Bersiaplah Sengsara di Jalan Lintas Sumatera BERSIAPLAH terkejut dan sengsara, jika mudik melewati jalan lintas tengah Sumatera Selatan! Terkejut, karena badan jalan dari Baturaja atau dari Palembang ke Lahat kondisinya jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Sengsara, karena jalan dari Lahat ke Tebing Tinggi penuh lubang dan jalan yang longsor.
Begitu menyiksa dan menyengsarakan, sehingga perjalanan menempuh jarak 75 kilometer itu memakan waktu empat jam, atau kendaraan hanya dapat dipacu dengan kecepatan rata-rata 20 kilometer per jam. Perjalanan penuh guncangan itu dimulai ketika meninggalkan Kota Lahat menuju Bungamas, tepatnya di sekitar Desa Sukaramai. Lubang berdiameter dua meter dengan kedalaman 30 sentimeter akan menjadi lubang pembukaan di tengah jalan. Setelah lubang itu, lubang lain dengan kedalaman 10-20 sentimeter bertebaran tidak beraturan di jalan selebar 5,5 meter tersebut. Di dekat Desa Bungamas terdapat satu tanjakan yang menikung cukup tajam, dengan sebuah lubang sedalam satu meter. Di tikungan itu, belasan truk dan bus dari dua arah harus antre agar tidak terjebak di lubang. Melewati penggal jalan, perjalanan akan kembali disertai oleh lubang dari berbagai ukuran dan sepenggal ruas jalan yang longsor sampai ke Desa Gunung Kembang. Memasuki desa tersebut, perjalanan akan disambut 100 meter jalan yang sudah terkelupas aspalnya. Di ujung desa terdapat sebuah jembatan berlubang yang tinggal kerangka betonnya saja. Jembatan berkonstruksi Calender Hamilton itu hanya dapat dilalui satu kendaraan dalam satu waktu. Terdapat tujuh jembatan serupa antara Lahat sampai dengan Tebing Tinggi. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Selatan Dharna Dachlan, jembatan-jembatan tersebut sangat rawan ambruk, seperti Jembatan Cipunegara di Jawa Barat. Di Kecamatan Kikim Timur, sekitar 30 kilometer dari Kota Lahat, terdapat sebuah tikungan menurun yang sangat membahayakan. Aspal di tikungan itu sudah terkelupas sehingga badan jalan hanya terdiri atas batu dan tanah. Menurut Ismael, mantan sopir truk, di tikungan tersebut sering ada kendaraan yang terguling hingga menutupi seluruh badan jalan. Jika hal itu terjadi, kemacetan belasan kilometer dipastikan akan terjadi. Aspal yang terkelupas, jalan yang berlubang, dan berdebu saat musim kering, terus menghadang sampai 40 kilometer berikutnya. Masyarakat mencoba menimbun beberapa lubang besar dengan tanah atau potongan kayu, namun tetap saja menyulitkan bagi pengendara. Jalan menurun yang rusak parah kembali menghadang di Kawasan Sungai Payang, Tebing Tinggi. Kondisi badan jalan di kawasan tersebut sudah tinggal tanah dan bongkahan batu besar. Puluhan truk dan bus antre untuk menuruni jalan, karena hanya dapat dilalui oleh satu kendaraan agar tidak terperosok ke jurang. SEBENARNYA ada alternatif lain untuk melewati Sumatera Selatan, yakni melalui Jalan Lintas Timur (Jalintim) Sumatera, antara Palembang- Jambi melalui wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Hingga sekarang, jalur sepanjang sekitar 280 kilometer ini menjadi jalur utama yang banyak dipilih masyarakat yang hendak melintasi wilayah Sumsel. Secara umum, jalur ini juga lebih baik dibandingkan Jalan Lintas Tengah (Jalinteng) Lahat-Tebing Tinggi-Lubuk Linggau yang memang sudah rusak parah. Hanya saja, para pengguna jalan juga tidak dapat terlalu berharap menemukan perjalanan yang nyaman di jalur yang ramai itu. Masalahnya, di ruas antara Sungai Lilin hingga Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin sepanjang 50 kilometer, dipenuhi lubang-lubang besar berdiameter sekitar dua meter hingga tiga meter. Kedalamannya sekitar 10 sentimeter hingga setengah meter. Lubang-lubang itu makin mengganggu, karena sebagian akan digenangi air dan lumpur pada saat hujan atau menebarkan debu tanah saat panas. Kerusakan jalan yang paling parah, antara lain terdapat di sekitar Kilometer 102 di Desa Sukamaju, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Berbagai kendaraan harus bergerak lambat, dengan kecepatan sekitar 10 kilometer sampai dengan 20 kilometer per jam ketika melintasi lubang-lubang besar. Bahkan, kendaraan sering terpaksa berhenti sama sekali, untuk bergantian dengan kendaraan lain mencari celah yang bisa dilalui di antara lubang-lubang yang dalam dan menganga. Akibatnya, untuk menempuh ruas jalan antara Sungai Lilin- Bayung Lencir yang jaraknya sekitar 50 kilometer itu setidaknya dibutuhkan waktu sekitar dua jam. Padahal, jika badan jalan mulus, jarak sepanjang itu dapat ditempuh sekitar 45 menit. "Kami tidak punya pilihan lain selain menerima kondisi jalan seperti ini, sambil terus bersabar dan berhati-hati mengemudi agar tidak terjadi kecelakaan. Sebenarnya kami juga mengikuti berita bahwa pemerintah telah mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membangun jalan ini. Tetapi, kenapa sampai sekarang belum beres- beres juga?" kata M Yamin (46), sopir mobil travel yang melayani Palembang-Jambi dan sebaliknya, dan setiap hari melalui jalur ini, ketika berbincang pada pekan lalu. KERUSAKAN jalintim dan jalinteng yang begitu parah tidak mungkin diperbaiki secara parsial. Perbaikan jalan di ruas Lahat-Tebing Tinggi terakhir kali dilakukan pada tahun 1990, sehingga saat ini sudah tidak ada jalan mulus lagi dari ujung ke ujung. Menurut Dharna, perbaikan badan jalan di kedua ruas tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dan membutuhkan dana besar. Untuk ruas Lahat-Tebing Tinggi, misalnya, dana yang dibutuhkan untuk perbaikan mencapai Rp 74 miliar. Dana sebesar itu sangat dibutuhkan untuk mengganti total jalan sepanjang 75 kilometer, dan memasang beton di beberapa daerah yang rawan longsor atau patahan tanah. Pembangunan tersebut menurut rencana akan dikerjakan pada tahun 2005. Turunnya dana bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB/Asian Development Bank) untuk pembangunan jalan-jalan itu sebenarnya sangat terlambat. Jika dana itu turun sesuai permohonan awal delapan tahun lalu, jumlah yang dibutuhkan tidak akan sebesar sekarang ini. Kasus serupa juga terjadi pada ruas Sungai Lilin-Banyu Lencir. Dana pembangunan jalan di ruas tersebut masih kurang Rp 20 miliar dari yang ditargetkan. Hal itu menyebabkan konstruksi jalan yang seharusnya tiga lapis, hanya dapat dibuat menjadi dua lapis. "Jalan Palembang-Jambi ini sudah sering diperbaiki, tetapi beberapa bulan kemudian rusak lagi. Semestinya perbaikan tersebut dilakukan secara menyeluruh, total, dengan alat canggih. Jangan sampai perbaikan jalan yang menghabiskan dana miliran rupiah hanya dijadikan proyek sesaat dan asal- asalan saja. Masyarakat Sumatera merindukan jalan lintas yang mulus dan nyaman," kata M Yamin, sopir travel. (Caesar Alexey/Ilham Khoiri) -------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Demi Keamanan, Sebaiknya Jangan Melintas pada Malam Hari RUAS Lahat-Tebing Tinggi-Lubuk Linggau di Provinsi Sumatera Selatan sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu jalur paling rawan di Sumatera. Selain kondisi jalan yang sangat buruk, sebagian besar kawasan itu merupakan daerah perkebunan dan jurang yang sepi. Kondisi seperti itu tentu memudahkan terjadinya perampokan, terutama pada malam hari. Beberapa pengemudi truk dan bus yang berpengalaman melintasi jalan itu mengatakan, jika tidak sangat terpaksa, jangan melintasi rute Lahat-Tebing Tinggi-Lubuklinggau pada malam hari. Kondisi jalan yang berlubang-lubang dan gelap-karena tidak ada satu pun lampu penerangan jalan-berpotensi menimbulkan kerusakan kendaraan, mulai dari pecah ban, patah as roda, atau mesin mogok. Pada saat itu masyarakat setempat akan berdatangan untuk menawarkan bantuan teknis dan penerangan. Tidak jarang mereka juga membuatkan kopi dan merebus mi instan untuk pengemudi dan penumpangnya. Menurut Ismael, mantan sopir truk, setelah kendaraan selesai diperbaiki, pengemudi harus membayar Rp 200.000 sampai Rp 500.000 untuk jasa mereka. Jika tidak mau membayar, jangan harap kendaraan beserta semua penumpangnya dapat pergi dengan selamat, termasuk muatan truk. Kondisi serupa juga terdapat di tikungan menurun di Kecamatan Kikim Timur. Jalan di tikungan itu sudah tidak beraspal sehingga bisa menimbulkan selip atau kendaraan terguling pada musim hujan. Jika musibah itu terjadi, ruas jalan Lahat Tebing Tinggi akan mengalami kemacetan sampai belasan kilometer, seperti yang pernah terjadi Februari 2004 lalu. Beberapa pemuda setempat selalu berjaga di tikungan itu sambil membawa tali seling atau tali penarik mobil. Jika ada mobil yang selip atau terguling, mereka akan segera menarik mobil itu sampai dapat berjalan normal. Pertolongan itu, tentu, tidak gratis. Sekali tarik, mereka mematok tarif minimal Rp 100.000, tergantung pada tingkat kesulitan dan besarnya kendaraan. Sementara itu, perampokan juga mengancam di jalur Tebing Tinggi-Lubuklingau, tepatnya sebelum masuk daerah Muara Beliti. Kawasan itu merupakan gabungan hutan dan perkebunan berbukit di satu sisi jalan, dan tebing sungai di sisi lain. Pada malam hari, para perampok mudah menghentikan kendaraan hanya dengan menggelindingkan kayu ke tengah jalan, atau batang pisang dan batu berukuran besar. Menurut Arman, pengemudi bus yang ditemui di sebuah rumah makan, bus yang dikendarainya pernah dirampok segerombolan orang bersenjata api rakitan dan senjata tajam di daerah tersebut. Para perampok tidak hanya merampas uang. Mereka juga menguras barang bawaan dan melucuti pakaian yang ada di badan penumpang. Para penumpang akhirnya hanya tinggal memakai celana dalam. Tidak akan ada pertolongan selama perampokan, karena di lokasi kejadian jauh dari desa dan tidak ada sinyal telepon genggam. Pos polisi dan patroli terdekat jaraknya mencapai lima kilometer, sehingga tidak akan mendengar teriakan atau bunyi klakson bus sekeras apa pun. Perampokan juga mengancam di ruas jalintim antara Palembang dan Jambi. Sejumlah sopir menuturkan, jalanan di sekitar Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin yang sepi kadang dijadikan sarang perampok yang kerap menyergap kendaraan yang lewat dan merampas barang-barang bawaannya. Para perampok itu juga tidak segan menyiksa dan membunuh penumpang dan sopir jika kemauan mereka tidak terpenuhi. SELAIN perampokan, ruas jalan itu juga dikenal sebagai jalur pungutan liar yang paling marak bagi truk dan bus. Pengamatan Kompas menunjukkan, sedikitnya terdapat 15 Pos Kamling Jalan Raya (PKJR) yang memungut uang dengan alasan keamanan di jalan raya. Selain itu, sejumlah oknum petugas juga melakukan pungli di dekat markas mereka atau di dekat lokasi patroli. Jumlah uang yang diminta dalam proses pungli itu akan meningkat seiring malam menjelang. Menurut Arman, pada siang hari pungli di PKJR hanya berkisar Rp 1.000 sampai Rp 2.000 sekali lewat. Namun, pada malam hari pungli dapat mencapai Rp 5.000. Pungli yang dilakukan petugas jauh lebih tinggi lagi. Pada siang hari, pungli dapat berkisar Rp 10.000 sampai dengan Rp 50.000. Pada malam hari, terutama menjelang hari raya seperti saat ini, pungli dapat mencapai Rp 50.000 sampai Rp 80.000 untuk satu truk sekali lewat. "Jadi, jika ingin melintas jalur Lahat-Tebing Tinggi-Lubuk Linggau, sebaiknya menghindari malam hari dan cuaca hujan. Jika tetap bersikeras melintas pada malam hari, bersiap-siaplah menanggung risiko," kata Ismael dan Arman. (ECA/IAM) ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________