Pendidikan Murah Berkualitas Bisa Diwujudkan
[Dr. Ing. Fahmi Amhar, DPP HTI]

Ustadz, saat ini pendidikan bermutu bagi kebanyakan orang mungkin hanya menjadi 
mimpi karena mahalnya pendidikan.  Menurut Ustadz, bisakah pendidikan bermutu 
tinggi dengan biaya murah atau bahkan gratis bisa diwujudkan?

Saya yakin bisa.  Namun, ada syaratnya.  Syaratnya tiga saja: sistem 
pendidikannya (seperti kurikulumnya, tempat belajarnya, alat bantu pengajaran 
dan lain-lain) efisien; penyelenggara pendidikannya kafâ’ah (capable) dan 
amanah (tidak korupsi); dan—ini yang penting: ada dana publik yang dikelola 
negara yang memang didedikasikan untuk itu. Semua ini saling terkait. 

Sistem yang tidak efisien menyebabkan biaya tinggi. Ini juga terkait dengan 
opini publik yang dominan saat ini.  Pendidikan identik dengan pendidikan ala 
Barat.  Walhasil, banyak lulusan SMA atau bahkan sarjana tapi belum bisa 
apa-apa.  Sebenarnya kita malu, di masyarakat banyak kita jumpai orang-orang 
yang “street-smart”, orang-orang hebat yang maestro di suatu keahlian, tanpa 
lewat bangku sekolah formal.  Ada montir cakap yang ternyata tidak lulus SD, 
ada pebisnis sukses yang hanya lulusan SMP, dan ada ustadz faqih yang fasih 
berbahasa Arab tetapi bukan alumni perguruan tinggi formal.  Ini kan tidak 
diperhitungkan di budaya kita sekarang.  Di sisi lain, sistem yang ada (seperti 
kecilnya penghasilan guru dibandingkan dengan profesi lainnya) membuat 
anak-anak umat yang cerdas enggan terjun ke dunia pendidikan.


Saat ini Negara tampak tak berdaya memberikan hak konstitusional rakyatnya 
berupa pendidikan. Mengapa bisa begitu?

Ya, kembali ke tadi.  Dari sisi demand, sistem pendidikan yang ada tidak 
efisien perlu biaya tinggi.  Dari sisi supply, dana publik yang ada relatif 
sedikit, karena dihabiskan untuk bayar utang dan bunganya.  Kalau Pemerintah 
ini visioner dan berani, dia bisa taruh prioritas di pendidikan, sedangkan 
untuk bayar utang bisa dinego, misalnya cukup bayar pokoknya saja, atau besar 
cicilan bergantung pada nilai ekspor kita ke negara donor.  Jadi, kalau mereka 
ingin cicilan kita besar, keran ekspor kita ke sana harus dibesarkan juga.


Saat ini dicetuskan swastanisasi pengelolaan pendidikan melalui BHMN dan BHP. 
Alasannya, kalau diswastanisasi seperti halnya BUMN, pendidikan akan maju dan 
bermutu. Menurut Ustadz?

Itu tidak selalu demikian.  BUMN juga banyak yang rugi.  PAM Jaya setelah 
diprivatisasi dengan masuknya asing mutunya tidak naik signifikan.  Yang pasti 
naik cuma tarifnya.  Masalahnya kompleks.  Apalagi di pendidikan ini banyak 
faktor manusianya.  Industri air minum yang lebih banyak mesinnya saja susah, 
apalagi “industri pendidikan”.

Memang sih, sekarang ini masih banyak institusi pendidikan yang “asal jalan”.  
Karena gaji dan fasilitas minim, guru mengajar ya asal saja; tidak mengajar 
sepenuh hati, yang penting target kelulusan tercapai.  Waktunya habis untuk 
cari sambilan, ngajar di sekolah (swasta) lain atau bimbel.  Kalau di perguruan 
tinggi, dosen sibuk sendiri-sendiri jadi konsultan.  Akibatnya, suasana ilmu 
tidak terasa.  Di sisi lain, kalau ada kebutuhan mendesak seperti komputer yang 
harus segera diganti karena rusak, perlu waktu lama, karena mesti menunggu 
Tahun Anggaran Baru.  Sementara itu, guru yang tidak produktif, kalau PNS juga 
susah menggantinya.  Jadi intinya, tanpa otonomi yang cukup, dunia pendidikan 
kita akan stagnan.  Namun, apakah otonomi itu harus berarti swastanisasi, itu 
diperdebatkan. Kita memang harus berpikir agak “out of the box” (di luar 
kungkungan tradisi).


Ustadz, di Eropa atau Amerika yang pendidikannya dinilai maju, berapa banyak 
pendidikan sampai universitas yang dikelola negara?  Apakah sekolah negeri itu 
kualitasnya kedodoran dibandingkan dengan yang swasta?

Itu berbeda-beda.  Di Eropa kontinental (seperti Jerman atau Skandinavia) 
hampir semua lembaga pendidikan milik negara.  Namun, mereka punya otonomi yang 
tinggi sekali.  Negara hanya memberi sejumlah grant ke tiap satuan pendidikan; 
di universitas sampai ke level setara kelompok keahlian dari suatu program 
studi.  Namun, kalau hanya mengandalkan grant itu, satuan tersebut jadi 
minimalis, misalnya cuma bisa membayar satu guru besar, satu asisten, satu 
tenaga lab dan satu sekretaris. Namun, jika mereka kreatif, mereka akan dapat 
banyak dana dari menjual jasa riset ke industri.  Jadinya, industri dengan 
pendidikan juga terkait erat (link & match).  Dengan dana pihak ke-3 ini mereka 
bisa merekrut dosen (sekaligus peneliti) lebih banyak bahkan memberikan 
beasiswa kepada mahasiswa S3.  Jangan salah, beasiswa ini untuk  biaya hidup 
(living-allowance), karena untuk sekolahnya sendiri gratis.

Kalau di Amerika Serikat memang ada state university dan private university.  
Spektrum mutu dan biayanya sangat lebar.  Sering dikatakan bahwa kampus-kampus 
top di AS itu swasta, misalnya, Massaschuset Institute of Technology (MIT) yang 
peraih hadiah Nobelnya saja puluhan. Namun, harus diingat pula bahwa lebih 
banyak kampus swasta yang asal jalan juga.  Di Jepang juga sama.  Saya punya 
kawan di Jepang yang kuliah S3 di swasta, nah kampus ini bangkrut dan akhirnya 
dilikuidasi. Namun, kawan saya termasuk beruntung karena kampusnya itu lalu 
dibeli kampus negeri yang terkenal.  Jadi, semula dia masuk swasta yang kurang 
top (mungkin karena scorenya rendah), kini tiba-tiba jadi mahasiswa di salah 
satu kampus top Jepang.  Ruginya, sekolah di kampus top itu rata-rata lebih 
susah.

Namun, berbicara kualitas, kita jangan terkecoh hanya pada prestasi sains dan 
teknologi. Ingat, banyak para penjahat dunia itu juga alumni sekolah-sekolah 
top.  George Bush sang penjagal Irak dan Afganistan itu alumni sekolah top di 
Amerika!  Menurut saya, sekolah yang bermutu itu yang mampu menghasilkan 
seseorang yang memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kreativitas karya dan 
keluasan wawasan. Yang seperti ini hanya mungkin dalam pendidikan yang Islami.


Bagaimana Ustadz memandang masuknya lembaga asing dan kaitannya dengan 
globalisasi itu?

Tergantung, lembaga pendidikan asing tadi mengajarkan apa?  Secara umum kampus 
itu mempengaruhi mahasiswanya dengan dua cara: akademis dan lingkungan.  Kalau 
secara akademis dia membawa teknologi baru atau menggunakan metode mengajar  
yang lebih efisien (misal: Quantum Teaching), ya baik-baik saja.  Namun, kalau 
ia juga mengajarkan pemikiran sekular kapitalistik, ini bahaya.  

Adapun secara lingkungan, suasana atmosfir kampus yang seperti apa yang 
dikembangkan? Kalau dia menciptakan lingkungan yang bersih, tertib, disiplin, 
kreatif, menghargai waktu dan suka belajar, ya kenapa tidak.  Toh, lembaga 
pendidikan asing yang masuk juga boleh dari negeri Islam yang lebih maju, 
misalnya Malaysia. Namun kalau atmosfir kampus menjadi makin liberal, makin 
ragu terhadap Islam, ya maaf-maaf saja.

Demikian juga dengan globalisasi.  Tidak otomatis lembaga pendidikan yang 
dibawa asing itu langsung mengglobal.  Memang, mungkin dalam penguasaan bahasa 
asing, siswa di sekolah itu lebih siap.  Namun, globalisasi tidak sekadar 
persoalan bahasa asing, tetapi juga attitude (sikap) yang tepat menjadi “mahluk 
global”.  Jadi, kalau hanya selera makannya yang global (karena suka McDi dan 
CocaCola) tetapi wawasan tentang Dunia Islamnya tidak bertambah, itu belum 
global.


Dulu katanya pendidikan Islam begitu maju dan bermutu meski diselenggarakan 
oleh Negara dan gratis untuk rakyat. Apa buktinya? 

Kalau tidak murah, mustahil “satu bangsa pergi sekolah”.  Bisa kita saksikan 
bahwa pada abad-abad pertama, jika Islam membuka suatu wilayah (futûhât), dalam 
tempo singkat rakyat di situ telah memeluk Islam tanpa dipaksa serta menguasai 
bahasa Arab.  Kemudian juga bermunculan sejumlah besar mujtahid, ulama besar 
atau penemu teknologi yang berasal dari kalangan dhu‘afâ’.  

Kalau tidak berkualitas, mereka bahkan tak bisa mempertahankan apa yang dicapai 
generasi sebelumnya, apalagi memunculkan temuan-temuan kreatif yang menjadi 
pilar kemajuan peradaban dunia selanjutnya.  

Dunia Islam dulu justru mampu mewarisi, memodifikasi, memadukan dan 
mengembangkan peradaban dari berbagai penjuru: Yunani, Romawi, Mesir, Persia, 
India bahkan Cina.  Aljabar, misalnya, adalah karya orisinal yang ditemukan 
setelah matematikawan al-Khawarizmi melihat ketidakpraktisan geometri Yunani 
dan kerumitan aritmetika India.


Lalu mengapa sekarang pendidikan di dunia Islam sangat ketinggalan?

Ya banyak faktornya.  Namun, yang paling penting saya kira visi Islam untuk 
memimpin dunia sudah redup sekali di hati umat, apalagi di hati pemimpin 
negara.  Karena kalau kita punya visi memimpin dunia, kita jadi berpikir apa 
yang harus kita kuasai, lalu apa yang harus kita lakukan. Kalau sekadar ingin 
jadi buruh kapitalis, ya pendidikannya cukup diset seperti sekarang ini. Namun, 
kalau ingin memimpin dunia, kita tentu perlu lebih banyak kerja keras, kerja 
cerdas, kerja ihlas.


Apa yang menjadi kunci atau faktor-faktor yang menentukan kemajuan pendidikan 
Islam?

Saya kira kuncinya di tiga hal. Pertama: ada aktor-aktor visioner dan 
berdedikasi tinggi untuk bekerja keras mewujudkan pendidikan Islam.  Mereka 
inilah yang siap “kotor tangannya” dengan aktivitas rinci dalam jangka panjang 
agar dapat memperbanyak SDM, menyiapkan “software” dan melobi tokoh-tokoh untuk 
diyakinkan pentingnya pendidikan Islam yang sebenarnya.

Kedua: ada budaya pendidikan atau cinta ilmu yang sesungguhnya. Jadi, harus 
ditumbuhkan opini di masyarakat bahwa sekolah bukan sekadar agar dapat gelar 
dan kerjaan, tetapi untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi manusia 
lain.  Rasulullah saw. banyak sekali bersabda tentang keutamaan ilmu. Budaya 
cinta ilmu sampai melanda kaum aghniyâ’ sehingga mereka belum merasa kaya jika 
belum menyumbangkan sesuatu pada dunia ilmu, entah wakaf fasilitas ilmiah 
(perpustakaan, observatorium), membiayai riset atau ekspedisi ilmiah, 
mensponsori seorang alim untuk mengajar atau memberi beasiswa kepada para 
pelajar.

Ketiga: ada sistem yang efisien dari negara berikut segala perangkatnya dalam 
mengelola pendidikan, mulai dari menentukan prioritas, membuat kurikulum, 
merekrut guru, membiayai operasionalnya hingga mengawasi mutunya.  Negara wajib 
turut campur  jika ada keluarga yang kondisinya sedemikian rupa sehingga 
anaknya terhalang menuntut ilmu.


Dari mana Negara bisa membiayainya? 

Negara bisa membiayai dari sumber-sumber pemasukan dia.  Dia mengelola 
sumberdaya milik publik seperti pertambangan atau hutan dan hasilnya dapat 
dinikmati rakyat antara lain dalam bentuk pendidikan.  Dia juga mengelola dana 
wakaf, infak dan sedekah  yang jumlahnya dapat sangat besar kalau ada upaya 
marketing yang baik, sehingga orang-orang kaya di negara itu percaya bahwa 
hartanya akan berkembang biak kalau dijadikan sedekah atau wakaf, dan negara 
adalah sebaik-baik pengelola wakaf.


Bisakah pendidikan Islam yang murah tapi berkualitas dan maju diwujudkan 
kembali?  Bagaimana caranya dan darimana memulainya?

Ya bisa saja, selama ada aktor yang membiayainya.  Mungkin ada orang-orang kaya 
yang mau mensubsidi semuanya, karena dulu banyak pesantren kondang seperti ini. 
 Bahkan di Jawa Tengah ada pesantren terkenal yang tidak memungut biaya sama 
sekali.  Rupanya dia dapat wakaf satu jaringan supermarket di Turki.  
Universitas al-Azhar di Kairo juga masih terhitung sangat murah berkat dana 
wakaf yang hasilnya mengalir terus sampai bisa memberi beasiswa ke ribuan orang 
dari seluruh dunia.  Namun, model seperti ini kapasitasnya pasti terbatas.  
Tidak semua orang Mesir dapat sekolah di al-Azhar yang murah dan bermutu itu.  
Yang dapat menyelenggarakan seperti ini dalam skala besar hanya negara.  Dialah 
yang punya kekuasaan penuh untuk memobilisasi segala sumberdaya yang ada demi 
mencerdaskan bangsa.


Terakhir, bagaimana hubungan pendidikan dan ideologi Negara?

Pendidikan itu hanya subsistem dari suatu sistem besar, yang pasti dibangun di 
atas landasan ideologi tertentu. Jadi, kalau pendidikan sekarang sangat 
kapitalistik, ya terang saja karena ideologi negara ini kapitalistik. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke