Keluarga Sakinah Dalam Masalah   Oleh: Mochamad Bugi
   
  Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam 
  masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan 
  makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga 
  tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah 
  kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal 
  sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan 
  kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul 
  yang terjadi.
   
  Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah 
  garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. 
  Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata 
   
  tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju 
  dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali 
  sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, 
  Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari 
  urusan komunikasi antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar 
  keluarga dalam masyarakat.
   
  Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga 
  yang menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di 
antaranya 
  memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada 
  semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan yang melilit 
  keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu 
  diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif 
  ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi 
  penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun 
  keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. 
  Dan, kata kunci itu adalah sakinah.
   
  Makna Sakinah
   
  Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan 
  keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang 
  berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu 
digunakan 
  Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga 
  dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur 
  untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama 
  anggotanya.
  Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah 
  Al-Baqarah ayat 248.
   
  وَقَالَ 
لَهُمْ 
نَبِيُّهُمْ 
إِنَّ آَيَةَ 
مُلْكِهِ 
أَنْ 
يَأْتِيَكُمُ
 التَّابُوتُ 
فِيهِ 
سَكِينَةٌ 
مِنْ 
رَبِّكُمْ 
وَبَقِيَّةٌ 
مِمَّا 
تَرَكَ آَلُ 
مُوسَى 
وَآَلُ
 هَارُونَ 
تَحْمِلُهُ 
الْمَلَائِكَةُ
 إِنَّ فِي 
ذَلِكَ 
لَآَيَةً 
لَكُمْ إِنْ 
كُنْتُمْ 
مُؤْمِنِي
   
  “Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia 
  akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat 
  ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan
   keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”
   
  Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan 
  bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat 
ketenangan 
  –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah 
  adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu,
  termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.
   
  Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
   
  هُوَ 
الَّذِي 
أَنْزَلَ 
السَّكِينَةَ
 فِي قُلُوبِ 
الْمُؤْمِنِينَ
 
لِيَزْدَادُوا
 إِيمَانًا 
مَعَ 
إِيمَانِهِمْ
 وَلِلَّهِ 
جُنُودُ 
السَّمَاوَاتِ
 وَالْأَرْضِ
 وَكَانَ 
اللَّهُ 
عَلِيمًا ح 
   
  ‘Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang 
  mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka 
  (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan 
  adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
   
  Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja 
  Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini 
  merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang 
  mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa 
  diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana 
  tenang bagi orang lain.
   
  Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” 
  merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam 
  membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia 
  sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga 
  seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. 
  Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. 
  Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika 
  berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
   
  Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus 
  yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena 
  rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami 
  tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. 
  Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman 
  di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah 
  adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis 
  –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.
   
  Membangun Kenyamanan Keluarga
   
  Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. 
  Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota 
  keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. 
  Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. 
  Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses 
  pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih 
  tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.
   
  Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih 
  ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan 
  rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema 
  keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari 
  pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai 
  perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari 
  pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi 
  kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan 
  pelaku pengalaman itu.
   
  Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali 
  menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman 
  orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban 
  yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa 
  dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan 
  pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar 
  buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. 
  Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan 
  penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, 
  sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.
   
  Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi 
  tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga 
  yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. 
  Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang 
  menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak 
  tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah 
  rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. 
  Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, 
  kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda 
  yang pandai menyiasati perubahan.
  Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas 
  cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi 
  tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui 
  pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. 
  Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, 
  yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari 
  jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. 
  Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta 
  dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari 
  keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh 
  badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah 
  kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
   
  Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. 
  Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap 
  merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. 
  Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli 
  akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi 
  yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua 
  tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh 
  membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi 
  yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.
   
  Lunturnya Semangat Sakinah
   
  Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan 
  bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya 
  pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar 
  kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk 
  berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.
   
  Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya 
  akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama 
kalimatnya. 
  Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau bahkan persis 
  sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat tadi.
   
  Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan 
  istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan 
  menghadapi godaan”. Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor 
  jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu 
alasan. 
  Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa saling memahami, 
  ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.
   
  Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin 
  menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin 
  rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus 
  di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang 
  bapak yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang 
  lebih erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam 
  keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak 
  kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan 
  posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang 
  semakin memprihatinkan itu.
   
  Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran 
  nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup 
  bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah 
  orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka 
  anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan 
  berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? 
  Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman 
  yang kadang membingungkan?
   
  Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. 
  Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. 
  Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, 
  diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk 
  tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, 
  tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk 
  tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini 
  telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat 
  kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya 
  menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya 
  nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah 
  berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.
   
  Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident) 
  telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang 
  dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu. 
  Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak 
  ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian 
  kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali etika. 
  Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh masing-masing 
  anggota keluarga tampak semakin kabur.
   
  Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk 
  sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan 
  jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, 
  dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan 
  sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan daya 
  perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang 
  berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah surgaku, 
  akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin 
  sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. 
  Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar 
  suasana rumah tangga.
   
  Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. 
  Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian 
  untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal. 
  Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, 
  yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. 
  Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya 
  juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama 
  berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena itu, selama 
  proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai 
  dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah 
  proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang 
  sesungguhnya mereka butuhkan.
   
  Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali 
  menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. 
  Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan 
  dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya 
  merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. 
  Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari 
  ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, 
  maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan 
  mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran 
  yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu 
  menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling 
  shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari 
dinding-dinding 
  rumah dan terbebas dari pengawasan orang tua.
   
  Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk 
  memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering 
  dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa 
  antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut 
  untuk selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini 
  dalam keluarga dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan 
  psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya 
  penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat 
  sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah 
  dalam keluarga.
   
  
http://www.dakwatuna.com/index.php/baitul-muslim/2007/keluarga-sakinah-dalam-masalah/
   
  
       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke