Cerita di bawah ini adalah tulisan dari sdr. Teguh R. Dia adalah salah
satu dari empat orang wartawan Sindo yang dipecat pada awal tahun ini.
 
Testimoni Teguh Tentang Sindo
 
Menjadi wartawan atau terjun didunia media bagi saya adalah sebuah
pilihan bukan datang karena kebetulan semata. Ketika saya terjun
didunia media (jurnalisme) saya semakin tahu dan memantapkan diri
untuk semakin serius menggelutinya, meski banyak juga keadaan yang
mengecewakan namun itu adalah   resiko dari sebuah pilihan.
 
Aku menulis ini mungkin tidak objektif karena didasari oleh rasa
kecewa dan amarah. Tapi saya kira perasaan yang sama akan dialami oleh
kawan-kawan jurnalis yang dalam kesehariannya selalu berjuang untuk
keadilan melalui tulisan-tulisannya namun keadilan itu sepertinya
malahan jauh dari kita sendiri.
 
Seberapa sering kita menulis tentang kesejahteraan kaum buruh, namun
jurnalis (karena sebenarnya adalah buruh, bukan profesional seperti
anggapan dari sebagian kita) sendiri lupa kita perjuangkan nasibnya.
Maaf mungkin lupa, atau memang tidak berdaya. Kita memang sulit
berjuang kalau hanya kita saja yang berbuat tanpa dukungan dari pihak
lain.
 
Perjuangan kaum buruh, guru honorer atau mereka yang ter-PHK sebagian
besar menggema dan berhasil karena didukung oleh pemberitaan kita.
Pertanyaannya, perjuangan kita siapa yang akan mendukung?. Jurnalis
adalah buruh juga, namun kita sepertinya malu mengakui itu. Padahal
posisinya dalam sebuah perusahaan sama riskanya. Ancaman PHK setiap
detik selalu mengintai tanpa disadari.
 
Saya bekerja di Koran Sindo, Seputar Indonesia edisi Jawa Barat.
Bekerja disini karena saya merasa setiap harinya sejak tanggal 29
Agustus 2005 sebagai seorang jurnalis membuat berita untuk kemudian
berita yang saya buat nongol di koran milik grup Media Nusantara Citra
(MNC).
 
MNC ini sedang menggurita dengan tentakelnya yang jumlahnya semakin
banyak. Kalau gurita tentakelnya tetap, tetapi yang satu ini terus
tumbuh jumlahnya. Maaf sekali lagi saya menulis ini memang tidak
objektif, sulit rasanya untukberlaku objektif terhadap sesuatu yang
tidak kita sukai, he...he...
 
(( Oh ya, sebelum bekerja di Sindo, saya bekerja sebagai reporter
Radio Mara FM, Bandung sejak tahun 2002 (waktu itu saya masih kuliah
di FIKOM-UNPAD, angkatan 1996) dan pindah ke Sindo karena ada tawaran
rekan saya yang sebelumnya juga reporter Mara, Army Dian. Karena saya
percaya dengan teman saya ini maka saya memutuskan untuk bergabung
dengan Sindo Agustus 2005. Saya merasa empat tahun sebagai reporter
radio sudah cukup sehingga saya pindah ke media cetak. Saat ke Sindo
usia saya 30 th, sudah beristri dan berputra. Pindah ke media baru ini
sempat ditentang oleh nyonya rumah karena ia dan saya juga yakin akan
banyak butuh pengorbanan baik materi maupun imateri, sebagai modal
awal kerja. Dan itu terbukti karena untuk bekerja di Sindo memang
harus punya modal sendiri, kamera sendiri, alat rekam sendiri, note
book sendiri, bensin sendiri, namun penghasilannya sama saja dengan
saat bekerja di Mara, bedanya lebih capek. Tapi ini adalah sebuah
pilihan dan saya konsisten dengan pilihan saya. Tahun 1994-1996, dua
tahun saya bekerja sebagai penyiar radio di salah satu radio swasta di
Tegal-Jateng. ))
 
Saya aktif menulis hingga akhirnya pada tanggal 1 Januari 2007
(Artinya satu tahun empat bulan  saya menjadi wartawan Sindo) saya
diwajibkan menghentikan kegiatan menulis saya karena masa uji coba
tidak diperpanjang. Pertanyaan saya dan mungkin teman-teman adalah
"masa uji coba" yang ternyata masih di sematkan kepada saya yang sudah
bekerja satu tahun empat bulan. Mungkin ini masa uji coba terpanjang
yang pernah saya alami selama bekerja. Saya juga baru tahu status saya
adalah pekerja percobaan, macam kelinci. Dan mungkin karena memang
Sindo adalah koran percobaan. Coba-coba melawan koran yang sudah ada
terlebih dulu, khususnya grup kompas dan Pikiran Rakyat (eh, maaf jadi
buka rahasia negara nih. Maaf juga kalau banyak rahasia negara Sindo
yang aku ketahui sebagian akan nongol di testimoni ini)
 
Selama bekerja ini saya tidak pernah mendapatkan kejelasan status.
Hitam diatas putihnya tidak pernah ada yang saya tandatangani. Bukti
saya bekerja di Sindo adalah adanya nama saya tercantum dalam box kru
wtwn Sindo di koran, saya terima gaji dan adanya kartu pers. Tapi saya
bangga (saat itu) menjadi bagian dari sebuah media baru yang
kehadirannya cukup membakar jenggot media lama yang sudah mapan.
 
Kapan saya bekerja di Sindo?
 
Periode Agustus 2005, saya Teguh Rahardjo (radio Mara), Agus Warsudi (
mantan Tribun Jabar), Ari (Republika) berangkat dari Bandung dengan
kereta api pagi-pagi ke Jakarta untuk bertemu dengan pimpinan redaksi
Sindo di Gedung Bimantara Jakarta. Disana kami bertemu dengan Eka
Permana (mantan Surabaya Post). Kami datang karena dipanggil melalui
telepon oleh Army. Ini adalah cara perekrutan yang sampai saat ini
terus dilakukan oleh Sindo. Tanpa adanya proses seleksi tertulis.
Wartawan mana saja bisa diajak bergabung dan jika tidak layak langsung
dihentikan. Sadis memang.
 
Pertemuan juga dihadiri seluruh redaktur Sindo mulai dari halaman
News, life stile dan olahraga. Hanya sekitar satu jam, kami
mendapatkan penjelasan dari pimred, Sururi Alfaruq. Tidak banyak yang
disampaikan , intinya rencana Sindo untuk terbit perdana di Jawa Barat
pada September 2005. Kami dijanjikan akan diberikan gaji satu juta
plus uang lelah bekerja sebutanya tunjangan prestasi. "kalau rajin
akan ditambah lima ratus ribu," itu keterangan dari Sururi saat itu.
Jadi total gaji yang akan dibawa pulan adalah Rp. 1,5 juta. Saya
sempat kecewa juga saat itu karena penghasilan sebesar itu sudah saya
peroleh saat bekerja di Mara. Tapi karena sudah komitmen dan mencoba
untuk loyal , saya akhirnya terus. Berbeda dengan Ari (Republika) yang
setibanya di Bandung kembali dari Jakarta ia menyatakan mengundurkan
diri. Ia langsung diganti oleh Sugiharto (wtwn asal Jakarta). Saat di
Jakarta Sururi menyatakan selama enam bulan pertama akan dievaluasi
dan kemudian akan ditentukan  dikontrak atau diangkat.
 
Kami berempat kemudian mulai membuat berita dan saat itu baru berupa
dummy saja. Kita membuat dan merancang bentuk Sindo sebelum lahir. Dan
akhirnya September Sindo edisi Jabar terbit. Namun kembali Sugiharto
keluar tak kuat bertahan sehingga Sindo kembali merekrut Denny Mulyana
(wtwn Tribun Jabar). Saat itu Pimred, Sururi bertemu lagi dengan kami
di kantor biro Sindo Jabar Jl. Surapati 233, gedung Frend. Ini adalah
pertemuan kali kedua saya dengan beliau.
 
Dengan empat orang kami harus bisa secara kontinyu menyajikan berita
dalam dua halaman wajib dan dua halaman (halaman satu dan 16) jika
dimungkinkan ada berita besar. Jadi kalau dihitung satu orang
bertanggungjawab terhadap satu halaman. Saya diplot di Kota Bandung,
Agus untuk Jabar, Deny Kabupaten Bandung dan Cimahi dan Eka floating.
Menurut saya wajar dengan hanya emmpat orang banyak berita yang
kebobolan. KITA HARUS BISA MENGALAHKAN PR DAN KOMPAS, atau jangan
ketinggalan dari mereka!!! Memang tidak ada kata mustahil, tetapi
sangat sulit. Akhirnya Eka pun mengundurkan diri. Praktis kita hanya
bertiga orang saja.
 
Setelah beberapa minggu akhirnya direkrut wartawan di Garut (romy
rosyana) dan Cianjur (rustadi zaelani). Kita berlima menggarap koran
Sindo Jabar. Dengan keterbatasan tapi harus kerja maksimal. Ciri dari
pimred Sindo memang seperti itu.
Tentu saja untuk mengcover berita seluruhnya kita masih kesulitan.
Maka direkrutlah Asep (wtwn radar Bandung) , lagi-lagi dengan cara
ditelepon saja tanpa ada keterangan tertulis. Saya sendiri tidak tahu
apa alasannya kemudian ia akhirnya juga diberhentikan setelah bekerja
genap satu bulan. Tidak menunggu jeda satu hari sudah ada
penggantinya. Yogi Pasha juga dari Radar Bandung menggantikannya.
 
Dari situ saya mulai merasa ada yang aneh, Sindo dengan  mudah merkrut
orang dan memberhentikan orang. Saya mulai merasa terancam, apalagi
selama bekerja lebih dari enam bulan tidak ada tanda-tanda janji
kontrak dari pimred terbukti. Saya lalu mulai mempertanyakan status
saya tersebut. Pertanyaan sering saya sampaikan kepada Army, karena ia
adalah teman dan sekaligus orang yang memang dekat dengan kami di
Bandung. Namun sayang ia sendiri tidak bisa berbuat banyak karena
memang keputusan ada ditangan pimred. "Saya sudah menanyakan kontrak
kalian ,guh. Tapi tidak tahu kapan. Kerja saja yang baik, sebab saya
sendiri statusnya masih percobaan, belum aman," katanya yang sering ia
katakan setiap kali saya tanyakan kontrak . Dan setiap kali saya
tanyakan selalu dikatakan ada dua pilihan, terus atau mengundurkan
diri. Wah...saya merasa sangat dihina dengan pilihan itu. Saya ini
yang ikut melahirkan Sindo bahkan saat masih dalam janin sudah ikut
nimbrung. Sangat tidak menghargai dan arogan sekali.
 
Saya juga sering menanyakan hal itu kepada kepala biro Sindo Jabar,
Teddy Sugiharto, namun menurutnya untuk urusan keredaksian urusannya
langsung ke Pimred. Saya baru tahu kalau wartawan yang ada di Jabar
itu yang ngurus langsung pimred, termasuk penilaian yang datang tidak
meminta masukan dari orang-orang (pimred, marketing, sirkulasi) yang
ada di Jabar. Saya tidak patah arang, saya pun mencoba kontak langsung
dengan pimred atau kirim SMS namun tidak pernah dijawab. Maklum sudah
jadi raja kecil, mungkin cukup  hulubalang saja yang menghadapi
prajurit, he..he...
 
Akhir tahun 2006 wartawan Sindo Jabar bertambah. Untuk Bandung saja
menjadi delapan orang termasuk fotografer, dimasing-masing kota/kab
minimal ada satu wartawan, totalnya ada sekitar 21 orang. Kenapa?
Karena Sindo Jabar menjadi delapan halaman. Bagaimana perekrutannya?
YaÂ…cabut sana-sini , instan dari radar, atau koran-koran lainnya.
Beban kerja lumayan berkurang tetapi sudah setahun status masih belum
jelas juga.
 
Pertemuan ketiga saya dengan pimred terjadi pada bulan November, saat
ini terjadi rapat dadakan pada pukul 02.00 pagi , kebetulan saat itu
sedang bulan puasa.
 
Dalam pertemuan itu semua hal dibahas, semua pertanyaan bisa diajukan.
Saya sendiri kembali mempertanyakan status dan kesejahteraan wartawan
di Bandung, kapan akan diangkat?
 
Ia mengatakan untuk pengangkatan tidak melihat senioritas tapi
prestasi kerja (prestasi kerja ini ukuranya juga kita tidak tahu?)
yang jelas jika sudah waktunya maka akan diangkat.
 
"Saya harus hati-hati jika ngomong sama teguh, nih," ucap dia yang
masih saya ingat.
 
Saya sendiri tidak tahu ucapan apa yang membuatnya merasa harus
berhati-hati. Saya dianggap provokator , mungkin saja, sih. Tapi hal
itu wajar karena pertanyaan saya normatif soal status dan kesejahteraan.
 
Usai pertemuan itu, Army kemudian menghubungi saya kalau ternyata
Pimred merasa sakit hati dengan ucapan saya!! Saya sendiri tidak tahu.
Katanya ucapan saya atau kata-kata saya sangat pedas dan bernada sinis
sama dia. Apakah begitu teman-teman atau nara sumber yang selama ini
saya wawancara? Jawab Woiii???
 
Kalau boleh meminta pendapat, tanya saja karyawan di Sindo Jabar mulai
dari OB, Marketing, Sirkulasi hingga Kabiro. Atau jika perlu tanya
satpam Frend, apakah saya orangnya sinis?....Siapa wartawan yang
paling ramah dan gampang bergaul dengan mereka? Siapa yang suka
membantu pekerjaan mereka (marketing dan sirkulasi).
 
Kalau boleh, diadu kemampuan menulis saya atau mengolah isu, boleh
diadu dengan semua wartawan Sindo yang ada saat ini. Siapa paling
banyak buat berita, Siapa paling banyak buat berita besar termasuk HL
halaman satu dan dua (kota bdg). Siapa yang lakukan proses cek-balance
dua narsum berbeda? Datanya gampang dicari toh ada dokumentasi
penerbitan Sindo, kan?
 
Saat Sindo terbit diawal , banyak teman wartawan selalu nanya, kalau
penghasilan saya pasti yang terbesar, sebab berita paling sering
nongol, bahkan jadi HL. Saya diam saja hanya tersenyum. Sebab itu
tidak ngaruh , wong gajinya flat ,kok.
 
Jangan menilai hanya bertemu selama beberapa jam saja dan hanya tiga
kali tatap muka, dong!!! Sangat kentara atmosfir ketidak sukaan secara
pribadi pimred kepada saya.
 
Sejak pertemuan itu sejumlah kebijakan mulai muncul. Salah satunya
adalah membuat keterangan secara tertulis jika ada berita yang
kebobolan dari wtwn ybs. Contoh kalau PR muat beritanya tapi Sindo
tidak maka wartawan di pos ybs harus membuat surat pernyataan bersalah
tertulis. Edaaan. Ini juga sempat saya pertanyakan karena semakin
membuat kinerja wtwn tidak nyaman . Saya minta kalau perintah itu
disampaikan secara tertulis saja jangan lisan terus. Ini penting untuk
kejelasan tugas dan tidak terus disalahkan. Ini juga adalah masukan
dari Mas Ridlo Eisy ( dirut Galamedia) saat saya berdialog dengannya
di Hotel Panghegar beberapa waktu lalu. Tapi sekali lagi tidak ada
respon yang baik. Mereka selau menjawab dengan diam.
 
Dan terbukti kekhawatiran saya. Tanggal 1Januari, saya saat itu sedang
membuat berita olah raga, tentang Persib, temanya Bayu Sutha dikontrak
Persib. Pukul 14.30 Army telepon saya mengabarkan saya tidak
diperpanjang lagi di Sindo. Saya tidak banyak bicara karena saya belum
terima surat resminya. Baru setelah selesai, surat itu diberikan oleh
Denny yang sebelumnya dititipkan oleh Agus (yang dipromosikan ke
Jakarta ). Saya baca ternyata benar saya diberhentikan. Dipecat? Tidak
juga sebab saya juga bingung status saya selama 1 tahun 4 bulan ini
apa, karyawan bukan, kontrak bukan , disebutkan hanya percobaan tidak
bisa dilanjutkan.
 
Surat tertanggal 29 Desember 2007 itu ditandatangani oleh Korda Jaka
Susila, tapi dikepala surat Sk itu adalah SK internal Pimred. Nggak
nyambung! Jelas kalau pimred ingin lepas dan mengorbankan bawahannya.
Atau memang Korda bisa memecat wartawanya? Ini sih saya gak tahu
kebijakan Sindo....
 
Saya ingin ini dipersoalkan, tetapi saya tidak tahu memulainya dari
mana? Mungkin kawan-kawan dimedia milis bisa menambah masukan. Saya
juga sudah membicarakan hal ini dengan AJI Bandung. Dan bakal siap
mengadvokasi saya.
 
Kenapa harus dipersoalkan?
Selain saya ada juga Saeful,wartawan yang bertugas di Cimahi yang
diberhentikan. Dan parahnya Kabiro juga diberhentikan. Saya kira itu
karena ia juga ingin memperjuangkan nasib wtwn Jabar jadi kena
getahnya. Sorry pisan pak Tedy.
 
Ketidak jelasan pemberhentian saya. Saya tidak tahu kenapa saya
diberhentikan. Dalam surat yang saya terima hanya selembar disebutkan
"evaluasi aspek kinerja meliputi produktivitas, penulisan, kerjasama
dan kualitas "sebanyak tiga kali/setiap enam bulan. Serta pertimbangan
dari redpel, korda dan redaktur (tanpa pertimbangan pimred!) maka saya
tidak diperpanjang. Tidak dijelaskan secara dettil.
 
Saya akui saya pernah dapat SP. Kenapa? Saya memaksa libur saat hari
raya lebaran tahun 2005 lalu. Sudah lama....Sebab edan pisan, Sindo
libur pas lebaran sehari saja, lebaran tetap terbit!!! Makanya saya
pulang kampung saja. Milih liburan dua hari.
 
Kalau anekdot diantara rekan-rekan sih, Sindo baru berhenti terbit
kalau ada tanggal merah memperingati  kiamat. Tak ada libur pokoknya,
tapi tak ada hitungan uang lembur. Kerja rodi lah....
Tapi itu tidak disebut dalam alasan pemberhentian saya.
 
Saya sudah mengeluarkan segala kemampuan untuk Sindo di Jabar. Modal
materi habis, istilahnya gelang dan kalung istri  sudah ludes
dijadikan modal kerja, tapi tidak kembali lagi. Tabungan untuk susu
anak saya juga habis, nol besar pokoknya. Itu kerugian materiil yang
bisa dikalkulasikan. Bagaimana dengan kerugian immateriil selama saya
bekerja dengan Sindo. Penuh tekanan, perasaan tidak tenang dan yang
jelas waktu saya terbuang percuma. Status yang tidak jelas sangata
mengganggu kinerja.
 
Demikian testimoni saya. Memang masih banyak hal lain yang akan
diungkap, tapi saya masih ada perasaan sayang sama Sindo. Saya
ibaratnya juga menjadi ibunya Sindo yang ikut melahirkan Sindo. Tak
apalah anak durhaka pada ibunya asal si anak hidup sukses. 
 
Ini dibuat dini hari, selasa 23 Januari.
 
Tekngkyu pisan. 

Kirim email ke