MEMAHAMI MAKSUD TAWASSUL
(PERANTARA)
Tanpa diragukan lagi manusia termasuk makhluk yang
tingkat ketergantungan dengan Sang Pencipta sangatlah tinggi. Dengan segala
kelemahannya Ia meminta dan berdoa, agar segala kebutuhannya dapat
tercukupi dengan baik, bukan hanya dalam kehidupan dunia akan tetapi sampai di
akherat nanti.
Manusia dalam berdoa, adakalanya dilakukan melalui
cara langsung (hubungan makhluk dengan al-khalik) dan adakalanya melalui cara
yang tidak langsung (ada pihak perantara) atau yang lebih dikenal dengan nama
Tawassul.
Tawassul bukan merupakan suatu kelaziman yang harus
dilakukan oleh seseorang, sebab terkabulnya doa tidak hanya terbatas pada
tawassul saja. Hal ini dapat kita lihat dalam perintah Allah untuk berdoa secara
mutlak seperti dalam Alquran.
Tawassul hanyalah "salah satu
pintu diantara pintu-pintu" yang ada untuk menuju kepada Allah. Tujuan
central hakiki adalah Allah Swt. , sedangkan "al-mutawassal bih" (sesuatu
yang dijadikan perantara) merupakan alat perangkat saja untuk mendekatkan
diri kehadiratNya.
Dengan demikian tawassul merupakan bentuk ekspresi
kecintaan "al-mutawassil" (orang yang melakukan tawassul) dengan "al-mutawassal
bih", dengan alasan bahwa Allah Swt. juga mencintai "al-mutawassal bih".
Oleh karena itu apabila
al-mutawassil berkeyakinan bahwa al-mutawassal bih bisa memberikan
manfaat dan madharat, maka dia telah melakukan kemusyrikan yang
dilarang dalam agama.
Pendapat Ulama Tentang
Tawassul
Merupakan Ijma' (konsensus) para ulama bahwa
tawassul dengan amal shaleh hukumnya boleh, seperti puasa, shalat, membaca
Al-Quran dan bersedekah. Dalil yang dibuat rujukan adalah kisah tiga orang yang
yang berada dalam sebuah gua yang tertutup kemudian setiap mereka bertawassul
dengan amal baik yang telah mereka lakukan dan akhirnya Allah Swt. memberikan
pertolongannya.
Berbeda dengan tawassul melalui cara selain amal
saleh mereka, seperti tawassul dengan dzat atau seseorang. Seperti misalkan,
...."Ya Allah sesungguhnya saya bertawasul denaganMu lewat Rasululllah Saw....."
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menyikapi boleh atau tidaknya
melakukan tawassul.
Bila dilihat secara komprehensip ternyata perbedaan
di antara mereka hanyalah sebatas bentuk ( syakli ) bukan sampai pada tataran
inti ( jauhari ), karena tawassul dengan dzat pada hakekatnya bertawassul dengan
amalnya sendiri.
Untuk memahaminya sebagai
berikut ;
Bahwa seorang mutawassil mempunyai prasangka yang
kuat serta berkeyakinan bahwa al-mutawassal bih adalah orang yang dekat, cinta
dan mencintai serta mempunyai sifat yang mulia disisi Allah Swt. (يحبهم
ويحبونه -yuhibbuhum wa yuhibbunahu- silahkan dibaca pada penjelasan
Memahami Makna Mahabbah).
Dengan modal cinta inilah yang dijadikan sandaran
amal seseorang ( mutawassil ). Dengan kata lain bisa diekpresikan dengan kalimat
berikut ini ; Ya Allah sesungguhnya saya mencintai hambamu ini, dan saya
berkeyakinan ia mencintaimu -ikhlas dalam beramal dan berjuang di jalanmu-
dan saya berkeyakinan Engkau juga mencintainya dan meridhainya, maka saya
bertawassul denganmu ya Allah Swt. lewat kecintaanku kepada dia.
Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan
diperbolehkannya tawassul:
Firman Allah Swt. dalam Al-Quran
.يا ايها
الذين امنوا اتقواالله وابتغوا اليه الوسيلة
Maksud dari kata "al-wasilah" adalah sesuatu yang
dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri dengannya. jadi
disini ternyata "wasilah" mempunyai posisi yang "diperhitungkan" dalam
pandangan Allah Swt. Kata "al-wasilah" dalam ayat tersebut bersifat umum,
mencakup amal saleh dan al-dzat al-fadhilah.
Dalam banyak hadits dan atsar juga disebutkan
tentang bolehnya bertawassul.
Seperti hadist yang menceritakan tawassulnya Nabi
Adam AS dengan Nabi Muhammad (HR.Imam Hakim dalam Mustadrok, Imam Suyuti
dalam al-khosois al-nabawiyyah ,al-qostholani dan al-zarqoni dalam al-mawahib
al-ladunniyyah dan al-Subki dalam syifa'al-siqom) dan banyak syawahid atau
dalil-dalil yang menguatkan tentang adanya hadits tawassulnya Nabi
Adam.
Tawassul lewat selain Nabi Muhammad
saw.
Termasuk tawassul yang diperbolehkan adalah
tawassul lewat selain Nabi Muhammad saw, seperti tawassulnya sahabat Umar dengan
sayyidina Abbas ra. Seperti dalam penggalan hadits yang diriwayatkan Imam
Bukhori
"Allahumma inna kunna natawassalu ilaika
binabiyyina fatasqina wainna natawassalu ilaika biammi nabiyyina fasqina...."
dalam hadist ini setidaknya ada dua point yang bisa diambil untuk difahami
bahwa;
1. Boleh bertawassul kepada selain
Nabi Rosululloh saw.
2. Tawassul tidak hanya terbatas kepada orang yang
hidup, terbukti sahabat Umar bertawassul dengan sayyidina Abbas yang pada
hakekatnya dikarenakan beliau kerabat Rasul (sedangkan Rasululloh
SAW ketika itu sudah meninggal).
Maka pengkhususan di perbolekan tawassul hanya pada
orang hidup saja termasuk takhsis hadits yang tanpa dalil, sebab ruh itu akan
kekal dan mampu merasakan apa yang tidak bisa dirasakan oleh orang yang masih
hidup.
Kalaulah para ulama sepakat bahwa boleh bertawassul
lewat amal saleh, kenapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang bertawassul
dengan para nabi dan para al-sholihin termasuk bertawassul dengan amalnya
sendiri ?
Maksud hadits :
اذا سألت فاسأل تلله واذا استعنت فاستعن بالله
idza sa alta fas alillah wa idzas taanta fastain
billah...
Sebagian orang hanya memahami dengan "tergesa-gesa"
lewat hadits ini bahwa doa dan minta pertolongan tidak boleh secara mutlak
kepada selain Allah.
Akan tetapi jika di pahami secara teliti
dapat kita temukan makna hadits sebagai berikut;
1. Kita harus selalu sadar dan ingat bahwa Allah
semata yang memberikan segala permohonan manusia, maka tidak boleh meminta
kepada selain Allah.seperti yang di isyaratkan dalam lanjutan hadis di atas "
wa'lam an nal ummata lawij tama'at ".
2.Tidak ada larangan untuk bertawassul dengan kalau syarat pertama terpenuhi. Sebab kalau kita
memungkiri adanya tawassul maka akan meniadakan nash-nash yang berkaitan dengan
hal tersebut.
Demikianlah gambaran singkat tentang memahami
maksud tawassul dalam perspektif agama, semoga bermanfaat.
" robbi zidni ilma nafi'a war zuqni fahma.... ".
Amien Allohumma Amien.
Wallohu a'lam bish-shawab,-
Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu. YAHOO! GROUPS LINKS
|