" Begini kata ustadz saya!"
Kata seorang mempertahankan pendapatnya mati-matian. Pengagungan, kekaguman, dan pengikutan terhadap pendapat seorang ustadz atau kyai sering tidak merupakan manifestasi penghormatan terhadap tokoh agama tersebut. Seringkali tindakan para pengikut tokoh agama tersebut malah merupakan suatu sikap yang berbahaya bagi agama. Sikap tersebut terkenal dengan sebutan taklid.
Makna Taklid
Taklid dari segi bahasa berarti membuat ikatan di leher. Diambil dari kata qaladah, yaitu sesuatu yang digunakan orang untuk mengikat yang lainnya.
Adapun secara istilah, taklid bermakna mengambil madzhab dari seseorang atau beramal dengan ucapan-ucapan orang itu tanpa mengetahui dalil dan hujjahnya.
Orang yang taklid kepada pendapat seseorang disebut muqallid. Dengan demikian jika kita mengikuti pendapat seseorang, padahal pendapatnya itu tidak berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah sesuai pemahaman generasi sahabat, maka kita adalah muqallidnya.
Boleh Taklid atau Tidak ?
Tidak semua orang berpendapat untuk melarang atau membolehkan taklid. Ada tiga pendapat tentang taklid ini. Mereka itu adalah:
1.Pendapat yang membolehkan taklid kepada salah satu imam madzhab. Pendapat ini dipegang kebanyakan oleh orang-orang yang fanatik terhadap madzhab.
2.Pendapat yang secara mutlak melarang taklid, seperti pendapat Imam As-Syaukani dan Ibnu Khuwazi Mandad.
3.Pendapat yang mengatakan taklid dengan syarat. Yaitu taklid yang diperbolehkan, seperti taklid orang bodoh kepada 'alim ( orang yang berilmu agama ) yang terpecaya; serta taklid yang dilarang seperti taklid seseorang kepada 'alim tanpa hujjah ( dalil ). Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar tentang keboleha seorang awam bertaklid kepada 'alim yang terpercaya, " Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, maka dia itulah yang diharuskan taklid. Karena Allah tidak membebani suatu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang 'alim pun terpaksa harus taklid dalam beberpa permasalahan yaitu Qur'an dan As-Sunnah dan dia mendapatkan ucapan orang yang lebih 'alim dari dirinya. Maka pada keadaan itu dia pun terpaksa taklid kepadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam beberapa permasalahan".
Harus Taklid Madzhab?
Diantara pendapat orang-orang yang taklid kepada madzhab adalah, " Tidak seorang pun yang dapat memahami Al Qur'an dan As-Sunnah serta mengamalkannya kecuali hanya para imam madzhab saja. Sedangkan mereka sudah memenuhi syarat begini dan begitu!!! Bahwa merekalah yang lebih memenuhi syarat untuk pekerjaaan itu, serta tidak ada satu manusia pun bisa melakukannya setelah mereka".
Pendapat ini tidak pada tempatnya. Allah SWT telah memudahkan agama ini. Setiap muslim berhak untuk mempelajari Al Qur'an dan AS-Sunnah, dan jika ia mendapatkan suatu dalil yang telah terang baginya dalam suatu permasalahan, maka ia wajib mengamalkan hukum-hukum yang terkandung dalam dalil tersebut.
Allah telah berfirman, " Dan sesungguhnya kami telah memudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran?" ( QS. Al Qamar:17,22,32 & 40 )
" Ini adalah sebuah kita yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran ". ( QS. Shaad(38):29 )
Para muqallid madzhab juga berpendapat, " Tidak boleh taklid kepada selain empat madzhab, sekali pun tidak sesuai dengan ayat Al Qur'an dan Sunnah, tidak pula kepada pendapat sahabat, karena orang yang keluar dari madzhab yang empat adalah sesat dan menyesatkan. Juga karena mengambil arti zhahir nash Al Qur'an dan As-Sunnah termasuk pokok-pokok kekufuran".
Al-'Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitabnya Al-Aqalid membantah mereka," Lihatlah wahai saudara-saudaraku! Alangkah kehi dan batilnya perkataan mereka. Boleh menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah dan Ijma' Sahabat asal jangan keluar dari empat madzhab. Ini adalah kedustaan besar! Adapun ucapan mereka bahwa 'Sesungguhnya mengambil zhahir Al Qur'an termasuk pokok-pokok kekufuran', juga merupakan kebathilan yang sangat keji dan besar".
Justru yang tidak mengikuti Al Qur'an dan As-Sunnah berarti telah kufur. " Taatlah kepada Allah ( Al Qur'an ) dan Rasul-Nya ( As-Sunnah ), barangsiapa yang berpaling ( dari keduanya ) maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir". ( QS.Ali Imran(3):32 )
Allah SWT juga telah membenarkan untuk mengikuti para sahabat seperti firman-Nya," Generasi pertama ( Islam ) dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan benar Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah .." ( QS. At Taubah (9):100)
Allah SWT juga membantah larangan mereka mengambil zhahir arti Al Qur'an dan As Sunnah yang tersurat, " Dia ( Allah ) yang menurunkan AL-Kitab ( Al Qur'an ) kepadamu di dalam terdapat ayat-ayat yang jelas, sebagian besar isi Al Qur'an itu ( demikian )..." ( QS. Ali Imran (3):7)
Jika para muqallid madzhab melarang orang untuk mempelajari Al Qur'an dengan pengertian tersuratnya, sedangkan Al Qur'an itu mudah dipelajari dan dimengerti, sama saja mereka membuat orang menjauhi AL Qur'an. Malah, bisa timbul pemahaman yang keliru bahwa teks-teks Al Qur'an adalah majaz atau teka-teki dengan pengertian tersembunyi yang tak semua orang bisa memahaminya. Jika Al-Qur'an itu sulit dipahami manusia maka tidak ada gunanya pula kita diperintahkan untuk mempelajarinya sebagai petunjuk.
Salah satu dalil yang digunakan orang yang taklid dengan madzhab adalah firman Allah SWT, "...maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya". ( QS. AL Anbiya(21):7 )
Ayat ini sebenarnya tidak menunjukkan bolehnya taklid, bahkan sebaliknya. Yang dimaksud ahlu dzikr pada ayat adalah orang yang mengerti tentang wahyu yang turun. Diperintahkan bertanya kepada mereka aga diberi fatwa dengan ketentuan wahyu, Al Qur'an dan As Sunnah.JIka seseorang menjelaskan suatu masalah dengan kedua wahyu tersebut, dan kita mengikuti penjelasan tersebut sesuai Al Qur'an dan As-Sunnah, maka perbuatan kita bukan taklid lagi namanya, tetapi malah ittiba' ( mengikuti wahyu ).
Imam Madzhab Membantah Taklid
Kenyataannya, para imam madzhab malah beda pendapat dalam masalah taklid ini dengan para muqallidnya. Para imam madzhab malah melarang orang taklid kepada mereka dan menganjurkan orang-orang untuk mengetahui dalil-dalil perkataan merekalah.
Imam Abu Hanifah berkata, " Tidak halal bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataanku, selagi ia tidak tahu dari mana aku mengambilnya".
Imam Malik bin Anas berkata, " Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap perkataanku yang menyimpang dengan Al Kitab dan Sunnah , tinggalkanlah".
Imam Asy-Syafi'i berkata," Setiap pendapatku yang menyalahi hadits Nabi saw maka hadits Nabi saw itulah yang wajib diikuti, dan janganlah kalian taklid kepadku".
Imam Ahmad bin Hambal berkata, " Jangalah kalian taklid padaku dan jangan pula kalian taklid kepada Imam Malik, Syafi'i, Auza'i dan Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil".
Keempat imam madzhab itu memiliki dalil-dalil. Diantara dalil-dalil mereka ada yang shahih dan ada pula yang lemah, maka kita seharusnya mengambil pendapat mereka yang lebih rajih dan shahih, dengan tidak membedakan satu imam dengan lainnya. Jika hujjah mereka shahih maka wajib bagi kita untuk membenarkan dan memegang pedapat tersebut. Tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil fatwa dari ulama-ulama sementara dia tidak mengetahui hujjah atau dalil dari ulama tersebut. Yang benar adalah kita cocokkan setiap pendapat Imam-Imam Ahlussunnah baik dari empat Imam madzhab ataupun dari Imam-Imam yang lain dengan merujuk kepada Kitabullah, As-Sunnah serta atsar dari sahabat.
Tidak Hanya Masalah Madzhab
Penyakit taklid tidak hanya menjangkiti para muqallid madzhab. Orang-orang sufi dan kaum pergerakan muslim juga ada yang menyuburkan penyakit ini.
Diantara perkataan orang sufi yang menyuburkan penyakit taklid adalah bahwa seorang murid itu dihadapan mursyid ( sebutan guru kaum sufi ) nya adalah seperti mayat yang sedang dimandikan. Keadaan mayat yang dimandikan jelas tidak berkutik sama sekali. Jika orang yang memandikan ingin membolak-balikkan mayat tersebut, mayat itu tak bisa membantah ataupun berontak. Jika keadaan seorang murid di depan gurunya adalah demikian, walhasil salah satu hasilnya aalah taklid. Guru bilang A, ia pun akan bilang A, karena ia seakan mayat yang tak bisa bertanya ataupun membantah.
Seorang tokoh pergerakan muslim juga berkata tentang sebuah fase untuk anggota gerakannya bahwa fase tersebut adalah fase militer dan sufi murni. Hal ini juga serupa dengan perkataan kaum sufi diatas. Kemiliteran menuntut pelaksanaan perintah tanpa banyak tanya. Bayangkan kerusakannya jika anggota gerakan itu diperintah untuk melakukan pemboman tanpa boleh tanya mengapa ia harus melakukan pemboman. Paham gerakan seperti ini juga menyuburkan taklid.
Entah terjadi di kalangan fanatik madzhab, sufi, atau pergerakan, taklid tetaplah sebuah penyakit yang membahayakan. Taklid bisa menyebabkan pengkultusan individu, paham ataupun kelompok. Taklid pun menghancurkan peranan wahyu, karena ketika seorang muqallid ditanya dasar suatu masalah, ia merujuk kepada pendapat orang bukan dalil. Maka, wajib bagi kita untuk mewaspadai dan menjauhi sikap taklid.
Shafa Kazhimah
Maraji: Ittiba' dan Taklid,artikel dari situs anshorussunnah
Diketik ulang dari: Majalah Nikah Vol.5, No.2, Mei 2006, hal.36-39
Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
YAHOO! GROUPS LINKS
- Visit your group "media-dakwah" on the web.
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.