih rendah,¨ katanya.
Untuk mendongkrak kesadaran masyarakat itu, Komisi Nasional Penanggulangan 
Gangguan Pendengaran dan Ketulian dibentuk dan diresmikan Sabtu dua pekan lalu 
di Jakarta . Damayanti, yang menjabat sebagai ketua, menerangkan komisi 
nasional ini dibentuk atas rekomendasi lembaga regional yang dibentuk Badan 
Kesehatan Dunia (WHO), Sound Hearing 2030.
Tujuan utamanya mengurangi kasus gangguan pendengaran dan ketulian hingga 50 
persen pada 2015, dan 90 persen dalam 15 tahun berikutnya.
Masalahnya, kebisingan belum dianggap sebagai ancaman serius. Bising malah 
dianggap keren.. Beberapa aktivitas kehidupan modern identik dengan kebisingan. 
Konser-konser musik digelar dengan sound system makin canggih. Tengok juga 
sejumlah kafe dan diskotek serta berbagai tempat nongkrong anak muda yang 
bertebaran di penjuru kota . Juga jalan raya yang makin semrawut dan bising. 
Itu semua masih ditambah dengan hobi mendengarkan musik dengan earphone. 
Sepertinya, makin bising makin keren. Tapi, jika sudah tuli, pasti tidak lagi 
keren.
Nunuy Nurhayati
 

________________________________


Suara Mengalir Sampai Jauh
1.     Saat suara masuk, tulang-tulang pendengaran bergetar.  
2.     Suara lalu diteruskan ke koklea (rumah siput), yang terletak di bagian 
tengah telinga.  
3.     Pada koklea terdapat sel-sel rambut yang berfungsi menangkap rangsangan 
atau frekuensi suara.  
4.     Sel rambut juga berfungsi mengubah energi akustik menjadi rangsang 
listrik untuk dapat diteruskan ke pusat persepsi pendengaran di otak.. 
        * Suara berfrekuensi lebih dari 80 desibel dapat membuat sel-sel rambut 
mengalami kelelahan.   
        * Sel-sel rambut yang sering lelah lama-kelamaan rusak.   
        * Kerusakan pada sel rambut menyebabkan terganggunya proses mendengar. 
Akibatnya, terjadi penurunan fungsi pendengaran. 
        * Pada awalnya, penurunan fungsi pendengaran hanya bersifat sementara, 
tapi bila paparan bising berlangsung terus, kerusakan akan permanen.   
 
  Batas Intensitas Kebisingan Lama Pemaparan 
Ruangan tenang: 30-40 desibel 80 dB 16* 
Percakapan normal: 65 desibel 85 dB 8* 
Pengisap debu, televisi: 60-70 desibel 90 dB 4* 
Walkman/iPod: 96 desibel 95 dB 2* 
Arena bermain anak di mal: 90-95 desibel 100 dB 1* 
Diskotek atau klub malam: 100-120 desibel 105 dB 1/2* 
Orkes simfoni: 110 desibel 110 dB 1/4* 
Konser musik: rock 110-140 desibel 115 dB 1/8* 
*Lama pemaparan tiap hari (jam) 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke