http://www.komnasperempuan.or.id/2009/11/05/dr-musdah-mulia-ma-apu-%E2%80%9Cislam-paling-vokal-memihak-hak-asasi-manusia%E2%80%9D/

Berita - Pendapat Pakar

Dr. Musdah Mulia, MA, APU: “Islam Paling Vokal Memihak Hak Asasi Manusia”
Nov 5th, 2009


Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Qanun Jinayat
yang banyak menuai pro dan kontra. Kontroversi di antaranya karena
qanun ini memuat hukuman rajam. Selain itu, juga visinya yang
diskriminatif, khususnya terhadap perempuan. Penggunaan pandangan dan
pemikiran fiqh klasik sebagai sumber pembuatan qanun juga membuat
qanun kontraproduktif dengan kebutuhan saat ini dalam menyelesaikan
masalah-masalah sosial. Lalu, bagaimana mengupayakan agar qanun
tersebut tidak jadi diberlakukan? Untuk mengelaborasi persoalan ini,
Diah Irawaty dari Redaksi Komnas Perempuan mewancarai Dr. Musdah
Mulia, MA, APU, dosen pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Ketua Dewan Pengurus Harian Organisasi ICRP.
Berikut petikannya:

Apa tanggapan Anda dengan disahkannnya Qanun Jinayat ini?

Menurut saya, disahkannya Qanun Jinayat merupakan sebuah proses
pembodohan terhadap masyarakat. Mereka (yang mengusahakan qanun)
menganggap dengan melakukan pengesahan itu mereka lebih baik; padahal
itu menunjukkan bahwa mereka primitif. Qanun itu tidak akan membuat
masyarakat lebih baik. Kalau dikatakan bahwa peraturan ini akan
membuat orang lebih bermoral, itu tidak benar; yang ada, masyarakat
akan menjadi munafik. Karena itu saya tolak UU itu, apalagi di
dalamnya ada hukuman rajam untuk kasus perzinaan.

Bagaimana mungkin akan menghukum orang dengan hukum fiqh yang dibuat
oleh para ulama pada pertengahan abad 19. Padahal di masa Nabi, itu
tidak ada. Kalau itu akan dipakai untuk membangun masyarakat yang
bermoral, itu tidak mungkin bisa dan juga tidak mungkin dilaksanakan
karena berdasarkan hukum fiqh harus ada empat saksi yang melihat
dengan mata kepala. Kalau kejahatan itu betul-betul seperti yang
digambarkan dalam kitab fiqh itu, namanya kejahatan brutal, bukan
masalah moralitas. Yang aneh saya kira, orang-orang Aceh, para pemuka
agama, tidak bicara lantang tentang perkosaan yang terjadi di
mana-mana, tidak memberikan hukum yang berat bagi perkosaan. Perzinaan
jika dilakukan suka rela, suka sama suka, sepanjang tidak ada
kekerasan di dalamnya, tidak ada pemaksaan, tidak ada diskrimininasi,
eksploitasi, biarkan saja. Soal dosa, itu dosa dia dan Tuhannya; kita
bukan Tuhan yang bisa menghakimi sesama manusia. Oke saya setuju bahwa
perzinaan itu tidak boleh, dan memang sudah ada hukumnya, di dalam
KUHP kita itu sudah ada, sudah diatur sedemikian rupa. Kalau UU itu
dijalankan secara ketat tanpa pandang bulu, itu sudah cukup, tidak
perlu lagi kita membuat qanun yang saya kira tidak masuk akal.

Secara umum isi Qanun dan dampaknya terhadap perempuan seperti apa
jika itu diimplementasikan?

Nah itu dia. Untuk implementasinya, patokan apa yang akan digunakan
oleh para polisi untuk menangkap orang-orang (yang melanggar) itu?
Pasti yang akan banyak ditangkap adalah perempuan seperti yang terjadi
di negara-negara Arab yang masih terbelakang seperti Yaman dan Arab
Saudi karena perempuan sering kali tidak bisa mengelak dari bukti
misalnya bukti kehamilan. Karena faktor biologis dari perempuan itu
menyebabkan dirinya rentan menjadi terdakwa, sementara laki-laki bisa
bebas melenggang karena bukti-bukti biologisnya tidak kelihatan. Ini
letak ketimpangannya; karena, misalnya untuk mencari bukti empat orang
saksi yang melihat secara kasat mata itu sulit, lalu kemudian mereka
mencari bukti lain, seperti yang terjadi di Yaman, perempuan yang
diburu lalu dirajam karena hamil dan belum punya suami, nah perempuan
ini kan tidak bisa mengelak, sementara laki-lakinya bisa melenggang ke
mana-mana tidak ditangkap. Mereka juga tidak mau melakukan proses uji
DNA, misalnya, sehingga bapak biologisnya bisa ketahuan. Pemerintah
menganggap tidak ada prosedur seperti itu dalam fiqh. Lucu kan? Jadi
yang akan menderita adalah perempuan. Saya mengharap kepada para
petinggi dan politisi di Aceh, jangan egois. Saya ingin mengatakan
bahwa Aceh tidak akan menjadi provinsi yang Islami, jika yang
dikedepankan adalah hal-hal yang seperti ini. Saya lebih mendukung
Aceh menjadi provinsi yang mengedepankan nilai-nilai Islam dengan
mulai membangun peraturan-peratutan yang menurut saya itu sangat
Islami. Misalnya mengedepankan fasilitas kesehatan untuk orang-orang
miskin terutama untuk anak-anak dan perempuan, menyiapkan Peraturan
Daerah yang mengutamakan pada pendidikan dari tingkat bawah sampai
tingkat tinggi. Justru Aceh akan dikenal sebagai provinsi yang agamis
kalau dia memulai kerja-kerja atau program-program yang paling
mendasar yang diajarkan dalam Islam, yaitu membangun kemanusiaan.
Karena Islam adalah agama yang paling vokal memihak kepada hak asasi
manusia. Seperti hak kesehatan, pendidikan, pangan. Kalau Aceh mau
dikatakan sebagai provinsi yang Islami, pastikan tidak ada satupun
warga di Aceh yang kelaparan, tidak ada yang terlantar karena tidak
terpenuhi hak-hak kesehatannya, tidak ada satupun warga Aceh yang
bodoh karena tidak bisa mengakses hak pendidikan. Mestinya rakyat Aceh
dan juga pemerintah Aceh lebih bijaksana melihat persolan ini secara
lebih luas, dan memperhatikan kelompok yang di dalam Alquran disebut
sebagai kelompok mustadhafin (lemah –red). Justeru kalau dari sejarah
Nabi, menegakkan Islam itu dimulai dari memberdayakan
kelompok-kelompok mustadhafin ini, bukan lalu membuat hukum jinayat.
Kalaupun hukum jinayat itu diterapkan itu baru pada masa akhir-akhir
Nabi, pada periode Madinah, ketika Islam sudah settle. Kita juga perlu
melihat hukum Jinayat diterapkan di masa Nabi karena melihat pada masa
itu cocok untuk itu. Jadi hukumnya lebih mengutamakan hukuman badan,
pada masa abad ke-7. Dengan berkembangnya peradaban manusia, saya kira
hukuman badan, hukuman mati sudah tidak sesuai dengan dengan tingkat
peradaban kita sebagai manusia beradab.

Sebenarnya  ruang lingkup hukum Jinayat itu apa?

Lebih pada hukuman fisik semacam rajam, cambuk dan sebagainya. Ini
diaduk pada hukum Taurat, kaum Yahudi sebelumnya. Jadi, dalam hukum
Yahudi itu, mata dengan mata, gigi dengan gigi, nyawa dengan nyawa.
Jadi hukumannya itu bersifat fisik. Dan memang itu cocok dengan masa
itu. Tetapi, kita harus melihat esensi dalam hukum Islam. Kalau saya
dimintai pendapat dalam bidang hukum maka saya lebih melihatnya dalam
maqashid as-syariah atau the legal objectives, tujuan inti dari hukum
tadi. Kalau kita mempelajari hukum Islam atau esensi dari ajaran
Islam, maka tujuan akhir dari semua hukum dalam Islam adalah untuk
membangun keadilan. Waktu itu pada abad 7, rajam mungkin bentuk dari
keadilan masyarakat, tetapi menurut saya, rasa keadilan masyarakat
tidak mesti dengan hukuman fisik seperti cambuk, rajam atau diasingkan
secara fisik, tidak ccok lagi dengan rasa kemanuasian kita sekarang
ini. Karena yang saya tangkap dalam pengamalan agama itu bukan legal
formalnya, tetapi esensi syariahnya sendiri. Itulah yang banyak
diungkapkan ahli fiqh kontemporer, bagaimana kita membangun berdasar
maqashid as-syariah, bukan pada pandangan fiqhnya.

Apa peran dan fungsi LSM atau aktivis perempuan di Aceh dalam advokasi
Qanun Jinayat?

Para aktivis di Aceh, saya dengar menolak qanun ini. Tapi, yang pasti,
pemerintah kita, pemerintah pusat sudah dipecundangi. Mestinya mereka
punya koridor yang menjelaskan bahwa semua peraturan di tingkat daerah
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, tidak boleh bertentangan
dengan Konstitusi 1945, dan Indonesia adalah Negara yang meratifikasi
sejumlah Konvensi Internasional mengenai human rights di antaranya
Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Sosial-Politik-Ekonomi. Mau tidak
mau Indonesia terikat secara moral untuk melaksanakan isi dari
konvensi-konvensi ini. Karena itu, Pemerintah Indonesia sebenarnya
sedang diuji konsistensinya, apakah Pemerintah Indonesia masih
konsisten pada Pancasila atau tidak. Menurut saya, pengesahan
peraturan Jinayat di Aceh merupakan ujian bagi pemerintah pusat.

Masih mungkinkah mengupayakan hukum-hukum jinayat sesui konteks
kebutuhan saat ini?

Yang pasti tidak semua negara Islam memberlakukan hukum itu. Para
ulama harus terbuka matanya. Meskipun hukum Jinayat dalam fiqh,
kenyataanya, tidak semua negara Islam atau negara yang basis
konstitusinya syariah, seperti Mesir, Yordania, Syiria, Tunisia,
Maroko, tidak mengadopsi hukum rajam, tidak ada hukum cambuk, karena
mereka mengadopsi syariah bukan dalam bentuk hukumnya tapi dalam
bentuk esensinya, nilai-nilai universal yang lebih mengutamakan
keadilan, bukan dalam bentuk formal hukumnya. Jadi, kalau Indonesia
mengadopsi hukum rajam, itu aneh karena Indonesia bukan negara Islam.
Yang agama Islam saja tidak mengadposinya.

Apa latar belakang adanya hukum Jinayat?

Eforia saja, mau disebut sebagai Islami. Para politisi itu, yang saya
dengar dari PPP dan PKS, cuma senang disebut Islami. Kasihan saja
orang-orang semacam itu; hanya karena ingin disebut sebagai Islami,
mereka mengada-ada. Ini betul-betul ujian besar bagi pemerintah pusat.
Karena itu, kita harus mempertanyakan pada pemerintah pusat, apakah
kalian masih berposisi sebagai pemerintah pusat yang bertanggung jawab
untuk melihat semua peraturan hukum yang lahir di Indonesia ini atau
tidak. Itu saja.

Bagaimana dengan maraknya perda-perda agama yang belakangan ini terus
saja muncul?

Menurut saya, ini karena pemerintah pusat yang lemah, tidak memberikan
respon yang kuat terhadap perda-perda yang lahir dan mendiskriminasi
perempuan. Akibatnya, muncullah perda-perda itu di mana-mana. Yang
kedua, masyarakat perlu penjelasan, terutama perempuan, seperti yang
saya jelaskan di atas tadi, kalau mau disebut sebagai Islami, sebuah
daerah itu tidak bakalan muncul dengan perda-perda agama; itu salah
besar.

Lalu nasib perempuan Aceh ke depan bagaimana?

Buat saya, tidak usah dilaksanakan peraturan itu. Harus ada judicial
review, atau melakukan penolakan atas nama perempuan: kalian sahkan
saja, tapi kami menolak melaksanakan undang-undang itu. Para perempuan
harus bersatu. Saya sudah minta kepada para perempuan Aceh untuk
membuat semacam pers release lokal di Aceh, mereka kumpul semuanya,
kelompok perempuan Aceh, dan itu kemudian kita iringi dengan dukungan
dari seluruh provinsi di Indonesia.

Apa peran Komnas Perempuan dalam advokasi qanun ini?

Buat saya, Komnas Perempuan harus mengumpulkan seluruh elemen bangsa,
perwakilan-perwakilan dari berbagi provinsi untuk menyatakan di depan
Presiden bahwa kami menolak undang-undang yang inkonstitusional. Sebut
saja itu, jangan sebut sebagai Perda Jinayat, Perda Syariah, tapi
sebut sebagai undang-undang inkonstitusional. Itu lebih netral.
Karena, kalau kita menolak perda Syariah, kita dianggap anti agama
lagi. Padahal, bukan begitu maksudnya. Kita menolak undang-undang
inkonstitusional atas nama perempuan, yang pertama karena bertentangan
dengan Konstitusi, yang kedua karena dalam implementasinya itu sering
kali menjadikan perempuan sebagai objek hukum

Pendidikan publik apakah penting untuk menolak undang-undang ini?

Saya kira pendidikan publik sangat penting. Harus dijelaskan kepada
publik secara global dulu tentang situasi dan posisi Indonesia,
sebagai negara hukum itu apa. Kalau itu tidak paham, selalu saja
membuat undang-undang yang inkonstitusional. Bahwa Konstitusi kita itu
apa, arahnya ke mana. Bahwa Islam boleh berkembang, agama apa saja
boleh berkembang di Indonesia ini. Tapi yang boleh berkembang itu
agama sebagai nilai etika, bukan sebagai hukum positif. Agama apapun
boleh berkembang di Indonesia ini, karena negara kita sudah terlanjur
disebut sebagai heterogen. Yang boleh berkembang esensinya, bukan
formal legalnya (Diah Irawaty).


Artikel Terkait:

Training UU PKDRT bagi Para Penegak Hukum
Qanun Jinayat dan Rajam di Mata Publik
Mencapai Kebijakan Hukum Keluarga yang Adil dan Setara Gender
Bedah Buku-buku Hukum: “Perspektif Hukum Baru: Perubahan untuk Upaya
Keadilan Perempuan”
Mengatasi Hambatan Menuju Peradilan yang Bersih


------------------------------------

==========================================

MILIS MAJELIS MUDA MUSLIM BANDUNG (M3B)
Milis tempat cerita, curhat atau ngegosip mengenai masalah anak muda dan Islam.

Sekretariat : 
Jl Hegarmanah no 10 Bandung 40141
Telp : (022)2036730, 2032494 Fax : (022) 2034294

Kirim posting mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Berhenti: mailto:majelismuda-unsubscr...@yahoogroups.comyahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/majelismuda/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/majelismuda/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    majelismuda-dig...@yahoogroups.com 
    majelismuda-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    majelismuda-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke