http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=72449
PEREMPUAN 15 Juli 2009 GENDERANG GENDER Makin Berdaya Makin Sengsara * Oleh Asmadji AS Muchtar UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia telah membakukan doktrin pembagian peran suami istri yang bias gender, di mana suami berkewajiban mencari dan memberi naskah, sedangkan istri berkewajiban mengurus rumah tangga. Doktrin ini tak pernah berubah, meski banyak pihak mengkritiknya sebagai doktrin patriarkis-diskriminatif. Kalangan feminis pun tegas menolak doktrin tersebut, dengan dalih demokrasi dan HAM. Doktrin patriarkis-diskriminatif telah menimbulkan fenomena kesengsaraan banyak istri yang justru telah berdaya. Misalnya, banyak istri tetap sibuk mengurus rumah tangga, meski sudah berpenghasilan sendiri dan sepanjang hari bekerja di luar rumah. Dengan kata lain, doktrin ini sudah tidak relevan. Di banyak daerah, makin banyak istri yang justru bertugas mencari/memberi nafkah kepada keluarganya. Sebaliknya, banyak suami pengangguran yang hanya bisa menerima nafkah dari istri. Fakta ini bisa dilihat setiap hari di berbagai daerah di Indonesia. Cobalah menengok pasar-pasar tradisional pada dini hari, yang sudah diramaikan oleh perempuan pedagang yang berstatus sebagai istri. Tengoklah ruas-ruas jalan di seluruh pelosok desa ketika fajar. Banyak perempuan yang notabene berstatus sebagai istri atau ibu berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja di pabrik atau sawah, mencarikan nafkah bagi keluarganya. Mayoritas perempuan pekerja di pabrik, pertokoan, dan perkantoran makin menegaskan keberdayaan perempuan Indonesia yang bertolak belakangan dengan doktrin berkeluarga. Akibatnya, banyak bayi dan balita yang diasuh ayahnya, karena sang ibu sepanjang hari mencari nafkah. Hal ini tentu menyimpan berbagai masalah, seperti munculnya generasi yang kekurangan kasih sayang ibu, yang amat mungkin akan menjadi generasi naif. Misalnya, anak lelaki akan mengikuti jejak ayahnya, sebagai suami yang naif (tidak mampu mencarikan nafkah bagi keluarga; justru menerima nafkah dari istri). Kini makin banyak pernikahan tanpa memedulikan apakah mempelai pria sudah bekerja atau belum. Hal ini makin menegaskan betapa banyak gadis Indonesia yang telah memformat dirinya sebagai perempuan berdaya. Ketika pada saatnya harus menikah, ia tidak lagi peduli apakah calon suaminya sudah mampu melaksanakan kewajibannya mencari nafkah atau belum. Fenomena ini juga menegaskan betapa banyak orangtua di Indonesia yang siap menerima menantu pria yang tidak mampu memberi nafkah, karena anak perempuannya sudah ”berlatih” menjadi istri yang berdaya. Fenomena Sosial Ketika kaum perempuan menjadi berdaya, ternyata muncul penindasan baru dalam rumah tangga. Hal ini bukan teori, melainkan fakta yang telah menjadi fenomena sosial di Indonesia. Betapa banyak istri yang telah bersusah-payah mencari nafkah, tapi ketika pulang masih harus mengerjakan tugas rumah tangga seperti mencuci pakaian, memasak, bahkan membelikan rokok untuk suami di warung. Fenomena ini kelak sangat mungkin dianggap wajar, apabila lapangan pekerjaan yang tersedia lebih terbuka untuk kaum perempuan daripada untuk laki-laki. Misalnya, pada dekade 1980-an, pabrik-pabrik rokok di Kudus masih menerima pekerja laki-laki untuk menjadi tukang giling rokok, bathil (penggunting ujung rokok agar rapi), dan tenaga pengepakan. Kini semua tukang giling rokok, bathil, dan pengepakan hanya diisi kaum perempuan. Pengusaha rokok punya pertimbangan logis saat memilih pekerja perempuan. Misalnya, perempuan lebih mudah diatur dan kooperatif daripada lelaki. Pengusaha tak peduli apakah pekerja itu berstatus sebagai istri atau ibu di rumah. Mereka juga tak peduli apakah ada bayi / balita yang kekurangan kasih sayang ibu. Semua pihak yang peduli keadilan gender selayaknya berusaha mencegah istri-istri yang makin berdaya agar tidak makin sengsara. Caranya, di lingkungan keluarga masing-masing, suami perlu belajar berlaku adil atau menolak doktrin patriarkis. Kalau memang istri sudah bekerja seharian, suami tak perlu keberatan untuk membereskan pekerjaan rumah tangga. Layak ditegaskan, apakah keadilan gender bisa terwujud atau hanya sekadar fatamorgana, itu lebih ditentukan oleh sikap para suami dalam keluarga masing-masing. Sehebat apapun upaya di luar rumah untuk mewujudkan keadilan gender, kalau suami tidak menolak doktrin patriarkis, tentu akan makin banyak istri yang makin berdaya justru makin sengsara. (32) —Dr Asmadji AS Muchtar, koordinator Forum Multi-Studies, tinggal di Kudus. ------------------------------------ ========================================== MILIS MAJELIS MUDA MUSLIM BANDUNG (M3B) Milis tempat cerita, curhat atau ngegosip mengenai masalah anak muda dan Islam. Sekretariat : Jl Hegarmanah no 10 Bandung 40141 Telp : (022)2036730, 2032494 Fax : (022) 2034294 Kirim posting mailto:majelismuda@yahoogroups.com Berhenti: mailto:majelismuda-unsubscr...@yahoogroups.comyahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/majelismuda/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/majelismuda/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:majelismuda-dig...@yahoogroups.com mailto:majelismuda-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: majelismuda-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/