Salah satu temuannya:
".... [meningkatnya] "trend" perkawinan campuran antara perempuan
Ba-Alawi dengan laki-laki di luar komunitas Ba-Alawi yaitu dengan
laki-laki muslim, mualaf, atau bahkan dengan laki-laki beda agama di
mana masing-masing pihak tetap bertahan pada agamanya."

http://www.republika.co.id/berita/61867/UI_Telaah_Perempuan_Peranakan_Arab

UI Telaah Perempuan Peranakan Arab

By Republika Newsroom
Senin, 13 Juli 2009 pukul 07:59:00

DEPOK--Universitas Indonesia (UI) menelaah kajian mengenai pengalaman
perempuan peranakan Arab Ba-Alawi di Jakarta (disingkat perempuan
Ba-Alawi) dalam sistem perkawinan.

Menurut Deputi Direktur Kantor Komunikasi UI Devie Rahmawati di Depok,
Minggu, kajian itu merupakan promosi doktor dalam bidang studi
Antropologi yang dilakukan Kunthi Tridewiyanti dengan disertasi
berjudul "Identitas Etnik Gender dan Pluralisme Hukum Kajian Perempuan
Peranakan Arab dalam Perkawinan di Jakarta".

Promovendus dalam penelitiannya, selain menelaah pengalaman perempuan
Ba-Alawi dalam sistem perkawinan, juga mengkaji peran mereka sebagai
aktor reproduksi kebudayaan dan resistensi dengan tujuan menjelaskan
tentang pengalaman mereka dalam perkawinan yang diharapkan (preference
marriage).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode "genealogical history" dari empat generasi pada empat keluarga
luas Ba-Alawi, pengalaman terlibat dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mereka sebagai bagian dari
komunitas Ba-Alawi dikonfrontir oleh nilai-nilai perkawinan yang
diharapkan berlandaskan pada sistem patrilineal nilai sekufu/kafa`ah
yang dipengaruhi oleh mazhab Syafi`i.

Pemaknaan yang ketat terhadap nilai sekufu/sekafaah menyebabkan
perkawinan diharapkan berbentuk endogami bangsa (perkawinan sesama
Ba-Alawi) untuk perempuan, sedangkan eksogami bangsa (perkawinan
campuran) diperkenankan bagi laki-laki.

Dalam perkawinan, perempuan berada dalam pembatasan yang ketat,
sehingga perempuan cenderung berada dalam dominasi laki-laki (budaya
patriarki).

Penelitian itu juga memperlihatkan bahwa perubahan pola, "trend", dan
dinamika perkawinan pada komunitas Ba-Alawi disebabkan pemaknaan nilai
sekufu/kafaa`ah yang lebih longgar.

Ada temuan menarik bahwa data dari empat keluarga dalam penelitian ini
menujukan bahwa "trend" perkawinan campuran meningkat dilakukan oleh
perempuan.

Adapun perkawinan campuran tersebut dapat terjadi antara perempuan
Ba-Alawi dengan laki-laki di luar komunitas Ba-Alawi yaitu dengan
laki-laki muslim, mualaf, atau bahkan dengan laki-laki beda agama
dimana masing-masing pihak tetap bertahan pada agamanya.

Namun perkawinan beda ini masih amat langka dan ditolak keras oleh
komunitasnya. Setelah tahun 1974, perkawinan campuran yang dilakukan
oleh perempuan ditunjang oleh keragaman hukum yang berlaku, yaitu
hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara.

Perempuan Ba-alawi dapat memilih melakukan perkawinan siri, perkawinan
sesuai dengan ketentuan negara (disebut perkawinan KUA) atau
kedua-duanya.

Penelitian itu menemukan bahwa perempuan merupakan aktor yang dapat
mengembangkan strategi-strategi untuk reproduksi kebudayaan dan
resistensi terhadap budaya patriarki.

Perempuan sebagai aktor pada prinsipnya didukung juga oleh aktor lain,
yaitu laki-laki dalam keluarga, ulama/tokoh masyarakat, organisasi
volunter dan aparat negara (terutama institusi agama).

Sedangkan reproduksi kebudayaan dan resistensi yang dilakukan oleh
perempuan itu terlihat pada arena-arena sosial, yaitu pada media
kekerabatan (seperti dalam silsilah keluarga dan perkawinan), media
religi, dan media sosial. ant/kem

Kirim email ke