*Demokrasi Bukanlah Musyawarah*


Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafidzahullah



Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi dan pemilu adalah cerminan sistem
syura yang diajarkan dalam Islam. Pernyataan ini sangatlah keliru. Kita
dengar jawaban Syaikh Abu Nashr, Muhammad bin Abdullah Al-Imam[1], ialah
seorang ulama dari Yaman dalam bukunya Tanwirud Dhulumat sebagai berikut:



Pertanyaan:



Apa hukumnya orang yang menyatakan bahwa demokrasi dan pemilu adalah syura
yang diajarkan dalam Islam?



Jawab:



Demi Allah, kalau saja aku tidak khawatir orang-orang bodoh akan
terpengaruh dengan ucapan ini, tentu semestinya pertanyaan ini ditinggalkan
dan tidak perlu dijawab.



Sebelum kita masuk ke dalam penjelasan ngawurnya penyamaan ini, saya
ingatkan mereka dengan dua hadits besar yaitu ucapan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:



مَنْ قَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنَ اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ كَانَ كَاذِبًا فَهُوَ
كَمَا قَالَ وَإِنْ كَانَ صَادِقًا لَمْ يَعُدْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ سَالِمًا



“Barangsiapa berkata, ‘Aku berlepas diri dari Islam’, maka jika ia berdusta
maka akan terkena apa yang dia katakan. Dan jika ia jujur, maka dia tidak
akan kembali lagi dalam Islam dengan selamat.” (HR. Nasa`i dan Ibnu Majah
dan Hakim dari hadits Buraidah)



Wahai orang yang berkata seperti itu, lihatlah apakah engkau termasuk salah
satunya! Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يُزَلُّ
بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ



“Sesungguhnya seorang hamba kadang berbicara satu kalimat yang dia tidak
jelas tentangnya, ternyata menggelincirkan dia ke dalam neraka (lebih jauh
dari jarak timur dan barat).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).



Yang jelas, demokrasi dan pemilu tidak memiliki sama sekali titik temu atau
benang merah yang menghubungkannya dengan syura yang disyariatkan oleh
Allah, baik dalam persoalan pokok, cabang, global, parsial, makna, atau pun
intinya.



Bukti dan dalil yang demikian adalah dengan membandingkan keduanya dengan
syura dalam bentuk pertanyaan, yaitu:



1. “Siapa yang mensyariatkan demokrasi dan pemilu?” Jawabnya: Yahudi.



Siapa yang mensyariatkan syura? Jawabnya: Allah.



2. Apakah makhluk memiliki hak mengatur syariat? Apakah diterima
pensyariatan makhluk? Jawab: Tidak.



3. Yang membikin aturan demokrasi dan Pemilu adalah makhluk, sedangkan yang
membuat aturan syura adalah Allah.



Maka adakah Tuhan bagi kita kaum muslimin selain Allah. Allah berfirman:



أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا



“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah…” (Al-An’am: 114)



قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
وَهُوَ يُطْعِمُ وَلاَ يُطْعَمُ قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ
مَنْ أَسْلَمَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ



“Katakanlah: Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang
menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi
makan? Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang
yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu
termasuk golongan orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 14)



قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ



“Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan
segala sesuatu.”



Inilah pemisahan yang sempurna antara demokrasi dengan syura.



4. Syura yang agung adalah perkara yang berkaitan dengan politik umat,
ditegakkan oleh ahlul hal wal aqdi yaitu dari kalangan para ulama,
orang-orang shalih dan orang-orang yang ikhlas.



Sedangkan demokrasi (Pemilu) ditegakkan oleh berbagai macam manusia, orang
kafir, para penjahat, orang-orang bodoh dari kalangan laki-laki dan
perempuan dll. Adapun ikut sertanya muslimin atau ulama, hal itu hanyalah
permainan belaka untuk mempengaruhi kaum muslimin. Maka, apakah boleh
menyamakan orang muslim, mukmin, orang shalih, yang baik, yang Allah pilih
dia dengan orang yang kafir, para penjahat yang Allah jauhkan dan hinakan
mereka.



أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ. مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ



“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian):
bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Al-Qalam: 35-36)



أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ
كَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ
وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ



“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah
apa yang mereka sangka itu.” (Al-Jatsiyah: 21)



أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ
فِي الأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ



“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?
Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan
orang-orang yang berbuat ma`siat?” (Shad: 28)



5. Sesungguhnya para penganut golongan syura tidak akan menghalalkan yang
haram, tidak pula mengharamkan yang halal, tidak menganggap kebatilan
sebagai kebenaran, tidak pula menganggap kebenaran sebagai kebatilan.
Berbeda dengan demokrasi dan pemilu serta para pengikutnya, mereka
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, menganggap batil
kebenaran, bahkan membela kebatilan.



Ahli syura bermusyawarah pada perkara-perkara yang dianggap pelik bagi
mereka dari perkara-perkara kebenaran dan juga masalah penerapannya. Maka
mereka merupakan orang-orang yang ittiba’ (ikut) dan mengambil teladan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi mereka tidak akan
mendatangkan hukum-hukum yang menyelisihi hukum Allah. Adapun mereka, para
ahli demokrasi, adalah orang-orang yang mengada-adakan kebid’ahan
(menetapkan hukum-hukum atau undang-undang yang bukan dari Allah), bahkan
menerapkan kebatilan.



Jadi penganut golongan demokrasi, mereka seakan-akan seperti tuhan yang
membuat aturan hukum (syariat). Mereka mewajibkan kepada manusia untuk
beribadah kepada mereka.



Allah menghukumi mereka dengan firman-Nya:



أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ



“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)



وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ
جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ



“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah
tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan
Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.”
(Al-Anbiya`: 29)



مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا



“…dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan
keputusan.” (Al-Kahfi: 26)



6. Syura tidak lain hanyalah pada perkara-perkara yang jarang terjadi.
Adapun perkara yang ada dan jelas hukumnya dari Allah dan Rasul-Nya, maka
tidak ada musyawarah lagi padanya. Adapun demokrasi, maka sesungguhnya ia
meletakkan dasar-dasar aturan untuk studi kritis terhadap hukum-hukum
Allah. Allah berfirman:



أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا
لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ



“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah:
50)



وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ



“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)



وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ



“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45)



وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ



“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)



7. Syura bukanlah kewajiban yang terus menerus setiap waktu, tetapi
tergantung keadaan dan kebutuhan. Kadang-kadang wajib pada saat tertentu
dan pada saat yang lain tidak wajib. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan musyawarah pada saat bergerak menuju
peperangan dan beliau tidak bermusyawarah pada perkara-perkara yang lain
(yang sudah jelas kebenarannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikianlah
musyawarah berbeda hukumnya sesuai dengan keadaan. Adapun demokrasi, maka
ia merupakan keharusan yang diatur oleh orang-orang Barat bagi rakyatnya.
Bahkan kewajibannya melebihi shalat, puasa dan haji. Tidak ada yang bisa
lepas daripadanya dan tidak dibolehkan seorang pun untuk keluar darinya
selama-lamanya, yaitu dari kalangan pemerintah dan pemimpin. Mereka harus
menerapkannya dan mempraktekkannya terhadap rakyat mereka.



Barangsiapa yang mengharuskan kepada manusia sesuatu yang tidak wajib,
berarti dia telah memperbudak manusia dan menjadikan dirinya yang paling
berhak untuk diibadahi lebih daripada Allah yang Esa dan Maha kuasa. Allah
berfirman:



أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي
أَوْلِيَاءَ إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلاً



“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil
hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah
menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.”
(Al-Kahfi: 102)



8. Demokrasi menolak syariat Islam dan menuduhnya lemah, bahkan tidak cocok
untuk berbagai lapisan masyarakat. Yang demikian tidak ada dalam syura.
Pasal ini akan dibahas tentangnya dalam bab kerusakan-kerusakan pemilu,
insya Allah.



9. Syura datang ketika datangnya Islam. Adapun demokrasi tidak datang
kecuali pada jaman-jaman terakhir ini yaitu pada abad 13 dan 14 hijriah.
Maka apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
seorang yang demokratis? Demikian pula para shahabat dan kaum muslimin?!
Ini sejelas-jelas kebatilan dan tidak perlu bantahan.



10. Demokrasi maknanya adalah “hukum rakyat untuk rakyat”. Adapun syura
maka ia adalah musyawarah. Maka tidak ada padanya pembuatan hukum-hukum
baru yang tidak memiliki dasar secara global maupun rinci. Hanya saja
padanya ta’awun kerja sama dalam memahami kebenaran dan menerapkan
kebenaran.



Dinukil dari Majalah Salafy edisi XXX/1420 H/1999 M rubrik Mabhats.

Catatan kaki:

[1] Beliau adalah seorang alim (orang yang memiliki ilmu dan
mengamalkannya), murid senior Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i yang telah
memiliki pondok pesantren sendiri. Buku beliau ini pun telah disetujui dan
diberi muqadimah oleh Syaikh Muqbil hafidzahullah



Sumber:
http://sunniy.wordpress.com/2007/08/25/demokrasi-bukanlah-musyawarah/

-- 
-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan lain-lainnya 
ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com
--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"MediaMuslimINFO Group" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to mediamusliminfo+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke