Dinda yang terhormat,

Kalau Anda menganggap saya tidak konsisten, ya tidak apa-apa. Kalau Anda
tidak akan mendukung saya menjadi anggota KPI, ya juga tidak apa-apa
(Lagipula, saya memang sudah tidak terpilih kembali kok)

Tapi pertama-tama, saya harus katakan bahwa sebenarnya dalam hidup orang
memang bisa berubah. Apalagi bila kita terus belajar, seringkali kita
menemukan hal-hal baru, penjelasan-penjelasan baru yang dapat mengubah
sikap-sikap kita sebelumnya. Saya justru menyarankan agar kita tidak
fanatik berpegang pada satu pendapat dan menutup mata dan telinga pada
pendapat lain yang berbeda. Sebagai contoh, saya dulu misalnya sama sekali
tidak bisa menerima pornografi. Sekarang, saya menganggap bahwa yang
terpenting adalah kalaupun pornografi itu diizinkan, pornografi harus
ditawarkan hanya di tempat-tempat terbatas dan tidak boleh memuat materi
yang mengandung kekerasan terhadap perempuan atau menampilkan model
anak-anak.

Poin saya, perubahan adalah sesuatu lazim. Sebagian orang bahkan bisa
berpindah agama, atau menjadi kehilangan kepercayaan kepada Tuhan, atau
sebaliknya, dari tidak beragama menjadi beragama. Orang bisa bercerai,
orang bisa mengubah orientasi seksualnya, dst.

Tapi dalam hal poligami, sebenarnya saya tidak mengalami loncatan ekstrem.
Kalau Anda baca tulisan saya tiga tahun yang lalu, yang sebenarnya saya
tekankan adalah bahwa kalaupun Puspo melakukan poligami, ia tidak harus
mempromosikannya. Saya tetap percaya bahwa poligami tidak ideal. Saya
tetap percaya bahwa dalam Islam, poligami tidak dianjurkan. Saya tetap
menganggap bahwa kalaulah orang bisa memilih dengan mudah, sebaiknya orang
tidak berpoligami.

Saat itu saya memang barangkali tinggal selangkah sebelum menyatakan,
’’poligami adalah haram’’. Saya sempat percaya bahwa sebenarnya tidak ada
lagi kondisi di dunia modern ini yang dapat menjustifikasi poligami. Tapi
perjalanan hidup saya ternyata membawa saya pada kondisi yang membuat saya
harus percaya bahwa adanya ayat itu dalam kitab suci yang saya yakini
tidaklah hadir secara kebetulan. Saya harus memilih, dan saya kemudian
memilih untuk menikah lagi.

Saya mencintai istri dan anak-anak saya. Saya tetap tidak membentak, tidak
bersuara keras, tidak sekalipun menyakitinya secara fisik, tidak melarang
istri saya untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya, saya bekerjasama
dengan dia membersihkan rumah ketika pembantu tidak ada, saya tidak
keberatan istri saya mengambil keputusan-keputusan penting dalam
rumah-tangga, saya membelikan hadiah2 kecil, kami berdiskusi,... dst. Saya
tetap menghargai istri saya. Kedua istri saya. Saya tetap menganggap
adalah takdir yang membuat saya pertama kali menikah. Dan sekarang saya
menganggap adalah takdir pula yang menyebabkan saya menikah kembali.

Kepada teman-teman yang sudah menunjukkan sikap memahami, saya
berterimakasih sekali atas pengertian itu. Tapi, saat ini, saya memang
tidak bisa menjelaskan kondisi yang menyebabkan saya memilih untuk menikah
lagi. Hal itu terlalu pribadi sifatnya dan saya tidak yakin apakah dengan
menyampaikannya kepada publik, akan ada manfaatnya.

Saya sudah terlalu banyak bicara. Saya harus berhenti.

Ade armando





Dear All khususnya Pak Ade Armando,

Aku mendapatkan email tulisan Bapak ini dari milis perempuan.Bapak
diartikel yang dimuat di harian Republik tsb menujukan kalau Bapak Anti
Poligami.Kenapa 3 Tahun kemudian Bapak melakukannya?Dimana tanggungjawab
bapak sebagai akademisi.Jadi tolong buat lagi artikel yang justru
kebalikan dari artikel bapak dibawah ini,tetapi justru menyarankan orang
untuk berpoligami.Kan dari situ kita bisa menilai Bapak adalah orang yang
tidak konsisten cara berpikir dan bersikapnya.Pakai bawa-bawa ayat Qur'an
lagi diartikel Bapak tersebut.

Meskipun dimilis ini banyak yang mendukung sikap poligami Bapak.Aku justru
menolaknya.Untung Bapak sudah tidak lagi menjabat di KPI.Bagaimana kalo
pejabat di KPI diisi oleh orang tidak konsisten seperti Bapak?dan aku
tidak mau membayar gaji orang yang telah berpoligami.Bukankah KPI digaji
oleh negara?dan aku adalah pembayar pajak yang taat kepada negara.Jadi
wajar dong kalo aku tidak setuju negara membayar gaji Bapak di KPI.

Terima kasih,mohon tanggapan Bapak.

Salam,

Dinda
========


Rekans,

Sekitar tiga tahun lalu, Bung Ade sempat menulis soal poligami di Republika.
Sangat impresif. Dia menentang pemberian Poligami Award di tahun itu. Cocok
untuk dijadikan kenangan hari ini.

Salam,

MH

========

Sumber : http://www.republik a.co.id/kolom. asp?kat_id= 19

Sabtu, 19 Juli 2003
Piala Poligami
Oleh : Ade Armando

Pekan depan akan ada sebuah acara unik di Jakarta: pemberian Poligami Award
2003. Disponsori seorang pengusaha beristri empat, Puspo Wardoyo, acara ini
akan memberi penghargaan kepada pelaku poligami terbaik. Memang saran ini
akan terkesan terlambat: tapi apakah tidak sebaiknya penganugerahan itu
dibatalkan saja?

Puspo tentu saja punya hak penuh untuk beristri banyak dan mengeluarkan
sebagian kekayaannya untuk sebuah acara yang, menurutnya, bertujuan
menyosialisasikan bahwa poligami itu bukan tabu dan bisa memberi
kebahagiaan. Namun, mengingat Puspo dan para istrinya senantiasa tampil
dengan sosok yang merepresentasikan umat Islam, promosi semacam ini
tampaknya hanya akan memperburuk kesalahpahaman tentang Islam.

Tentu saja tidak semua keluarga yang berpoligami tidak bahagia. Namun,
poligami jelas bukanlah tipe pernikahan ideal. Dampaknya bukan hanya pada
istri, namun terutama pada anak-anak yang dibesarkan dengan sejumlah orang
tua. Namun, kalaupun itu masih mau diperdebatkan, Piala Poligami tetap
bermasalah karena satu hal: kata siapa Islam mendukung poligami?

Dalam berbagai kepustakaan otoritatif, sulit untuk menerima gagasan bahwa
poligami adalah sesuatu yang perlu dianjurkan atau dipromosikan. Ensiklopedi
Hukum Islam (1996) maupun Ensiklopedi Islam (1994), misalnya, menunjukkan
bahwa semangat ketentuan poligami dalam Islam justru membatasi jumlah istri.
Dengan kata lain, Islam hendak memusnahkan praktik poligami yang sudah
berlangsung dalam berbagai peradaban pra-Islam, yaitu sesuatu yang tanpa
batas dan dengan alasan yang mengikuti nafsu hewani.

Bahkan, kalau mau dibandingkan dengan konsep Islam tentang budak, kita bisa
berargumen bahwa konsep ideal dalam Islam tentang pernikahan adalah
monogami. Perbudakan, dalam Islam, juga tidak pernah dilarang secara
eksplisit, baik dalam Alquran maupun hadis. Namun, keseluruhan ajaran Islam
sendiri menunjukkan penolakan terhadap perbudakan, sehingga masyarakat
Islam modern bersepakat mengharamkan praktik tersebut. Begitu pula dengan
pernikahan.

Sebelum Islam, poligami sudah menjadi kelaziman, tanpa ada aturan. Islam
diturunkan dan mulailah dikenal pembatasan baik dalam kuantitas maupun
kualitas. Bukan saja jumlah istri dibatasi, namun juga ada
persyaratan- persyaratan rumit yang menyebabkan bahwa hanya dalam keadaan
darurat saja sebenarnya pernikahan semacam ini direstui. Ayat Alquran yang
senatiasa digunakan sebagai pembenaran atas poligami (an-Nisa ayat 3),
misalnya, turun dalam konteks historis yang sangat spesifik, yaitu seusai
Perang Uhud yang menewaskan banyak tentara Muslim.

Catatan sejarah sendiri menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad Saw tidak
merasa nyaman dengan poligami. Ini terlihat dalam kasus putrinya, Fatimah
Az-Zahra.Fatimah menikah dengan sahabat dan orang kepercayaan Nabi, Ali
bin Abi Thalib. Ketika suatu kali sang menantu berniat menikah kembali,
Nabi
mencegahnya. Nabi berkata kepada Ali, Fatimah adalah bagian dariku, siapa
yang menyakitinya, berarti menyakitiku, siapa yang membuatnya gembira, maka
ia telah membahagiakannya. (Ensiklopedi Islam, Jilid 2, 1994). Nabi bahkan
mengatakan bahwa Ali sebaiknya menceraikan dulu Fatimah bila hendak
menikah dengan perempuan lain.

Sebagian pihak menyatakan bahwa kondisi-kondisi yang membenarkan poligami
adalah kebutuhan akan keturunan atau untuk memenuhi hasrat biologis yang
tidak tersalurkan dengan satu istri. Masalahnya, teladan Nabi tidak
menunjukkan itu. Nabi bermonogami dengan Khadijah selama 28 tahun. Dari
perkawinan itu ia dianugerahi enam orang anak. Baru dua tahun setelah
Khadijah meninggal, Nabi menikah kembali dan melakukan praktik poligami.

Itu berarti setelah ia berusia 54 tahun. Isti-istri barunya pun umumnya
tidak masuk dalam kategori wanita muda dan cantik. Bila dipelajari motivasi
yang melatarbelakangi satu per satu perkawinan Nabi, yang mengemuka adalah
motif dakwah atau kepentingan penyiaran Islam (Dr. Musdah Mulia, Pandangan
Islam Tentang Poligami, 1999). Melihat karakteristik istri-istri Nabi
tersebut, sulit untuk menerima pandangan bahwa Nabi melakukannya karena
alasan biologis.

Jadi, poligami adalah pilihan dalam keadaan darurat. Saya meragukan bahwa
Puspo ataupun banyak tokoh Indonesia yang berpoligami melakukannya dengan
alasan itu. Jadi, tidakkah sebaiknya acara pekan depan itu dibatalkan saja?
***





Kirim email ke