Dikutip dari Jawapos.
 
Rabu, 16 Mar 2005,
Incar Telekomunikasi di Singapura 

PERTANYAAN besar ini belum juga terjawab: akan diinvestasikan ke manakah
dana sekitar Rp 18 triliun hasil penjualan 40 persen saham HM Sampoerna
(HMSP)? Beberapa spekulasi memang telah beredar di kalangan pelaku pasar
saham, namun belum ada keterangan resmi dari pihak HM Sampoerna. 

Ada yang menyebut keluarga Sampoerna akan membidik investasi infratsruktur,
ada juga spekulasi bahwa generasi ketiga dan keempat Liem Seeng Tee itu akan
terjun ke bisnis penerbangan. Selain dua informasi itu, muncul kabar bahwa
keluarga Sampoerna mulai merintis bisnis telekomunikasi di negeri jiran
Singapura.

Informasi yang dihimpun koran ini dari berbagai sumber, Putera Sampoerna
-generasi ketiga dinasti Sampoerna yang juga presiden komisaris PT HM
Sampoerna- sejak tiga tahun lalu mulai merintis bisnis telekomunikasi di
Singapura. Itu ditandai dengan masuknya mereka menjadi pemegang saham
mayoritas di perusahaan pemasok perlengkapan telekomunikasi, Transmarco.
Dengan menguasai 66 persen saham Transmarco, Putera berencana menjadikan
Transmarco sebagai bendera HMSP untuk ekspansi usaha di kawasan regional. 

Meskipun investasi di Transmarco dinilai tidak sepenuhnya berhasil,
perusahaan itu dianggap ideal sebagai kendaraan untuk ekspansi bisnis
telekomunikasi dan bisnis lain di Malaysia, Myanmar, dan Vietnam. 

Apa pun pilihan bisnis keluarga Sampoerna setelah meninggalkan "kerajaan"
sigaretnya, HMSP akan menjadi salah satu legenda bisnis terbesar di tanah
air. Sampoerna adalah gurita bisnis yang awalnya hanya dibangun melalui
penjualan makanan dan tembakau. Pada 1898, bersama ayah dan kakak
perempuannya, Liem Seeng Tee meninggalkan Provinsi Hokian di daratan China
menuju Surabaya. Liem inilah generasi pertama dari generasi sukses
Sampoerna. 

Pada 1912-1913, Liem berjualan arang dengan sepeda tua, yang mempertemukan
dirinya dengan Tjiang Nio, yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Dia
berjualan di warung yang disewa dari tabungan hasil kerjanya di pabrik rokok
di Lamongan. Dari situlah dia menjual makanan dan tembakau. 

Liem pulalah yang pertama menjual rokok dengan aneka macam merek dagang,
seperti Dji Sam Soe, 123, 720, 678, dan Djangan Lawan, yang ditujukan bagi
semua segmen pasar. Bahkan, andalannya adalah Dji Sam Soe -hingga kini logo
dan kemasannya masih dipertahankan.

Sepeninggal Liem, usaha dikelola dua orang putrinya, Sien dan Hwee, kemudian
diteruskan Swie Ling. Swie -dikenal sebagai Aga Sampoerna- yang menjadikan
HM Sampoerna lebih berkembang. Pada awal 1970-an, setelah masuknya Putera
Sampoerna, putra Aga Sampoerna, ke jajaran manajemen, HM Sampoerna makin
melesat. 

Karyawannya mencapai 1.200 orang dengan produksi 1,3 juta batang rokok per
hari. Bahkan menjadi perusahaan publik adalah murni ide Putera Sampoerna.
Kini Putera Sampoerna menjadi presiden komisaris. Sejak 27 Juni 2000, putra
bungsu Putera Sampoerna, Michael Joseph Sampoerna, masuk ke jajaran direksi.
Setahun kemudian dia diangkat sebagai presiden direktur sekaligus chief
executive officer dan chief financial ifficer PT HM Sampoerna Tbk. 

Namun, di generasi keempat setelah Liem Seeng Tee, Aga Sampoerna, dan Putera
Sampoerna inilah justru berita saham HMSP bakal dilego ke Philip Morris
muncul.

Bagi Philip Morris, akuisisi Sampoerna diyakini sebagai keuntungan besar.
Selain pabrik rokok andalannya, yakni Sampoerna dengan produk unggulan Dji
Sam Soe dan A Mild, perusahaan itu memiliki bisnis properti Taman Dayu. Di
bisnis properti itu, keluarga Sampoerna mengelola 598 hektare tanah di
Malang. 

Keluarga Sampoerna juga menjadi pemilik waralaba Alfamart yang semula
dimaksudkan untuk memperlancar penjualan ritelnya. Keluarga Sampoerna
membeli 70 persen Sumber Alfaria Trijaya yang merupakan pemilik waralaba
Alfamart pada 1990. 

Bisnis lainnya adalah PT Sampoerna Percetakan Nusantara yang beralih nama
menjadi PT Sampoerna Printpack, didirikan di Sukorejo pada 1989. Melengkapi
semua itu, ada bisnis gaya hidup yang baru dirintis, yakni resto House of
Sampoerna.

Lantas, bagaimanakah sosok Putera Sampoerna yang sukses membuat lompatan
bisnis HMSP ini? Putera adalah sedikit di antara pebisnis lokal yang sukses
membuat bendera perusahan warisan keluarga berkibar-kibar. Lahir di Belanda
pada 1947 dan mendapatkan pendidikan internasional pertama di Diocesan Boys
School, Hongkong, kemudian di Carey Grammar High School, Melbourne, dan
berlanjut ke University of Houston, Texas, membuat Putera memiliki latar
belakang pendidikan global yang mumpuni.

Lulus dari perguruan tinggi, generasi ketiga dari pendiri PT Handjaya
Mandala Sampoerna (HMSP) Liem Seeng Tee itu tidak langsung melibatkan diri
dalam bisnis keluarga. Bersama istrinya warga Amerika Serikat keturunan
Tinghoa, Katie Chow, Putera tinggal di Singapura dan menjalankan perusahaan
yang mengelola perkebunan kelapa sawit milik pengusaha Malaysia. Baru pada
1980, Putera kembali ke Surabaya untuk bergabung dalam operasional
perusahaan rokok. 

Pria yang menggemari angka sembilan itu mulai menjadi figur menentukan
setelah menerima tampuk pimpinan tertinggi sebagai chief excutive officer
HMSP dari ayahnya, Aga Sampoerna, pada 1986. Setelah sang ayah meninggal
pada 1994, Putera semakin aktif menggenjot kinerja perusahaan dengan
merekrut profesional mancanegara untuk turut mengembangkan kerajaan
bisnisnya. Para profesional itu didatangkan dari Singapura, Taiwan, AS,
Korea, dan Indonesia sendiri.

Mengenai gebrakan bisnis, Putera dikenal luas sebagai nakhoda perusahaan
yang tidak hanya lihai dalam melakukan inovasi produk inti perusahaannya,
yakni rokok, namun juga jeli melihat peluang bisnis di segmen usaha lain. Di
bisnis sigaret, nama Putera tidak bisa dihapus berkembangnya segmen pasar
baru, yakni rokok rendah tar dan nikotin. Mengusung produk A Mild, HMSP
adalah pelopor produk mild di tanah air. 

Data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyebutkan,
dalam sepuluh tahun market share rokok mild melejit sampai tiga kali lipat
menjadi di kisaran 20 persen. Yang menarik, ekspansi pasar rokok mild itu
justru tidak mematikan pasar rokok tradisional, yakni kretek. Rokok mild
justru merebut pasar rokok putih impor, seperti Marlboro, Lucky Strike, 555,
dan Ardath. 

Seperti kegagalan pemasaran St Dupont di bisnis rokok, ekspansi bisnis
Putera di luar usaha rokok tidak semua sukses. Ambisi untuk masuk ke bisnis
keuangan dan perbankan serta industri otomotif dengan membeli 12,2 persen
saham PT Astra International Tbk (AI) pada periode 1995-1997 tidak ada kabar
beritanya. Padahal, aksi korporat itu sempat membuat harga saham HMSP anjlok
tajam di lantai bursa. Sebab, para investor meragukan kemampuan bisnis HMSP
di luar bisnis rokok. (fan/yun/kim) 



  _____  

 
<http://promos.hotbar.com/promos/promodll.dll?RunPromo&El=&SG=&RAND=34190&pa
rtner=fastutility> Block Spam Emails - Click here! 



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
What would our lives be like without music, dance, and theater?
Donate or volunteer in the arts today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/WwRTUD/SOnJAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke