Sabtu 22 Februari - Jumat 28 Februari

Walaupun banyak beristiirahat tetapi kondisi saya tidak semakin membaik. 
Malah salatpun saya lakukan dengan duduk karena tidak kuat saya lakukan 
dengan berdiri.

Sebagaimana halnya dalam menghadapi kondisi krtitis ketika hendak 
berwukuf di Arafah, saya yakin bahwa pada saatnya kesehatan saya akan 
pulih dan akan bisa berangkat dan melakukan Arbain di Masjid Nabawi di 
Madinah. Tetapi keyakinan itu tidak jatuh kepada sikap fatalistik. Saya 
selalu berusaha untuk makan nasi semampu yang bisa saya lakukan dan 
minum air Zam-Zam, walaupun sering terbatuk-batuk karenanya. Sukar masuk 
nasi, saya makan buah-buahan: apel, jeruk sankis dan---terutama---pisang 
ambon yang bagus-bagus dan besar yang mudah diperoleh di sana. Saya juga 
selalu minum susu dan jus yang tidak terlalu merangsang seperti jus 
mangga dalam botol, walaupun lama-lama bosan juga. Jus jeruk dan 
terutama jus apel agak saya hindari karena agak merangsang kerongkongan 
saya.

Pada saat itu meminum air Zam-Zam atau air kemasan setengah gelas saja 
susah dan lamanya bukan main.

Mengetahui bahwa saya hanya minum air Zam-Zam, setiap malam sepulang 
Isya di Masjidil Haram, Pak Khaidir selalu mampir untuk memberikan air 
Zam-Zam yang dibawanya dari dari sana.

Kur yang hampir setiap Shubuh shalat ke Masjidil Haram bersama bekas 
teman-temannya sekamar, pulangnya membeli sayur matang dari para TKI 
yang rasanya lebih menerbitkan selera dibandingkan dengan masakan Warung 
Madura di samping pemondokan kami. Saya masih ingat makan disuapi Kur 
dengan dengan sayur lodeh yang rasanya sangat nikmat sekali.

Saya juga sudah rindu terhadap masakan Padang, seperti gulai tunjang 
(kikil). Tetapi saya dengar di Mekah tidak ada restoran Padang. Hal ini 
agaknya berkenaan dengan ketentuan Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia yang 
menetapkan bahwa makanan hanya boleh disantap tidak lebih dari delapan 
jam setelah dimasak, yang agaknya sukar untuk dipenuhi restoran-restoran 
Padang.

Tetapi walaupun saya dapat menghadapi sakit saya dengan tabah dan tidak 
pernah mengeluh, sakit tersebut awalnya sempat juga mempengaruhi 
karakter saya. Saya jadi lebih keras kepala, gampang tersinggung, suka 
mengungkit-ungkit hal-hal yang sudah lewat dan gampang marah kepada Kur. 
Untung Kur dapat memahami kondisi saya tidak terlalu menghiraukannya, 
walaupun sempat menangis juga manakala saya sudah “keterlaluan”. 
Menyadari hal itu, saya lebih berusaha mengendalikan diri saya, sehingga 
pertengkaran yang tidak perlu bisa dihindari.

Bahkan ketika Pak Yogas dan Bu Atin beriktikaf semalaman di Masjidil 
Haram, kami berdua sempat kembali memadu kasih sayang.

Kur yang sejak tiba di Tanah Suci setiap hari membaca Al Qur’an dan 
bertekat akan mengkhatamkannya sebelum kembali ke tanah air meneruskan 
kebiasaannya itu. Mendengar dia melafadzkan ayat-ayat suci adalah 
saat-saat yang menyenangkan dan menenangkan pikiran saya.

Kecuali sesekali batuk-batuk, kondisi Kur sendiri cukup baik dan 
seleranya bagus. Apa saja masuk. Apalagi kami sering menenerima makanan 
kiriman dari maktab dan Raja Saudi. Pernah juga ada kiriman dari Hotel 
Hilton. Kur juga sering memasak supermi yang diberi cabe iris yang 
dibelinya di suatu tempat, yang cukup menerbitkan selera, namun ketika 
saya coba memakannya sesendok saya langsung batu-batuk. Kadang-kadang 
Kur saya lihat sempat panik juga melihat kondisi saya yang tidak kunjung 
membaik, tetapi selalu saya besarkan hatinya dengan mengatakan, bahwa 
segala sesuatu itu sudah diatur, kita tinggal menjalani dan berikhtiar 
sekuat tenaga untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang dihadapi.

Terus terbatuk-batuk kalau minum air, menyebabkan suara saya mulai 
hilang. Namun dalam kondisi demilian, saya masih sempat berdiskusi 
dengan Pak Yogas.

Pak Yogas seorang yang cerdas, enak diajak bicara , dan agak “sepaham” 
dengan saya yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan masyarakat 
Minang yang kritis dalam beragama, khususnya terhadap tata cara beragama 
yang tidak jelas dasarnya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi.

Pak Yogas sempat membahas dan sependapat dengan isi Buku yang ditulis 
oleh Mufti Kerajaan Arab Saudi yang versi Bahasa Indonesianya dibagikan 
sewaktu kami baru tiba di Bandara King Abdul Azis, yang belum sempat 
saya baca dengan mendalam yang mempersoalkan umrah sunnah yang banyak 
dilakukan para jemaah haji (termasuk jemaah haji Indonesia) dengan 
bermiqat di Tan’im, Jaronah dan Hudaibiyah yang tidak jelas 
“juntrungannya”, karena tidak pernah dilakukan Nabi SAW dan para 
sahabat. Seperti yang ditulis dalam buku itu, Nabi dan para sahabatnya 
tidak ada yang melakukan umrah sunnah sehabis melakukan Haji Wada. 
Diungkapkan pula riwayat di mana Nabi dan para sahabat tidak ada yang 
berumrah di tahun yang sama. Akibatnya, seperti yang ditulis dalam buku 
itu, kegiatan tawaf di Masjidil Haram selalu berdesak-desak dan tidak 
jarang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Fakta lain ialah karena berkali-kali melakukan umrah “sunnah” tersebut 
banyak jemaah yang kecapekan, dan jemaah haji yang tiba di awal-awal 
musim haji banyak yang sakit atau tidak fit pada saat melaksanakan 
ibadah hajinya sendiri.

Dan saya semakin bersyukur tidak bisa melakukan umrah sunnah ketika 
berziarah ke Hudaibiyah beberapa hari yang lalu. Padahal sebelumnya, 
sesuai dengan anjuran Pak Ustadz sewaktu mengikuti bimbingan manasik 
haji, saya merencanakan akan mengumrahkan orang-orang tua saya almarhum 
di waktu luang antara pelaksanaan rukun dan wajib haji dengan saat 
berziarah di Madinah.

Pada suatu hari Pak Ustadz Azis mengunjungi saya. Beliau memberikan 
beberapa nasehat yang membesarkan hati saya dan mengatakan agar saya 
bersabar. “Bapak tidak sakit, tetapi diberi kesempatan oleh Allah SWT 
untuk lansung mengadu kepadaNya”. Kemudian dilanjutkannya, “Menurut saya 
sakit ini lebih baik dari pada sehat”.

Saya lama termenung merenungkan kata-kata Ustadz Azis. Sejak sakit 
menjelang wukuf di Arafah saya banyak menerima perhatian, simpati dan 
pertolongan dari rekan-rekan sesama jemaah. Bahkan tidak kurang pula 
yang mengirimkna makanan suplemen seperti sereal, biscuit bergizi tinggi 
dan susu bubuk yang diperkaya. Setiap bertemu Kur para jemaah, termasuk 
yang di luar kafilah kami sering menanyakan bagaimana kondisi saya dan 
mendoakan agar saya cepat pulih.

Apakah melalui cara ini Allah SWT memperlihatkan sebagian “rapor” saya 
sebelum ini? Wallahualam. Setiap bulan kami memang selalu menyisihkan 
sebanyak 2,5% dari gaji saya untuk membantu kerabat dan tetangga yang 
memerlukan dan tidak pernah membedakan kerabat dan tetangga, hanya 
karena latar belakang dan kondisi sosial ekonominya. Di perusahaan 
tempat saya bekerja sebelumnya selama 14 tahun, tidak hanya di setiap 
Lebaran, tetapi juga di setiap hari Natal kami selalu memberikan 
bingkisan kepada staf pendukung di perusahan tersebut yang merayakannya. 
Sementara kehidupan kami sendiri sangat bersahaja.

Ah, jadi malu saya menceritakannya.

Selain bekas teman-teman sekamar saya dan Kur, Pak Ustadz juga sempat 
dua kali menjenguk saya.

Sekali pernah terpikir oleh saya, bagaimana kalau kehilangan suara yang 
saya alami ketika itu bersifat permanen sehingga mempengaruhi kemampuan 
saya untuk bekerja selanjutnya. Tetapi pikiran itu tidak membuat saya 
kecil hati, karena apapun yang akan terjadi, pilihan untuk pergi ke 
Tanah Suci adalah pilihan saya sendiri, dan Agama Islam yang mewajibkan 
penganutnya yang mampu untuk melakukan ibadah haji, adalah agama yang 
saya anut dengan sadar dan penuh keyakinan.

Sementara itu saya tetap berusaha untuk makan walaupun seret, dan minum 
sebanyak-banyaknya walaupun tetap sering terbatuk-batuk, sampai saya 
temukan cara yang agak aman untuk minum, yaitu dengan agak menelengkan 
kepala saya ke kanan karena bagian yang sensitif di pangkal kerongkongan 
terletak di bagian sebelah kiri, walaupun kadang-kadang, bagian yang 
sensitif tersentuh sehingga saya kembali batuk-batuk.

Masuknya air Zam-Zam dalam jumlah yang agak berarti, menyebabkan kondisi 
saya berangsur-angsur. Dan kalau napas mulai terasa sesak sesudah 
batuk-batik, saya segera menghirup Atrovent inhaler.
Sayapun sudah dapat kembali shalat dengan berdiri.

Sesekali saya masih mengirim SMS kepada Pak Haji Mugiharto dan Iben anak 
kami yang paling besar guna menceritakan perkembangan kesehatan saya.

Ketika Kur menelepon ke rumah, anak saya yang paling besar menceritakan 
bahwa para tetangga dan anak-anak yatim yang menghadiri pengajian 
mingguan yang diselenggarakan di rumah selama kami berada di Tanah Suci 
dan peserta latihan Tetada Kalimasada di SD di sebelah rumah, selalu 
mendoakan kesembuhan saya

Dokter Ifa yang menyangka bahwa kondisi saya tetap payah memberi tahu 
Kur, bahwa saya kembali akan diterapinya dengan Reiki, tetapi kami harus 
membeli sendiri obat-obatan yang akan direspkannya. Ketika saya datang 
ke tempat praktiknya di lantai enam, dia agak terkejut melihat kondisi 
saya yang rupanya tidak seperti dibayangkannya sebelumnya. Ketika hendak 
kembali ke kamar saya diberinya dua strip tablet multivitamin.

Belakangan ini ponsel saya sudah tidak bisa lagi mengakses Al Jawwal, 
ko-operator Telkomsel di Saudi. Rupanya kartu Hallo saya sudah kena 
blokir karena saya tidak ingat untuk menaruh deposit sebelum berangkat 
ke Tanah Suci. Akibatnya saya tidak bisa lagi mengirim SMS ke tanah air.

Jumat 29 Februari, tiga hari lagi menjelang tawaf wada dan saatnya 
berangkat ke Madinah saya kembali mendatangi dokter Ifa untuk 
berkonsultasi dan minta izin untuk keluar pemondokan guna melakukan 
shalat magrib di Masjidil Haram. Suster Enny yang berada di samping 
dokter Ifa sangat mendukung keinginan saya. Dokter Ifa menyetujuinya 
asal saya menggunakan kendaraan umum setiap pulang dan pergi dari 
Masjidil Haram.

Dalam keadaan normal, sakit adalah hal yang sangat menjemukan, dan 
hari-hari terbaring sakit terasa sebagai hari-hari yang panjang. Tetapi 
yang saya rasakan di Tanah Suci adalah sebaliknya. Hari-hari terbaring 
sakit sejak kembali mengunjungi tempat-tempat bersejarah, berjuang untuk 
tetap makan nasi walaupun terasa seret dan minum sebanyak-banyaknya 
walaupun sering terbatuk-batuk karenanya, sepertinya berlangsung sangat 
cepat , bahkan terasa sebagai hari-hari yang hilang.

Hari itu saya masih mengganti shalat Jumat dengan shalat dhuhur di 
kamar, dan kalau berbicara masih setengah berbisik. Tetapi saya sudah 
mulai berfikir mengenai persiapan saya untuk melaksanakan Tawaf Wada 
yang tinggal tiga hari lagi. Rencana untuk shalat magrib di Masjidil 
Haram menjelang Tawaf Wada, adalah bagian dari persiapan itu.






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke