Wartawan Biasa yang Punya Cita-cita Luar Biasa Oleh : Djoko Suryo 22-Sep-2008, 00:24:14 WIB - [www.kabarindonesia.com] KabarIndonesia - Sejak kecil, obsesi lelaki muda ini adalah ingin menjelajahi dunia. Maka, menjadi wartawan adalah pilihan hidupnya. Meski dia tahu, dunia wartawan bukanlah dunia yang bisa mewujudkan impiannya dalam sekejap. Berbagai tantangan pun ia hadapi. Bahkan, sang ibu kandung awalnya tak merestui ia menjadi wartawan. Dalam benak ibunya, menjadi wartawan artinya ia harus siap menjadi 'orang miskin'.
Meski tidak selalu benar, namun logika sang ibu masuk akal. Delapan tahun melanglang buana di berbagai media cetak dan radio, hidupnya biasa-biasa saja. Bahkan selama empat tahun ia berjalan kaki memburu berita. Tak punya sepeda motor, alat komunikasi, apalagi komputer. Gaji pas-pasan ia terima di kantor tempatnya bekerja. Namun empat tahun kemudian, sesudah masa-masa ujian itu, hidupnya mulai memperlihatkan peningkatan. Bahkan, setelah sang ibu menjanda, kebutuhan ibu dan tiga orang adiknya dialah yang menafkahi. Semua dari hasil keringatnya sebagai penulis dan wartawan. Lahir di Medan Sumatera Utara, 3 Desember 1980, lelaki dengan nama lengkap Muhammad Subhan ini sejak kelas 2 SMP telah menulis. Ia yang memprakarsai terbitnya majalah dinding di sekolahnya. Hobi menulis itu juga berlanjut ketika di SMA dan saat kuliah. Masa SMP dan SMA Ia habiskan di Krueng Geukueh Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Meski gelar sarjananya tidak mampu ia raih, namun setidaknya ia pernah mengecap dunia kampus, khususnya di Jurusan Manajemen, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perdagangan, Padang dan Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah, Sekolah Tinggi Agama Islam, Yayasan Kebangkitan Islam (STAI-YKI), Sumatera Barat di Padang. Ditanya mengapa ia tidak menyelesaikan studinya di perguruan tinggi, lelaki berdarah Aceh-Minang ini menjawab bahwa ketika itu Ia memfokuskan bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan ibu dan ketiga adiknya yang masih sekolah. Sebuah pilihan mulia yang memperlihatkan tanggung jawab terhadap hajat hidup orang tua dan adik-adiknya. "Maklumlah, anak yatim. Sebagai anak tertua, saya bertanggung jawab menafkahi ibu dan adik-adik. Kuliah saya tunda dulu, namun saya tetap belajar meski secara otodidak," ujarnya dalam sebuah perbincangan dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) pekan lalu. Berasal dari Keluarga Miskin Sejak kecil, Muhammad Subhan belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orang tuanya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Meski hidup miskin, namun ia mengaku bangga dengan kedua orang tuanya yang pekerja keras. Nasihat sang ayah yang dicintainya, jangan pernah menyerah dengan keadaan, terus berjuang, dan jangan meminta-minta, terpatri dan memotivasinya untuk merobah keadaan, kelak. Ia bertekad suatu saat ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Sampai kelas 2 Sekolah Dasar, Muhammad Subhan tinggal bersama orang tuanya di Medan, Sumatera Utara. Ketika naik ke kelas 3 SD, orang tuanya pindah ke Lhokseumawe, Aceh Utara. Di kota itu ayahnya bekerja sebagai tukang sol sepatu di pusat kota. Setiap pagi, usai sarapan dan minum secangkir kopi, ia melihat sang ayah menyandang sebuah ransel yang isinya adalah peralatan untuk menjahit sepatu. Pekerjaan itu dilakukan sang ayah karena ayahnya bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi. Ayahnya tidak tamat SMP, begitu pun sang ibu, hanya tamat SD. Di awal-awal bekerja menjadi tukang sol sepatu di daerah yang baru, benar-benar terasa sangat sulit. Bahkan seharian tak ada orang yang memanfaatkan jasa sang ayah. Dengan raut wajah sedih, ayahnya pulang tanpa membawa apa-apa. Sering pula ia mendengar ayah dan ibunya ribut hanya gara-gara persoalan tak ada uang untuk belanja. Namun sang ayah adalah seorang yang sangat sabar. Ibadahnya rajin, doanya panjang, dan sang ayah sangat menyayangi Muhammad Subhan. Ketika ia duduk di bangku SMA, dengan inisiatifnya sendiri Muhammad Subhan membantu sang ayah bekerja. Ia pun belajar menjahit sepatu. Awalnya sang ayah tak setuju namun karena keseriusan Muhammad Subhan untuk membantu sang ayah, akhirnya pekerjaan itu pun mereka lakoni berdua. Terkadang, ketika sang ayah sakit, dialah yang menggantikannya bekerja. Bekerja sebagai tukang sol sepatu bukanlah pekerjaan menjanjikan. Nasib-nasiban. Terkadang ada orang, terkadang pula tidak ada sama sekali. Sehari hanya dua tiga orang yang memanfaatkan jasa tukang sol sepatu. Uang yang paling banyak dibawa pulang sehari tidak lebih dari Rp 15.000,-. Dengan penghasilan yang sangat kecil itulah sang ayah menafkahi keluarganya serta menyekolahkan Muhammad Subhan dan ketiga adiknya. Ayah Meninggal Dunia Tanggal 15 Maret 2000, adalah hari bersejarah dalam hidup Muhammad Subhan. Orang yang dicintainya, sang ayah, berpulang ke Rahmatullah dalam usia 62 tahun. Ujian yang teramat berat dirasakannya. Pupuslah harapannya untuk membahagiakan sang ayah kelak. Ketika itu usianya masih belia. Sebelum sang ayah meninggal dunia, Muhammad Subhan pernah menyampaikan kepada ayahnya bahwa ia akan melanjutkan pendidikan ke Kota Padang, Sumatera Barat. Ia ingin kuliah di sana. Namun agaknya sang ayah tidak setuju. Sang ayah berharap Muhammad Subhan dapat membantunya bekerja karena usianya telah lanjut dan sering sakit- sakitan. Agaknya persoalan itu menjadi pikiran sang ayah. Beberapa hari setelah itu sang ayah pun jatuh sakit, ia mengalami stroke. Tiga hari kemudian ayahnya meninggal dunia. Innalillahi wainnailaihi raajiuun. Ketika itu, Ia dan ketiga adiknya benar-benar tidak siap kehilangan sang ayah, orang yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Pendidikannya di SMA tinggal beberapa bulan lagi tamat. Sempat Ia berniat untuk memutuskan sekolahnya ketika itu karena tak punya uang untuk membayar biaya sekolah, namun atas motivasi guru-gurunya serta kemauannya untuk terus belajar ia pun berhasil menamatkan pendidikan SMA dengan hasil yang memuaskan. Sepeninggal sang ayah, Nurhayati ibunya, juga mulai sakit-sakitan. Rematik dan penyakit asam urat menyerang tubuhnya. Mulanya sang ibu bekerja sebagai buruh cuci dan sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang camat. Namun sejak sang ibu sakit, tak ada lagi orang yang membantunya mencari nafkah. Siang malam Muhammad Subhan berpikir apa yang bisa dia kerjakan untuk membantu sang ibu dan adik-adiknya yang masih kecil dan harus bersekolah. Satu orang adiknya laki-laki ketika itu masih duduk di kelas 2 MAN (Madrasah Aliyah Negeri), dan dua adiknya yang lain perempuan, satu kelas 6 SD dan satu lagi kelas 2 SD. Ia sangat berharap adik-adiknya mampu menyelesaikan pendidikan meski hanya sampai sekolah menengah. Merantau ke Padang Setelah tamat SMA, Muhammad Subhan menyampaikan kepada sang ibu agar mereka pulang saja ke Sumatera Barat. Kampung halaman ibunya di sebuah kampung kecil bernama Kajai di Pasaman Barat. Mulanya sang ibu menolak. Namun, setelah Muhammad Subhan berangkat sendiri melihat kampung ibunya di Kajai, Pasaman Barat, dilihatnya di sana banyak sanak famili sang ibu. Namun, sayangnya kampung itu berada di pedalaman dan bukan daerah yang berkembang. Mayoritas masyarakatnya juga berpenduduk miskin. Setelah bermusyawarah dengan sanak famili di kampung dan menceritakan keadaan keluarganya di Aceh sepeninggal sang ayah, mereka pun setuju agar sang ibu dan adik-adik dibawa saja ke kampung. Akhirnya Muhammad Subhan kembali pulang ke Aceh dan menjemput ibu dan adik-adiknya serta menceritakan keinginan sanak famili agar sang ibu mau pulang ke kampung. Setelah diyakinkan bahwa keadaan hidup akan berobah di Sumatera Barat, akhirnya dengan berat hati sang ibu pun berkenan pulang ke kampung. Sakit asam urat ibunya yang sudah akut menyulitkan sang ibu berjalan jauh. Ia pun harus dipapah naik turun bis. Biaya keberangkatan itu, pada pertengahan 2000, semua perabotan yang ada di rumah kontrakan peninggalan almarhum sang ayah dijual sebagai bekal perjalanan. Setelah membawa ibu dan adik-adiknya pulang kampung, Muhammad Subhan pun merantau ke Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat. Kota yang baru pertama kali dijamahnya seumur hidup itu terasa menyeramkan, karena di sana Ia tak punya siapa-siapa. Berbagai pekerjaan pun ia lakukan. Mulanya ia menjadi salesman yang menjual barang-barang yang diambilnya dari sebuah perusahaan. Namun pekerjaan itu ia rasakan bertentangan dengan batinnya. Beberapa perusahaan sales tempat ia bekerja ditinggalkan. Selain gaji kecil, kerja yang dilakoni pun terasa sangat berat. Menjadi Wartawan Sejak kecil, Muhammad Subhan telah diajarkan ayahnya ilmu agama. Ia pun sempat belajar mengaji di sebuah pemondokan. Dengan kemampuan sedikit di bidang agama itulah, ketika ia merantau di Kota Padang, ia berinisiatif untuk menjadi gharin mushalla di kawasan Air Tawar Barat Padang. Tugas gharin adalah membersihkan mushalla, azan, imam bahkan ceramah agama di saat ustaz yang diundang berhalangan hadir. Pilihan menjadi gharin mushalla ia lakukan lantaran ia tidak menemukan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhannya sehari- hari. Dengan menjadi gharin ia pun mendapat jatah beras dan sedikit uang lauk pauk. Dia juga mengajarkan anak-anak mengaji di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di mushalla tempat ia tinggal. Selama menjadi gharin itulah kematangan dirinya mulai terasah. Pengabdian menjadi gharin dijalaninya sejak tahun 2000 hingga tahun 2004. Di akhir tahun 2000, selain tetap menjadi gharin ia pun mulai menulis di surat kabar, khususnya sejumlah koran mingguan yang ada di kota itu. Di akhir tahun itu pula ia melamar menjadi wartawan Surat Kabar Mingguan Gelora terbitan Padang. Mulanya, dia berpikir pekerjaan wartawan adalah pekerjaan yang menjanjikan dengan gaji yang besar. Ternyata harapannya sekedar mimpi, jauh panggang dari api. Sepanjang tahun 2000-2004, beberapa koran mingguan, seperti SKM Gelora, SKM Gelar, SKM Gelar Reformasi, SKM Garda Minang, dan beberapa koran mingguan lainnya tak satu pun media itu yang memberikan gaji layak selayaknya seorang pekerja profesional. Bahkan pernah ia berpikir untuk berhenti menjadi wartawan, namun keinginan itu cepat-cepat ia pupus karena dunia wartawan setelah ia renungi memiliki banyak kelebihan. Menurutnya, dengan menjadi wartawan, wawasannya terus bertambah karena informasi terbaru selalu ia dapatkan setiap hari di media. Begitu pula, menjadi wartawan ia menemukan banyak kawan. Dan menjadi wartawan, ia pun berkesempatan mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah ia kunjungi, baik di Sumatera Barat maupun beberapa daerah di Indonesia dalam berbagai perjalanan jurnalistik yang ditugaskan kepadanya. Tahun 2004 ia pun meninggalkan pekerjaannya sebagai gharin mushalla. Hal itu dia lakukan semata untuk memfokuskan dirinya bekerja menjadi wartawan. Pilihan yang berat karena awalnya jemaah mushalla tempatnya tinggal keberatan melepaskannya. Namun karena tekadnya yang kuat akhirnya ia pun berhenti menjadi gharin. Di tahun itu pula, ia bekerja di Harian Mimbar Minang Padang. Namun hanya dua tahun ia mampu bertahan di koran itu, lantaran koran itu bangkrut dan menjadi koran mingguan. Jika ia kembali bekerja di koran mingguan, itu artinya ia gagal dan tidak ada kemajuan. Bersama beberapa kawan, usai melakukan perjalanan jurnalistik ke Aceh pasca tsunami, ia pun mendirikan koran Harian Serambi Minang Padang. Namun koran itu hanya bertahan 3 bulan lantaran kehabisan modal. Selama masa itu, Ia sempat menjadi penyiar beberapa radio swasta di Padang, dan juga sempat menjadi koresponden Radio El Shinta, Jakarta untuk wilayah tugas Kota Padang dan sekitarnya. Namun karena keterbatasan kepemilikan alat komunikasi serta alat perekam, pekerjaan itu pun ia tinggalkan. Di akhir tahun 2004, ia diterima bekerja di Harian Haluan Padang, yang merupakan surat kabar tertua di Sumatera Barat. Mulanya Ia tidak menyangka akan diterima di koran itu karena dia tidak memiliki ijazah sarjana, namun lantaran surat lamarannya banyak dilampirkan sertifikat dan piagam penghargaan, puluhan pelatihan jurnalistik yang diikutinya, atas pertimbangan itulah, ia pun diterima bekerja. Selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistiknya terasah. ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal. Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan Ia ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda) Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia. Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan Ia dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang, tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Muhammad Subhan bukan siapa-siapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita- cita menjadi wartawan sejati seumur hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang bijak. Begitulah yang juga dirasakan Muhammad Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essay dan artikel yang tersebar di sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya. Dan mimpi itu ingin ia wujudkan, meski ia tak tahu entah kapan semuanya tergapai. Kisah hidupnya ini, setidaknya, menjadi motivasi bagi penulis dan wartawan pemula untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan. Sebab kata Muhammad Subhan, generasi wartawan hebat masa depan ditentukan oleh sikap generasi wartawan muda hari ini. "Teruslah menulis agar tidak dilupakan orang," ujar suami Fitri Kumala Sari, perempuan Minang asal Bayang Pesisir Selatan yang dipinangnya Desember 2007 silam. *** Biodata Pribadi Nama : Muhammad Subhan Tanggal lahir : Medan, 3 Desember 1980 Pekerjaan : Wartawan Cita-cita : Ingin Jadi Orang Biasa yang Menjelajahi Dunia Karya tulis : Cerpen, Puisi, Essay, Artikel yang tersebar di berbagai media terbitan lokal dan nasional Istri : Fitri Kumala Sari, S.Pd Organisasi : Anggota Komite Sastra, Dewan Kesenian Kota Bukittinggi, Sumatera Barat Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ Alamat ratron (surat elektronik): [EMAIL PROTECTED] Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: www.kabarindonesia.com