*Pemerintah Yang Kafir*


Terkait dengan pemerintah yang kafir, asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadi
hafizhahullah menjelaskan, “Adapun pemerintah yang kafir—jika benar-benar
kafir—, wajib atas kaum muslimin memberontak kepadanya apabila mereka
memiliki kekuatan dan kemampuan menggulingkannya serta tidak menimbulkan
kerusakan. Akan tetapi, kapan pemerintah itu benar-benar dikafirkan? Ada
beberapa poin penting terkait persoalan ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,



إِ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ



“Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, padanya ada hujah dari
Allah Subhanahu wata’ala di sisi kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Berdasarkan hadits di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.



*1. PERKARA YANG MENJADIKAN PEMERINTAH ITU DAPAT DIBERONTAK ADALAH PERKARA
YANG BENAR-BENAR MERUPAKAN KEKAFIRAN.*



Jadi, hal itu bukan sekadar prasangka atau dugaan dan sebatas isu yang
berkembang, tidak juga semata karena kefasikan, seperti berbuat zalim,
minum khamr, taruhan, berjudi, dan sebagainya.



*2. KEKAFIRAN ITU ADALAH KEKAFIRAN YANG JELAS DAN TERANG, TIDAK SAMAR DAN
BUKAN LANTARAN ADANYA SYUBHAT ATAU TAKWIL (PENAFSIRAN SENDIRI).*



Sebab, syubhat dan takwil terkadang muncul dalam diri seseorang, sehingga
dia tidak dapat dikafirkan karenanya dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumallah berkata, “Pada intinya, tidak boleh
dilakukan pemberontakan selama yang diperbuatnya mengandung kemungkinan
takwil.”(Fathul Bari)



Lihatlah bagaimana al-Imam Ahmad rahimahumallah dipaksa mengatakan bahwa
al- Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Perkataan tersebut jelas
merupakan kekufuran, bukan dari Islam. Perkataan itu adalah kekafiran
menurut kesepakatan ulama. Pemerintahan bani Abbas pada saat itu, seperti
Khalifah al-Ma’mun, al- Mu’tashim, dan al-Watsiq, menjatuhkan hukuman
kepada siapa saja yang tidak mau menyatakan hal ini.



Para ulama mengatakan, siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk, maka dia
kafir. Meski demikian, al-Imam Ahmad rahimahumallah tetap mendoakan
pemerintahnya. Beliau berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab,
tentu aku jadikan doa ini untuk kebaikan pemerintah.”



Para fuqaha Baghdad pernah berkumpul di hadapan al-Imam Ahmad. Mereka duduk
dan meminta pandangannya serta berdiskusi dengannya soal pemberontakan.
Mereka menyampaikan bahwa masalah perkataan al-Qur’an adalah makhluk sudah
menyebar; para ulama diuji dengannya; dan keadaan menjadi tidak menentu,
hingga tahap mereka tidak bisa terus bersabar. Mereka berkata, “Tidak ada
gunanya lagi sikap taat dan mendengar kepada pemerintah semacam ini.”



Al-Imam Ahmad rahimahumallah menjawab, “Tidak! Semua ini menyelisihi
hadits-hadits yang telah diriwayatkan. Bersabarlah kalian. Kita telah
menjumpai dalam hadits ‘selama mereka masih menunaikan shalat’.
Berhati-hatilah dalam urusan yang menyangkut darah kaum muslimin.”



Al-Imam Ahmad rahimahumallah melarang mereka membuka pintu keburukan.
Mereka berkata, “Tidakkah engkau lihat apa yang kita hadapi saat ini?”
Al-Imam Ahmad menjawab, “Ini ujian khusus yang hanya menimpa sebagian
orang. Adapun keburukan yang besar ialah apabila pedang sudah dihunuskan.
Berhati-hatilah kalian terhadap darah kaum muslimin. Lindungilah darah
mereka. Sungguh, semua ini telah menyelisihi hadits.”



Al-Imam Ahmad rahimahumallah tidak mengafirkan pemerintahnya. Beliau justru
memerintahkan agar mereka tetap mendengar dan taat, karena pemerintah saat
itu dipengaruhi oleh ta’wil dan syubhat.



Dalam peristiwa ini, beliau sendiri dihukum lantaran tidak mengatakan al-
Qur’an makhluk. Beliau dipukul, didera, dan dicambuk dengan cemeti hingga
pingsan beberapa kali. Meski demikian, kezaliman pemerintah tidak lantas
mendorong beliau untuk mengatakan sesuatu di luar perintah Allah Subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya. Inilah kepatuhan yang sempurna terhadap sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.



*3. (APABILA KEKAFIRANNYA SUDAH NYATA DAN JELAS), HENDAKNYA KAUM MUSLIMIN
MEMILIKI KEKUATAN DAN KEMAMPUAN UNTUK MENGGULINGKANNYA TANPA MENIMBULKAN
MUDARAT YANG LEBIH BESAR.*



Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumallah berkata, “Apabila pemerintah jatuh
kepada kekafiran yang jelas, tidak boleh ditaati. Siapa yang mempunyai
kemampuan wajib melawannya.” (Fathul Bari)



Jika tidak punya kemampuan, kaum muslimin tidak diperbolehkan melakukan
pemberontakan. Hendaknya mereka tetap bersabar hingga Allah memberikan
kelapangan dan jalan keluar. Hendaknya mereka tetap berdakwah di
tengah-tengah manusia, mengajari, dan memahamkan manusia kepada kebenaran
serta mengajak mereka untuk menerima sepenuhnya apa yang diajarkan oleh
makhluk yang paling mulia, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.



Asy-Syaikh al-Allamah Shalih al- Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun
bermuamalah dengan pemerintah yang kafir, ini berbeda-beda tergantung
keadaannya. Jika kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan untuk
memeranginya dan menggulingkannya dari kursi kepemimpinan, lalu diangkat
seorang pemimpin yang muslim, wajib bagi mereka melakukan hal itu, bahkan
termasuk jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.”



Akan tetapi, apabila mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggesernya,
maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menyalakan api permusuhan dengan
cara-cara atau tindakan zalim karena akan menimbulkan mudarat yang akan
kembali kepada kaum muslimin sendiri.



Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menetap di Makkah selama tiga belas tahun
setelah diutus. Tampuk kepemimpinan dan kekuasaan pada waktu itu ada pada
orang kafir. Namun, ada di antara mereka yang masuk Islam dan menjadi
sahabat-sahabat beliau. Mereka (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya) tidak mengkudeta atau menurunkan orang-orang kafir dari
kepemimpinannya. Mereka justru dilarang memerangi orang-orang kafir pada
masa itu.



Mereka tidak diperintah berperang kecuali setelah hijrah dan memiliki
negara dan jamaah (pengikut) yang membuat mereka mampu untuk memerangi
orangorang kafir. Inilah manhaj Islam.



Apabila kaum muslimin berada di bawah pemerintah yang kafir dan mereka
tidak memiliki kemampuan untuk menggulingkannya, kewajiban mereka adalah
berpegang teguh dengan keislaman dan akidah mereka….” (al-Hakim wa Anwa’uhu
dan ad-Dur al-Mantsur)



Sumber: http://asysyariah.com/kajian-utama-pemerintah-yang-kafir/

-- 
-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan lain-lainnya 
ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com
--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"MediaMuslimINFO Group" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to mediamusliminfo+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke