Kompas Sabtu, 25/08/2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/25/daerah/3791092.htm

kesehatan
AIDS, Awas Daerah Pedalaman 

samuel oktora dan b josie susilo hardianto 

Kasus HIV/AIDS saat ini kian mengkhawatirkan. Penyakit mematikan itu menjadi 
momok bagi warga Papua. Bahkan kini penyebarannya ditengarai sudah merambat 
jauh ke pedalaman, bukan hanya di kota. 

Mengejutkan! Data terakhir 30 Juni 2007 yang dikeluarkan Rumah Sakit Umum 
Daerah (RSUD) dan Dinas Kesehatan Nabire menyebutkan, di kabupaten itu tercatat 
420 kasus HIV. Dari jumlah itu, 392 orang terkena AIDS, dan 28 orang positif 
terinfeksi HIV. 

Pengidap paling banyak rata- rata di usia produktif, yaitu 20-29 tahun. Di 
wilayah Papua, posisi Nabire kini berada di peringkat ketiga setelah Mimika dan 
Merauke. Sebelumnya, Nabire masih di bawah Biak. 

Penyebaran dan peningkatan drastis kasus HIV membuat warga suku Mee di Desa 
Bomomani, daerah pedalaman di Distrik Mapia, Nabire, pun semakin khawatir jika 
suku mereka "dihabisi" penyakit itu. Sebagai catatan, suku Mee sendiri berdiam 
di dataran Kamu dan Mapia, jauh di pegunungan. Bomomani berada di daerah 
pegunungan yang jaraknya 185 kilometer dari Kota Nabire, dengan ketinggian 
sekitar 1.493 meter di atas permukaan laut (dpl). Saat ini jumlah penduduk Desa 
Bomomani 411 keluarga atau 1.700 jiwa. 

"Indikasi penyebaran HIV/AIDS di daerah pedalaman seperti Bomomani cukup kuat. 
Hal itu bisa dilihat dari kehidupan seks bebas yang tampaknya kian meluas. 
Menurut umat, ada yang SD atau SMP sudah terlibat seks bebas," tutur Pastor 
Paroki Maria Menerima Kabar Gembira Bomomani Romo Yohanes Ferdinand. 

Menurut Romo Ferdinand, salah satu faktor penyebab merebaknya seks bebas di 
pedalaman adalah karena anak-anak perempuan di kawasan itu mudah terpesona 
dengan bujuk rayu dan iming-iming uang/harta. 

"Itu karena faktor kemiskinan orangtua yang tak mampu memenuhi kebutuhan anak, 
maupun sekolahnya. Ketika datang laki-laki dengan rayuan uang, bahkan cuma Rp 
20.000, anak- anak perempuan di sini mudah terbujuk," ungkap Romo Ferdinand. 

Untuk membendung arus penyebaran HIV/AIDS di daerah pedalaman, Romo Ferdinand 
akan berusaha kembali menegakkan aturan-aturan adat. Langkah itu mendapat 
dukungan warga. Sebab, mereka khawatir lancarnya lalu lintas 
Nabire-Bomomani-Moanemani-Waghete-Enarotali akan menambah cepat persebaran 
kasus HIV/AIDS. 

Tokoh masyarakat Desa Bomomani Amandus Iyai juga prihatin dengan merebaknya 
kasus HIV/AIDS hingga ke pedalaman. "Padahal, para tokoh adat, pemimpin agama, 
maupun pemerintah tak kurang dalam memberikan sosialisasi dan nasihat. Tapi 
memang remaja dan pemuda sekarang makin sulit diatur," katanya. 

Menurut dia, aturan adat dan pengajaran agama sebenarnya sangat kuat. Warga pun 
umumnya taat. Akan tetapi, pengaruh dari kota juga kuat, termasuk dari 
anak-anak pedalaman yang sering turun ke kota. 

Untuk itu, Iyai meminta instansi terkait seperti petugas puskesmas, rumah 
sakit, dan dinas kesehatan tidak merahasiakan identitas atau keberadaan 
pengidap. Bahkan, mereka minta supaya pengidap HIV/AIDS dikucilkan atau 
dilokalisasi. 

"Kami ini amat awam soal AIDS. Kami tak mengetahui bagaimana caranya menangani 
mereka (pengidap), sehingga lebih baik pemerintah membangun satu tempat khusus 
untuk mereka, dan indentitasnya juga jangan dirahasiakan," tutur Iyai. 

Meski akan sangat sulit direalisasikan, ketakutan Iyai itu mungkin beralasan. 
Youth Specialist HIV dan AIDS Project Concern International (PCI) Nabire Krisna 
Tohariadi menyebutkan, berdasarkan temuan Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dari 
sekian banyak kasus HIV/AIDS, pengidap terbesar adalah suku Mee. Diduga, 
perilaku seks bebas yang saat ini menjangkiti pemuda-pemudi suku itu menjadi 
pintu masuk penyebaran penyakit berbahaya itu. 

Untuk itulah, PCI terus menggalakkan penyuluhan soal pencegahan HIV/AIDS di 
pedalaman. PCI adalah lembaga yang bergerak dalam bidang kesehatan dan membantu 
pemerintah dalam memfasilitasi pencegahan kasus HIV dan AIDS di Nabire, Paniai, 
dan Sorong. Salah satu programnya adalah pelatihan bagi remaja luar sekolah. 

Menurut Tohariadi, upaya yang sekarang intensif dilakukan bersama Komisi 
Penanggulangan AIDS Kabupaten Nabire adalah memberikan informasi dasar tentang 
HIV/AIDS kepada 40 remaja luar sekolah di Gereja Maria Menerima Kabar Gembira 
Bomomani, Rabu (15/8). 

"Remaja luar sekolah itu kelompok paling rentan terkena HIV/AIDS," ucap Youth 
Specialist HIV dan AIDS PCI Nabire itu. 

Faktor pendidikan 

Sementara itu dari pandangan siswa SMA, seperti yang dikemukakan Auvince Wenda 
dan Albertha Madai, siswa kelas XI SMA Adi Luhur Nabire, penyebaran HIV/AIDS 
yang makin memprihatinkan di Papua salah satu faktornya adalah pendidikan yang 
rendah. 

"Dengan pendidikan rendah, mereka mudah terpengaruh lalu terjerumus ke seks 
bebas," ungkap Wenda. Wenda juga mengharapkan pemerintah atau instansi 
berwenang menertibkan kerumunan atau kumpulan anak-anak muda, terutama pada 
waktu malam hari. Sebab dari aktivitas itulah biasa berujung seks bebas. 

"Ada juga karena faktor ekonomi. Orangtua tak mampu, lalu anak-anak putus 
sekolah," katanya. 

Madai kemudian bercerita kasus temannya. Karena orangtua tidak mampu, teman itu 
bekerja mencari uang. "Ia lalu sering tidur di rumah temannya, entah itu 
laki-laki atau perempuan," ujar Madai. 

Pengajar SMA Adi Luhur Nabire Adolf Bramandita AN mengatakan, perilaku seks 
bebas di kalangan remaja dan pemuda Nabire amat memprihatinkan. Mereka berbuat 
itu tak mengenal tempat. Termasuk apa yang pernah dilihatnya di depan jendela 
rumahnya. 

"Halaman di depan rumah saya itu seperti lokasi pendaratan UFO saja. Begitu 
lampu saya matikan, mereka bubar," kata Bramandita. 

Menurut Bramandita, fenomena seperti itu karena adanya problem identitas 
pribadi akibat pola kehidupan yang tidak terkontrol dengan baik. Salah satu 
kasus adalah kehidupan keluarga yang orangtuanya menikah lagi, sehingga kontrol 
terlepas pada anak-anaknya. 

"Untuk itu, ia mengusulkan dibangunnya indentitas pribadi remaja pedalaman. 
Salah satu cara yang coba dilakukan di sekolah Bramandita adalah dengan 
kegiatan ekstra kurikuler tentang HIV/AIDS sejak tahun 2005. 

"Kami juga akan mengadakan seminar yang diselenggarakan oleh anggota ekskul 
tersebut, dengan mengundang peserta dari sekolah lain. Kami juga akan 
mengajukan proposal ke KPAK, sejauh mana respons mereka. Sebab, tentunya, dari 
dana APBD diprioritaskan untuk penanggulangan HIV/AIDS," kata Bramandita. 

Upaya yang dilakukan Bramandita dan kawan-kawan tentu saja tidak akan bisa 
segera menyelesaikan soal. Pemerintah, gereja, dan aktivis kesehatan tentu 
harus bahu-membahu.... 

Kirim email ke