Bagaimana reaksi kita...karena Aceh masih saudara kita juga.....

Sumber : hidayatullah.com
      oleh DZIKRULLAH*

      I Love Jesus and Aceh
      Tulisan di kaos lengan pendek warna abu-abu muda itu bisa bikin
mesem-mesem, "I love Jesus
because I'm a Muslim and so is he (Saya mencintai Yesus karena saya
seorang Muslim begitu pula dia)."
Oleh-oleh isteriku dari Melbourne itu sederhana, tapi mengesankan.

      Kaos yang dibuat oleh IISNA, Islamic Information and Service
Network of Australasia, itu pesannya
sesuatu yang sudah jelas, dan difahami ratusan juta Muslimin Indonesia
sejak kanak-kanak. Tapi berapa
orang dari kita yang pernah mengatakannya kepada teman-teman kita
penganut agama Kristen? Bahwa Jesus
alias Nabi Isa As. adalah seorang Muslim, inti ajaran yang dibawanya
sama dengan yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. yaitu tauhid, menolak penyembahan dan pengabdian selain
kepada satu Ilah.

      Penyimpangan terjadi setelah dirinya diangkat oleh Allah Swt.
Beberapa muridnya berkompromi
dengan Paulus --orang yang selama hidupnya sama sekali tak pernah
berjumpa Jesus--, yang tadinya sangat
anti-ajaran Jesus tapi kemudian berbalik jadi penda'wah utama ajaran
Kristen. Catatan-catatan
pribadinya bahkan kini jadi bagian penting kitab suci Kristen (Bible).

      Pauluslah yang mengakomodasi kepercayaan pagan Romawi --bahwa
tuhan lebih dari satu, dan
menyepakati tiga unsur tuhan yang merupakan kesatuan (trinitas): tuhan
Bapa, tuhan anak (Jesus), dan
roh kudus. Distorsi ini kemudian mencapai puncaknya, ketika Kaisar
Konstantin Agung, raja superpower
Romawi waktu itu, menyelenggarakan Konsili Nicea tahun 325 M. Kongres
besar Kristen ini memilih teologi
Paulus sebagai teologi resmi Gereja, dan menganggap semua aliran Kristen
yang lain sebagai heresy
(kekafiran). Di Konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Jesus diputuskan
lewat pemungutan suara (voting).

      Tahun 392 M Kaisar Theodosius mengeluarkan Edict of Theodosius,
yang meresmikan Kristen sebagai
agama negara bagi Kekaisaran Romawi. Ketika Kristen secara resmi jadi
agama Romawi --yang dicampur-aduk
dengan paganisme, resmi pulalah penyelewengannya dari ajaran tauhid
Jesus.

      Kaos itu sebuah cara sederhana untuk mendudukkan perkara
sebenarnya dari pandangan Islam. Jesus
adalah nabi. Telah mendahului sebelum dia nabi-nabi lain yang diutus
Allah Swt. dengan pesan yang sama:
mengingatkan kembali siapa manusia, siapa Penciptanya, dan bagaimana
manusia bersikap tahu diri kepada
Penciptanya.

      Ngomong-ngomong tentang Jesus, ada berita di harian The Washington
Post yang menggelikan.
Evangelis terkenal Jerry Falwell yang berteman dekat dengan Presiden W
Bush bilang begini, "Rakyat di
kawasan itu (Aceh) belum pernah mendengar nama Jesus disebut, jadi tak
ada salahnya misionaris
menyebarkan ajaran Bible sambil membawa bantuan kemanusiaan." Ia
menanggapi kritik terhadap gerakan
Kristenisasi di balik bantuan bagi korban Tsunami di Aceh. Lucunya,
wartawan penulis berita itu sendiri
yang membantah Falwell, "Tidak benar itu. Sebagai Muslim orang Aceh
sudah mengenal Jesus karena nama
itu tertera di dalam al-Quran bahkan sejak mereka mempelajarinya di
waktu kecil." Di dalam al-Quran,
nama Nabi Isa As. alias Jesus disebut jauh lebih banyak daripada nama
Nabi Muhammad Saw.

      Yang sering lupa justeru umat Muslim sendiri, bahwa salah satu
misi utama Islam adalah meluruskan
berbagai ajaran yang bengkok, terutama pada kaum yang menamakan dirinya
Yahudi dan Nasrani. Al-Ikhlash
yang bagi banyak orang sering biasa disebut surat "Qulhu" turun di
masa-masa sangat awal kenabian
Muhammad, sudah menohok ulu hati teologi yang menyimpang itu, "Dia tidak
beranak dan tidak
diperanakkan..." Tapi, untuk sekedar menjelaskan kebengkokan itu kepada
teman-teman Kristen pun umat
Muslim Indonesia cenderung enggan. Sebagian karena nggak mau ribut,
sebagian karena memang nggak tahu
harus bicara apa, karena tak cukup percaya diri.

      Jadi, jika kini umat Muslim Indonesia ---khususnya yang bekerja
membantu Aceh-- tak bersikap
jelas menghadapi Kristenisasi lewat bantuan kemanusiaan, ya wajar saja.

      Di Pulau Aceh, di seberang Pulau We di mana Sabang berada,
Catholic Relief Service (CRS) kabarnya
sudah mendapat lampu hijau langsung dari Presiden SBY, untuk menangani
pembangunan lebih dari 100 rumah
penduduk. Lobinya lewat Menkokesra Alwi Shihab. Pulau itu konon sudah
lama dikenal sebagai salah satu
basis gerakan separatis. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah naik
helikopter, mengunjungi daerah-daerah
terpencil Aceh, dipandu oleh dua orang petugas dari Obor Berkat
Indonesia (OBI), organisasi yang rajin
membungkus obat dengan kantong plastik bertuliskan pesan-pesan gereja.
Lebih dari 70 LSM dari Vatikan
ditenteng mendarat oleh dubesnya sendiri masuk ke pedalaman garis pantai
Aceh Barat siap mendirikan
sekolah-sekolah. Truk-truk logistik World Vision beroda 12 merajai
jalan-jalan Banda Aceh.

      Apakah rakyat Aceh diam saja, karena mereka sedang butuh bantuan?
Tidak. Di lapangan kita mulai
mendengar berbagai keresahan mereka, tapi camat dan bupati yang jadi
tuan rumah sedang berperan sebagai
diplomat. Di satu sisi mereka harus mendengarkan kegelisahan rakyat, di
sisi lain mereka tak mau
dibilang 'fanatik' oleh atasannya. Sedangkan kita sedang menunggu bom
waktu. Jika pemerintah menganggap
"tidak ada masalah" dengan berbagai gerakan Kristenisasi itu, berarti
pemerintah secara tidak langsung
sedang mendiamkan proses menuju terjadinya insiden-insiden yang akan
punya daya tarik internasional.

      Logika sehatnya, kehadiran orang-orang misi Kristen di Aceh
--sebuah negeri Muslim, justeru
kesempatan bagi rakyat Aceh meluruskan kebengkokan ajaran iman mereka.
Di Afghanistan dan Iraq itulah
yang terjadi. Ribuan tentara Amerika yang ditugaskan menduduki
negeri-negeri Muslim malah bersyahadat
sejak Perang Teluk I, Perang Afghanistan, dan Perang Teluk II.

      Anda ingat wartawan Inggris Yvonne Ridley, yang disandera oleh
pasukan Taliban beberapa pekan
sebelum AS menyerang negeri miskin itu akhir 2001? Selama sepuluh hari
ditahan Taliban, Yvonne ngamuk
hampir tak berhenti. Caci-maki berupa kata-kata kotor diteriakkannya
kepada pemuda-pemuda bersurban
hitam. Makanan yang diberikan kepadanya dilemparkan ke wajah
pemuda-pemuda bergamis itu. Tak sekalipun
mereka membalas amukan Yvonne. Beberapa pekan setelah dibebaskan dan
berada di London, Yvonne malah
bersyahadat. Untuk korban Tsunami di Aceh, Yvonne memandu sebuah lelang
amal live di televisi bagi ICR
(Indonesian Children Relief) dan Muslim's Hand, organisasi bantuan
kemanusiaan Muslim di negeri itu.
Seorang pria menyumbangkan mobil Mercedes Benz lewat Yvonne.

      Tapi kenapa logika sehat yang terjadi di Iraq dan Afghanistan
tidak berlaku di Aceh? Kenapa hati
kita dilanda kecemasan serius akan aqidah rakyat Nanggroe Aceh
Darussalam, yang oleh bangsa kita
dikenal kuat berpegang pada Islam? Sejujurnya, itu karena kita melihat
dengan mata sendiri, pelan-pelan
Islam tak lagi terlihat begitu kental di jalan-jalan Aceh. Gadis-gadis
Aceh sudah tak segan lagi
menonjolkan auratnya, bahkan bertempelan badan dengan lelaki yang bukan
muhrimnya, di atas motor dan di
pasar-pasar. Getar suara adzan sudah tak lagi mengundang cukup banyak
orang untuk datang ke masjid.
Rokok dan kopi jauh lebih mengasyikkan bagi lelaki Aceh ketimbang
mengirup segarnya al-Quran. Demikian,
kata sahabat-sahabatku orang Aceh sendiri. Dan sejujurnya juga, dalam
hal-hal itu, bukan hanya Aceh
tetapi diri kita sendiri di luar Aceh pun patut kita cemaskan.

      * Kolumnis hidayatullah.com



____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke