Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi
Standar
Global

wartaekonomi.com

Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar
global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin
tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan
penghasilan para penyandangnya.

Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu
nama
pertama menunjukkan identitas dirinya  sebagai  wakil presdir PT Panin
Life
Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel  lagi. Adapun kartu kedua
mencantumkan
gelar (professional  designation) Chartered  Financial Consultant (ChFC)
di
belakang namanya.  "Itu saya  perlukan  kalau sedang dinas ke luar
negeri
atau  bertemu dengan  kolega  saya yang kebetulan orang  asing  di
Indonesia," ujarnya.

Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra
asingnya  bahwa dia dengan orang yang kompeten  di  bidang asuransi  dan

layak dihargai karena menyandang gelar  sertifikasi berstandar  global,
yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga  saya tunjukkan ke klien atau
nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa  sertifikasi ChFC, perkembangan karier
dan
gaji Tri cukup baik,  karena zaman makin terbuka, pengakuan yang
bersifat
internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.

Sertifikasi  ChFC  milik Tri diperolehnya  dari  The  American College.
Selain  pengakuan internasional, apa  lagi  manfaatnya? "Banyak sekali,"

paparnya. Oleh karena program sertifikasi  lebih bersifat  aplikatif,
banyak
sekali pengetahuan baru yang  tak  ia peroleh  di  bangku kuliah. Selain

itu, apresiasi  industri  jasa keuangan  terhadap mereka yang
bersertifikasi
global  juga  makin tinggi.  "Mereka  makin dihargai  karena
keahliannya
berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya.

Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan
Menurut  Hari Sudarmadji, managing partner Optima  Consulting,
perusahaan
konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan  untuk
melakukan pekerjaan di  berbagai  bidang  usaha, seperti menjadi manajer

investasi atau wakil perantara  perdagangan efek. "Saya sangat setuju
dengan
adanya sertifikasi  profesi, sebab ini penting untuk kejelasan,"
ujarnya.

Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh
banyak  orang dan membutuhkan upaya  sertifikasi,  baik yang  bersifat
global  maupun  nasional.  Misalnya,  sertifikasi profesi di bidang
manajemen risiko, corporate secretary,  konsultasi manajemen, komite
audit
perusahaan publik, audit ISO,  audit TI,  dan audit lingkungan. "Mereka
yang
benar-benar  kompeten  di bidang  itu  sekarang banyak dicari,"
paparnya. Di
bidang  hukum juga  berkembang  sertifikasi profesi mediator
profesional
yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial  di
luar
pengadilan.

Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya
berprofesi
di  bidang  itu  karena  tuntutan  pertanggungjawaban profesi  cenderung

makin tinggi, seperti halnya profesi  akuntan, advokat,  notaris,
dokter,
dan apoteker, yang  sampai  dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus
pencemaran
Teluk Buyat, seharusnya  ada opini  dari  auditor  lingkungan
independen
dan  bersertifikasi standar  global yang layak disajikan dan  memiliki
akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti
profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari.

Di  bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden  ISACA
(Information
Systems  Audit and Control  Association)  Indonesia Chapter,
membenarkan
bahwa auditor TI yang memiliki  gelar  CISA (Certified  Information
Systems
Auditor) yang dikeluarkan  ISACA, AS,  makin dibutuhkan. "Padahal di
sini
pemilik gelar  CISA  baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan,
sertifikasi CISM  (Certified Information Security Manager) yang
dikeluarkan
ISACA   untuk para  manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia.
Saat
ini belum  ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM.  "Sebab
baru
berjalan  tahun lalu dan ujiannya Juli 2004  lalu,"  ungkap Surdiyanto.

Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka  Indonesia  itu,

audit TI yang dilakukan pemilik  gelar  CISA   jelas dapat
dipertanggungjawabkan karena ia memang  dibekali  pengetahuan,
keterampilan,
dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak  semua orang kompeten,

berwenang, dan berhak melakukan  audit TI  untuk  meneliti adanya
kontrol
dan  efektivitas  berjalannya sebuah  sistem  informasi. "Kalau auditor
CISA
mengatakan  hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia
independen
dan  tak ada conflict of interest," tandasnya.

Lebih  lanjut  Surdiyanto memaparkan,  sarjana  akuntansi  dan manajemen

bisa  saja menjadi auditor  keuangan,  manajemen,  dan operasional,
tetapi
tidak semua bisa mengaudit sistem  informasi, perangkat  lunak, dan
sistem
aplikasi. Padahal,  ujarnya,  banyak perusahaan besar makin bergantung
pada
TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan
ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini

berarti  TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA."

Di  sektor  industri manufaktur, tenaga  profesional  bergelar CPIM
(Certified in Production and Inventory Management) dan  CIRM (Certified
in
Integrated Resource Management)  yang  dikeluarkan oleh APICS (American
Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan
banyak
perusahaan. Gelar CPIM menandakan penyandangnya  memiliki  kompetensi
berstandar  internasional  di bidang  perencanaan  pengadaan, bahan
baku,
kapasitas  produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok,
perencanaan penjualan  dan operasional, kontrol kualitas, dan
kesinambungan
operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya
juga
menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah
perusahaan  yang begitu kompleks, sehingga  bisa  bekerja lebih efektif
dan
produktivitas meningkat.

Sertifikasi  CPIM  dan  CIRM, menurut  Ahmad  Syamil,  sangat penting
bagi
kalangan profesional yang banyak bergelut di  bidang manajemen
operasional
perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah  salah satu  penyandang  gelar
CPIM
dan CIRM. Gelar  ini,  lanjut  staf pengajar  di  Arkansas State
University,
AS, itu, "Juga  membantu peluang kerja di berbagai negara."

Di  bidang  pemasaran, sertifikasi profesi  seperti  Chartered Marketer
(CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered  Institute  of Marketing (CIM)
juga
sedang berkembang. Ario S. Setiadi,  marketing  & business development
vice-president Medika Plaza  International  Clinic,  mengaku sedang
belajar
program CM.  "Cuma  pakar marketing  Hermawan  Kartajaya yang sejauh
ini
bisa  memperoleh gelar  Fellow  dari CIM," ujarnya. Padahal  Ario  sudah

memiliki gelar  CPM  (Certified Professional Marketer) Asia  Pacific
yang
dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru
ada
12 orang  yang memilikinya, termasuk Ario.

Sementara  itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer  riset BNP
Paribas,
mengamati minat orang untuk memperoleh  gelar  FRM (Financial  Risk
Manager)
sekarang makin tinggi, terutama  mereka yang  bekerja  di sektor
perbankan.
"Sebab,  regulasi  perbankan mengharuskan  semua  bank mengikuti Basel
Rule
II  Accord,"  ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global
Association
for Risk Management Professional pada tahun 2002.

Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua
bank
dalam hal manajemen risiko dan  bakal  berlaku  pada 2006. Oleh karena
itu,
banyak kalangan bankir tertarik  mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi
Bank
Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan
manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.

Menurut  Ferry,  pemilik gelar FRM di Indonesia  baru  delapan orang.
"Sebagian  besar  juga penyandang  gelar  CFA  (Chartered Financial
Analyst)," tutur Ferry, yang juga bergelar CFA.  Sertifikasi  CFA,
walau
sudah ada di Indonesia sejak 15  tahun  lalu, baru 70-80 orang yang
memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per  tahun 700-800 orang, yang
lulus
sangat sedikit," ungkap Ferry.

Th. Wiryawan, marketing communications & business  development director
Citibank Indonesia, menilai bahwa  masalah  sertifikasi profesi  memang
isu
besar di industri jasa  keuangan  saat  ini. "Seperti  untuk  menjadi
private banker,  sebenarnya  juga  tidak mudah,"  ujarnya. Di Citibank,
mereka yang bisa  bekerja  sebagai private  banker harus berada pada
level
senior manager dan  lulus ujian  selama tiga bulan. Standar kualitas
profesional  bankirnya juga minimal harus regional. "Jadi, masalah
marked to
market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan
standar  profesional global, yang umumnya menganut pendekatan  marked to

market," jelasnya.

Menunjang Karier dan Penghasilan
Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi
profesi
adalah  di industri  keuangan,  asuransi,  pasar modal,  dan  properti.
"Ini
lagi tren dan  membuat  tenaga-tenaga yang  memiliki  sertifikasi
harganya
naik," tegas  Hari.  Apalagi tenaga-tenaga  bersertifikasi juga tak
mudah
dicari  karena  yang bersangkutan  sudah  mendapatkan posisi dan  income

yang  bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal.

Berapa?  Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh  karena mereka
memiliki  kemampuan khusus, perusahaan  pun  diuntungkan. Nilai
perusahaan
(corporate value)  otomatis  meningkat  karena mampu  mempekerjakan
tenaga-tenaga bersertifikasi  global  dengan gaji  yang  tinggi. Hari
menyarankan, tak ada  ruginya  eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun
untuk mengejar sertifikasi.  "Tren dunia  keprofesian  akan makin
spesifik
dan  ilmu  yang  dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik,"
jelas Hari.

Menurut  pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar  CISA memang
memiliki penghasilan yang bagus dan posisi  strategis  di perusahaan.
"Ia
betul-betul dipakai untuk memberikan  pendapatan besar  bagi
perusahaannya,"
tambahnya. Apabila ada  proyek  audit perusahaan, ia pasti akan
dilibatkan
sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih
bagus
dibanding  auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar

menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit
pun
makin meningkat pula.

Namun,  menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang  yang
bersertifikasi  standar global akan berhasil di karier dan  gaji. Hanya,

memang,  dengan memiliki sertifikasi,  daya  tahan  untuk tetap
memiliki
posisi dan penghasilan  tinggi  cenderung  lebih kuat.  "Jika  tak punya

sertifikasi, bisa saja  ia  diganti  oleh orang yang bersertifikasi,"
tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk
dengan orang asing. Jadi, jika  tak  memiliki kredibilitas, lewat
sertifikasi, pasti  akan  kalah bersaing.  "Bank-bank  besar,  asuransi,
dan
pasar  modal  makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya.

Ferry  Wong berpendapat, sertifikasi memang  menunjang  karier dan gaji,

tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA  dan FRM pasti akan
menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar  atau  tools
untuk
menjadi analis  yang  baik,"  paparnya. Selebihnya  tergantung kemauan,
usaha, dan keberuntungan.  Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang
menyandang gelar CFA dan  FRM memang  memiliki posisi tinggi. "Oleh
karena
jumlahnya  sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya.

Hal  senada juga diungkapkan Ario. Katanya,  penyandang  gelar CPM Asia
Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi  gelar  ini
dihargai di negara-negara Asia  Pasifik,  sehingga penyandangnya,
apabila
bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa  standar
profesionalnya
setara.  "Sementara  di  Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti
makna titel CPM,"  paparnya. Ario  mensinyalir,  orang  masih rancu
antara
gelar  formal  dan informal,  serta adanya stigma bahwa apabila gelar
informal  tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak

legal. "Padahal  di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal  profesi

yang  kalau diterima pasar ya bisa berjalan," jelas  Ario.  Namun Ario
yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal  lebih  berdaya saing
dibanding
yang tidak memilikinya.

Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service  director
Century 21
Thomas Mitra, menjelaskan bahwa  sebagian  broker properti  memang belum

memiliki sertifikasi broker   atau  analis properti.  Namun ia
mengamati,
mereka yang memilikinya  cenderung makin  baik  karier dan
penghasilannya.
Thomas,  yang  memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari
Pusat
Studi  Properti Indonesia,  merasakan manfaat pendidikan yang
ditempuhnya
dalam menjalankan profesi sebagai broker properti.

Ke  depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker  properti makin
dibutuhkan  karena persaingan makin  sengit  dan  tuntutan konsumen
makin
tinggi. "Itu baru bisa kami layani kalau  kaminya sendiri  makin
berkualitas," ujarnya. Thomas menambahkan,  karier sulit berkembang
kalau
mau mengejar uang tanpa terus belajar.

Sulit Diperoleh
Namun  umumnya  sertifikasi  profesi  berstandar  global,  dan bahkan
yang
nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan,  papar Hari, dalam ujian
profesi, lebih banyak yang gagal daripada  yang berhasil. Sinyalemen
Hari
dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan  untuk ikut ujian CPM,
seseorang
minimal  sudah bekerja  di bidang  pemasaran  selama lima tahun, dan
biasanya  jarang  yang sekali  ujian  bisa langsung lulus. Umumnya dua
kali
ujian  baru lulus.  "Saya  sendiri  waktu itu ada yang  satu  modulnya
tidak lulus,"  ungkap  Ario. Kesulitan makin tinggi  kalau  mereka  tak
punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya
20%-30%
yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis.  Jadi, bagi yang belum

berpengalaman, pasti akan kesulitan.

Seorang  penyandang gelar sertifikasi berstandar global  tidak boleh
hanya
piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya.  Misalnya
di
bidang hukum, ia harus terampil  berperkara di  pengadilan.  Kalau ia
manajer investasi,  ia  harus  terampil mengelola  dana  triliunan
rupiah.
"Kepandaian  mengelola  risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari.

Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi  berstandar global
meningkat,  gelar itu juga menuntut tanggung  jawab  yang juga  besar.
Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung  di  bawah perusahaan  atau
organisasi profesi.  "Sebab,  pekerjaan  mereka kerap kali menyangkut
nilai
yang besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa
bertanggung jawab di depan  hukum supaya  tidak  ada malapraktek.
"Profesi
yang  sudah  dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari.

Oleh  karena itu, lanjut Hari, sertifikasi  berstandar  global bukanlah
lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat  pengawasan ketat  dari
institusi pemberi sertifikasi.  Penyandang  gelarnya wajib mengikuti
pendidikan dan ujian berkesinambungan  (continual education) untuk terus

meningkatkan kualitas  profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas
mengikuti perkembangan terbaru, sehingga  kualitas kerjanya turun dan
opininya tidak layak lagi,"  urai Hari.  Mereka  juga  diwajibkan
mematuhi
kode  etik  sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut
sewaktu-waktu.

Surdiyanto  membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila  pemegang gelar
CISA
dalam setahun tak melakukan praktek apa pun  yang terkait  dengan
gelarnya,
ia tidak akan mendapatkan poin  kredit sehingga  gelarnya bisa dicabut.
Gelarnya baru bisa  diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan
yang
diakui. Ia juga harus mematuhi  kode  etik yang ada. "Setiap akhir
tahun,
gelar  CISA harus  diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup
memegang gelar CISA," paparnya.

Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi  profesi seperti
CFA
memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi,  seperti  surat
izin
mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu,  tambahnya,  penyandang  gelar
CFA
cenderung  tak  berani  mengambil risiko melakukan penyimpangan atau
penipuan. "Risiko dan tanggung jawabnya besar."

Biaya  pendidikan  dan ujian sertifikasi standar  global  juga terhitung

mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu  tak bisa
dipertanggungjawabkan,"  papar Hari. Sampai di  sini,  Hari  cemas
dengan
makin menjamurnya institusi-institusi yang  menawarkan  fasilitas
pendidikan
dan ujian keprofesian, baik  berstandar global  maupun lokal, seiring
tumbuhnya permintaan. Hari  mencermati, ada gejala banyak orang memburu
sertifikasi sampai ke  luar negeri  sehingga kalau tidak diantisipasi,
disediakan  forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang
bersertifikasi
profesi  dari luar  negeri yang tak diketahui seperti apa  kualitasnya.
"Tidak bisa  sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud
kriterianya," tegasnya.

Untuk  itu Hari menilai pentingnya peran  berbagai  organisasi profesi
dan
organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan  semua pihak yang
terkait,
seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah
terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan
praktek
di lapangan. "Kalau  pengaturan sertifikasi standar internasional sudah
ada
di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya
pikir
memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso.

Ferry  Wong  juga khawatir jika sertifikasi  profesi  kemudian dianggap
seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak  dapat
dipertanggungjawabkan.  Ia  melihat ada  kecenderungan  tumbuhnya
institusi
pendidikan yang sekadar mencari uang dengan  memanfaatkan  momentum  dan

bahkan membuat sertifikasi  profesi  yang  tak jelas  standarnya. Akan
tetapi ia yakin, orang akan  tahu  dengan sendirinya, sertifikasi mana
yang
bagus dan layak dihargai.

Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang
standarnya
terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya,  gelar
CFA,  yang tahun ini  tingkat  kelulusannya  di seluruh dunia hanya 32%
dari
total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau
mau
mencari sertifikasi,  cari yang  susah karena itu yang akan dihargai.
Kalau
sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya.

Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
 1. Chartered Financial Analyst (CFA)
 2. Certified Financial Planner (CFP)
 3. Financial Risk Manager (FRM)
 4. Chartered Financial Consultant (ChFC)
 5. Project Management Professional (PMP)
 6. Certified Information Systems Auditor (CISA)
 7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM)
 8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
 9. Certified Professional Marketing (CPM)
10. Senior Certified Valuers (SCV)
11. Certified Public Accountant (CPA)
12. Certified Internal Auditor (CIA)
13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP)
14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)

Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi
Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar  pelakunya berharga
mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin
membutuhkan
sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi  yang
sebenarnya
tak  membutuhkan  sertifikasi  khusus, tetapi juga langka sehingga
harganya
pun tergolong mahal.  Penyebabnya  mungkin  karena profesi-profesi  itu
lebih  mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari
jalur
pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya.

Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa

tingkat  kesegaran  ikan hasil  tangkapan  agar  layak ekspor.  "Dia
tugasnya  hanya memegang dan  membaui  ikan  tuna, seperti  layaknya
menguji biji kopi atau daun teh,"  ujar  Irham Dilmy,  managing partner
perusahaan executive search Amrop  Hever Indonesia.

Menurut  Irham, pemeriksa ikan tuna yang  notabene  ekspatriat itu  per
bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak  digaji tinggi  karena
pabrik pengalengan ikan tak mau  mengambil  risiko produknya  ditolak di

negara tujuan ekspor lantaran tak  memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini

bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari
perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.

Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan

dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar  pembuluh darahnya  tidak
pecah. Orang Jepang tak suka  mengkonsumsi  ikan tuna  yang pembuluh
darahnya sudah pecah karena  rasanya  menjadi tidak enak.

"Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10

orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu
sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan
mereka sebenarnya relatif sama dengan  pembau tembakau, tapi bayarannya
jauh
lebih mahal," ungkap Irham.

Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan
Kini  kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya,  profesi di bidang

perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen  mutu,
manajemen
lingkungan,  manajemen  risiko,  manajemen proyek,  pemasaran,
manajemen
pabrik,  dan  lain-lain.  Profesi-profesi itu relatif belum banyak
disentuh
orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu

umumnya spesifik  dan  membutuhkan  keahlian khusus.  Di  sinilah
sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat
dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan.

Sertifikasi  profesi berstandar global makin diperlukan  untuk
menegaskan
bahwa pelakunya layak diakui,  memiliki  pengetahuan, keterampilan,  dan

pengalaman  dengan  kualitas   internasional. Misalnya,  bidang audit
penerapan TI dibutuhkan pelaku yang  bersertifikasi  CISA. Mereka ini
diprediksi bakal mahal harganya  di masa depan.

Pelaku   profesi  bersertifikasi  standar  global   diprediksi "mahal"
karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang  yang menekuninya.
Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku  profesi ini bisa memiliki
sertifikasi berstandar global. Ketiga,  permintaannya yang kian tinggi
belum
diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga"
mereka naik.

Keempat,  mereka  mahal karena  sertifikasinya  diakui  secara  global.
Artinya, di mana pun ia bekerja, standar  keahlian  atau kompetensinya
diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana  pun.  Sertifikasi standar
global menegaskan bahwa penyandangnya  memang memiliki keahlian khusus,
sehingga pantas mendapat bayaran  tinggi.

Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan
(corporate
value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan  karyawan bersertifikasi
standar  global  tentu  dianggap  memiliki  nilai lebih. Itu sebabnya
perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.

Gelarnya Langka, maka Mahal Pula Harganya

Sebagian  besar penyandang gelar sertifikasi profesi  bukan  cuma piawai

dalam hal teori, tetapi juga harus menguasai betul  seluk-beluk  di
lapangan, alias dunia praktis. Sudah  begitu,  gelarnya tidak abadi.
Bisa
dicabut sewaktu-waktu jika melanggar etik,  tak mengikuti  pendidikan
lanjutan,  atau  tak  melakukan  pekerjaan sesuai  profesinya.  Namun,
hasil
yang  diperoleh  juga  sepadan. Karier meningkat, posisi penting, dan
gaji
pun tinggi. Siapa saja mereka? Berikut sebagian profilnya.

Ario S. Setiadi, Vice-President Marketing & Business Development Medika
Plaza International Clinic
Certified Professional Marketer (CPM) Asia Pacific

Di Indonesia, hanya ada 12 orang penyandang gelar CPM  (Certified
Professional Marketer) Asia Pacific. Salah  satunya  adalah Ario  S.
Setiadi. CPM adalah sertifikasi profesi  marketer  yang dirilis  oleh
APMF
(Asia Pacific  Marketing  Federation)  dengan biaya keanggotaan sebesar
US$40. Pria kelahiran Madiun tahun 1967 ini  mendapatkannya  pada 2002.
"Saya diberi tahu ada  gelar  ini dari   Hermawan   Kartajaya   (pakar
pemasaran   dan    pendiri MarkPlus&Co.) tahun 1999. Saya lalu ingin
mendapatkannya,"  papar lulusan jurusan Biologi UGM tahun 1986 ini.

Untuk  mendapatkan gelar CPM, Ario harus menempuh  lima  modul ujian,
yaitu
marketing research, marketing communication, marketing strategy, Asia
Pacific Business, dan Asia Pacific Management. Syarat  untuk  ikut
ujian,
minimal bekerja  di  bidang  pemasaran selama  lima tahun. "Biasanya
jarang
yang sekali  ujian  langsung lulus. Umumnya dua kali baru lulus,"
paparnya.
Ario pun waktu itu tidak lulus satu modul karena belum ada petunjuk pola

jawabannya.

"Kesulitan  yang  biasanya dihadapi peserta  adalah  menemukan pola
jawaban,"  ungkap doktor lulusan  Washington  International University
tahun
2002 ini. Hal itu disebabkan penilaian diberikan oleh  para ahli yang
berada
di berbagai negara.  Ujian  dilakukan serentak  di  kawasan Asia Pasifik

pada jam dan hari  yang  sama. Satu modul ujian memakan waktu tiga jam.

Oleh  karena  itu, walau total biaya ujian hanya  sekitar  Rp3 juta,
prosesnya bisa memakan waktu lima bulan (mulai dari pendaftaran  hingga
kelulusan). Ario mengakui tingkat  kesulitan  ujian  terhitung tinggi.
"Apalagi bagi mereka yang tak punya  pengalaman praktek dalam  marketing
,"
ujar dia. Sebabnya adalah ujian  teorinya hanya sekitar 20%-30%,
danselebihnya ujian praktek.

***

Ahmad Syamil, Staf Pengajar Arkansas State University, AS
Certified in Production and Inventory Management (CPIM) dan Certified in

Integrated Resource Management (CIRM)

Ahmad  Syamil memperoleh gelar CIRM (Certified  in  Integrated Resource
Management) sejak tujuh tahun lalu, dan CPIM  (Certified in  Production
and
Inventory Management) enam tahun lalu  setelah mengikuti ujian dari
APICS
(The American Production and Inventory Control  Society). Insinyur
teknik
mesin ITB ini juga  memperoleh gelar MBA dari University of Houston,
Texas,
AS, dan gelar  Ph.D. bidang manufacturing management and engineering
dengan
spesialisasi  operations management dari University of Toledo,  Ohio,
AS.
Syamil kini menjadi staf pengajar di College of Business Arkansas State
University, Arkansas, AS, di bidang  production/operations management,
management science/operation research business  statistics, dan
management
information systems.

Menurut Syamil, sertifikasi CPIM dan CIRM sangat penting  bagi para
profesional yang bergelut dalam manajemen operasional  perusahaan atau
pabrik. "Sertifikasi ini juga membantu peluang  kerja di  berbagai
negara,
peningkatan karier,  dan  penghasilan  bagi pemegang  gelarnya," ujar
Syamil, yang pernah bekerja di  perusahaan konstruksi baja dan fabrikasi
di
Jakarta dan Serang. Di  AS, lanjutnya, mereka yang bersertifikasi CPIM
bergaji rata-rata 18%-23% lebih tinggi dari yang tidak bersertifikasi
untuk
bidang yang sama. Orang Indonesia sendiri belum banyak yang bergelar
CPIM
dan CIRM.

Pria  kelahiran  Yogyakarta tahun 1965 ini  mengaku  beruntung bisa
mendapatkan  gelar CPIM dan CIRM.  Selain  karena  biayanya yang mahal,
juga
karena ujiannya terhitung sulit. Uang ujian CPIM dan  CIRM
masing-masing
sekitar US$600, sementara  uang  bukunya masing-masing  sekitar US$400.
Ujian CPIM dan CIRM  masing-masing terdiri  dari  lima  modul, dan per
modul  ujiannya  berlangsung selama sehari.

"Untung saya banyak bergumul dengan dunia operasional  perusahaan
sehingga
pengalaman itu sangat membantu," ujar Syamil.  Oleh karena kesibukan
belajar
dan bekerja di AS, ia baru menyelesaikan seluruh ujian CPIM dan CIRM
masing-masing dalam waktu dua  tahun. "Tes  APICS  sekarang sudah
diselenggarakan  di  puluhan  negara, termasuk Singapura, Malaysia,
Australia, Thailand, Jerman, Belanda, dan Inggris," paparnya.

Syamil  mengungkapkan, gelar CPIM sewaktu-waktu bisa  dicabut. Setelah
mendapatkan gelar CPIM, ia harus mengumpulkan kredit dari menerima  atau

memberikan pelatihan, mengikuti  atau  memberikan seminar,  dan
lain-lain.
Nilai kredit kegiatan itu harus  dikirim ke  APICS  untuk  mendapatkan
resertifikasi  setiap  lima  tahun. "Kalau  untuk  CIRM tidak ada
program
resertifikasi  karena  yang mendapatkannya masih sedikit," tuturnya.

***

Tri Djoko Santoso, Wakil Presdir PT Panin Life Tbk.
Chartered Financial Consultant (ChFC)

Setahun  lalu  Tri  Djoko Santoso  berhasil  memperoleh  gelar Chartered

Financial Consultant (ChFC) dari The American  College, AS. Di dunia
asuransi, ada dua program sertifikasi yang  terkenal untuk  profesi
perencana  keuangan,  yaitu  Certified  Financial Planner (CFP) dan
ChFC.
Normalnya, pendidikan dan ujian sertifikasi ChFC ditempuh sekitar dua
tahun
setelah menyelesaikan delapan modul pelajaran dan lulus ujian setiap
modulnya.

Namun, waktu itu Tri Djoko bersama beberapa temannya beruntung bisa
memperoleh sertifikasi ChFC melalui jalur  akselerasi  atau program
percepatan.  Pendidikan dan ujiannya bisa  dilakukan  di Indonesia
dalam
waktu enam bulan, setiap hari Sabtu dan  Minggu, dan  para pengajarnya
dari
luar negeri yang datang ke  Indonesia. "Kebetulan  karena  kami angkatan

pertama, sehingga  dapat  jalur cepat. Namun, untuk angkatan kedua dan
selanjutnya harus mengikuti jalur normal," paparnya.

Menurut  sarjana matematika FMIPA UI tahun 1985 ini,  ujiannya cukup
sulit
sehingga kalau yang lulus per modul sekitar 60%,  itu terhitung sudah
bagus.
Sisanya jelas mesti mengulang. Waktu  itu, tambahnya,  ia harus
mengeluarkan
biaya Rp2,6 juta setiap  modulnya.  Jadi,  untuk  delapan modul, total
biayanya  Rp20,8  juta. "Sertifikasi juga bisa dicabut," tegasnya.
Artinya,
ada kode etik yang mesti dijaga. Apabila kemudian terbukti melakukan
penyimpangan, seperti mengelabui nasabah, dan meski sudah diberi
peringatan
oleh Dewan Kode Etik ia masih terus melakukan  penyimpangan, maka  gelar

ChFC-nya bisa langsung dicabut. "Jadi, bukan  seperti gelar  S1  dan  S2

yang seumur hidup," ungkap  Tri,  yang  sempat berkarier di IBM selama
13 tahun.

Dengan gelarnya itu, Tri Djoko mengemukakan, ia mesti membayar biaya
keanggotaan sebesar Rp200.000 per tahun dan  setiap  tahun harus
mengikuti
kelas pendidikan tambahan (continual  education) untuk  meningkatkan
kualitas  profesionalnya.  "Sertifikasi  ini banyak manfaatnya," ungkap
Tri
Djoko. Di antaranya, untuk  mendapatkan pengakuan kompetensi dan
kredibilitas yang bersifat internasional maupun dalam berhubungan dengan

klien yang makin penting sekarang  ini.  "Di dunia keuangan, sertifikasi

profesi  seperti ChFC, makin diperhitungkan," ujarnya.

Mantan vice-president Bank Bali selama tujuh tahun dan  mantan wakil
presdir di Prudential Life selama delapan tahun  ini  juga menegaskan
sertifikasi  profesi juga penting  untuk  mendapatkan pendidikan  yang
bersifat aplikatif, yang  tidak  didapat  dalam pendidikan  formal
biasa.
Tak heran kalau  Tri  Djoko  kemudian selain menjadi pengajar di STAN
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dan  Universitas Bina Nusantara selama
dua
tahun terakhir,   juga masih  menyempatkan diri mendirikan dan mengelola

asosiasi  FPAI (Financial Planning Association Indonesia) sejak dua
tahun
lalu, di  sela-sela  kesibukannya sebagai wakil presdir PT  Panin  Life
Tbk.
yang sudah dilakoninya selama empat tahun terakhir ini.

***

Ferry Wong, Manajer Riset BNP Paribas Peregrine
Chartered Financial Analyst (CFA) dan Financial Risk Manager (FRM)

Pria  kelahiran  Desember 1973 ini  termasuk  orang  Indonesia pertama
yang
mendapat gelar (professional designation) di  bidang manajemen  risiko,
yaitu Financial Risk Manager (FRM). Gelar  ini diperolehnya dari Global
Association for Risk Management  Professional  pada  2002. "Pengetahuan
manajemen  risiko  kian  menjadi penting  terutama karena bakal
diterapkannya peraturan  perbankan internasional,  Basel  II Accord,"
ujar
top  analyst  versi  Asia Money selama empat tahun terakhir dan versi
majalah Institutional Investors selama dua tahun terakhir ini.

Sebelumnya   Ferry juga menyabet gelar prestisius  lainnya  di bidang
keuangan, yaitu Chartered Financial Analyst (CFA).  Gelar CFA  dan FRM
diakui di seluruh dunia. Sarjana lulusan  University of
Wisconsin-Madison,
AS, dan peraih gelar MBA dari University of Pittsburgh, AS, ini
memperoleh
gelar CFA pada 2001 dari  Association for Investment Management and
Research
(AIMR), AS. Ia tertarik  untuk  memperoleh gelar CFA setelah mulai
bekerja
di  dunia pasar  modal  pada  1997. Sebelumnya ia  memulai  karier
sebagai
financial analyst di Grup Salim.

Menurut Ferry, untuk memperoleh gelar CFA dan FRM sama  sekali tidak
mudah.
Ia menaksir jumlah penyandang gelar CFA di Indonesia hanya 70-80 orang,
dan
bahkan penyandang gelar FRM lebih  sedikit lagi,  hanya  7-8 orang.
Pendidikan dan ujiannya juga  sulit  dan lama. Dengan total biaya
US$3.000-4.000, pendidikan dan ujian CFA berlangsung  minimal  tiga
tahun.
Sementara itu,  pendidikan  dan ujian  FRM berlangsung selama setahun
dengan
total biaya  US$450. "Bisa  belajar  sendiri atau bisa ikut  pendidikan
preparation," tuturnya.

Penyandang  gelar  CFA dikenai biaya  keanggotaan  US$225  per tahun,
sedangkan  pemegang gelar FRM dikenai  biaya  keanggotaan US$100  per
tahun.
"Kebanyakan penyandang gelar FRM adalah  pemegang  gelar CFA juga,"
ungkap
Ferry, yang kini aktif sebagai  CFA Coordinator  untuk  CFA Preparation
Courses di  Universitas  Bina Nusantara.

***

Hendy Widjaja, Managing Consultant PT Insight Consulting
Certified Information Systems Auditor (CISA)

Memperoleh gelar CISA (Certified Information Systems  Auditor) di bidang

audit teknologi informasi (TI) bukanlah hal mudah,  dan Hendy Widjaja
merasa
bangga memperolehnya. Managing consultant PT Insight  Consulting  itu
memperoleh gelar CISA  tahun  2000  dari Information  Systems Audit and
Control Association  (ISACA),  AS. "Ujiannya sulit sekali. Banyak teman
saya
yang sudah berkali-kali
ikut ujian tetap saja gagal," papar penyandang Master of  Science bidang

sistem  informasi Louisiana State  University,  AS,  ini. Pendidikan dan

ujian CISA hanya berlangsung singkat, sekitar 100-200 jam, dengan biaya
US$465.

Hendy  mengungkapkan, dalam ujian CISA belum tentu  hanya  ada satu
jawaban
yang benar. Walau sebuah jawaban A diyakini  benar, kalau  sebagian
besar
peserta ujian di seluruh  dunia  mengatakan jawaban B yang benar, maka
jawaban B itulah yang dibenarkan. "Itu jawaban  para profesional karena
sertifikasi CISA lebih  diperuntukkan  bagi  para profesional, bukan
yang
baru  lulus  kuliah," ungkap  Hendy,  yang pernah berkarier  di
PricewaterhouseCoopers (PwC) sejak Desember 1994 hingga Oktober 2000.

Menurut Hendy, sertifikasi CISA memiliki kode etik yang ketat.
Penyandang
gelar  CISA dituntut selalu bersikap  independen.  Ia menaksir  jumlah
penyandang gelar CISA di Indonesia  sekitar  100 orang.  "Untuk
implementasi  TI  dan  audit  TI  di  perusahaan-perusahaan,  pemegang
gelar CISA kini makin  dibutuhkan,"  papar Hendy,  yang kini sibuk
menyiapkan ekspansi perusahaan  konsultan TI-nya ke Manila, Filipina.

***

Nicky Theng, Executive Vice-President PT Asuransi AIG Lippo Life
Certified Financial Planner (CFP)

Pria  kelahiran Jakarta tahun 1963 ini masih  merupakan  satu-satunya
orang
Indonesia yang memiliki gelar Certified  Financial Planner (CFP). Nicky
memperolehnya tahun 1997 dari The  Financial Planners  Standards Council
of
Canada. Sebelumnya,  Nicky  sempat memiliki  gelar  Chartered Financial
Planner  dari  The  Canadian Institute  of Financial Planning tahun
1993.
Akan  tetapi  karena adanya  standarisasi sertifikasi secara global,
gelar
Nicky  pun berubah  menjadi  CFP. Sebelumnya masing-masing  negara
memiliki
institusi  sertifikasi profesi financial planner. Namun,  setelah itu,
mereka  melakukan  kerja sama  standarisasi  global  dengan Certified
Financial Planner Board of Standards, AS.

Untuk memperoleh gelar CFP, Nicky menempuh pendidikan  sekaligus ujian
sertifikasi selama hampir tiga tahun dengan total biaya CAN$2.500 karena

kebetulan waktu itu Nicky adalah residen Kanada. "Kalau  untuk
nonresiden,
bisa lebih  mahal  biayanya,"  ungkap Nicky,  yang sudah 15 tahun
bergelut
di bisnis asuransi jiwa  dan dana pensiun. Kemudian setiap tahun ia juga

mesti membayar  sebesar CAN$235 untuk perpanjangan masa keanggotaan dan
lisensinya.

Lulusan  Diploma Business Administration dari Wilfrid  Laurier
University,
Kanada,  ini mengemukakan bahwa gelar  CFP-nya  bisa sewaktu-waktu
dicabut
apabila dalam evaluasi tahunan dianggap tak memenuhi  kualifikasi  CFP
lagi.
Setiap tahun  ia  wajib  mengisi semacam  kuesioner  yang diberikan oleh

The  Financial  Planners Standards Council of Canada. Di situ ia wajib
membeberkan  kegiatannya  dan sewaktu-waktu badan itu akan  mengecek
kebenarannya. "Saya  tentu  tak mau kehilangan gelar ini  karena  memang

sulit memperolehnya  dan  harus mulai lagi dari awal jika  ingin  dapat
lagi,"  papar  Nicky  yang juga aktif di  Asosiasi  Dana  Pensiun
Lembaga
Keuangan Indonesia ini.

***

Thomas Sugiarto, Executive Service Director Century 21 Thomas Mitra
Certified Property Analyst (CPA)

Lulusan  teknik elektro Universitas Gadjah  Mada,  Yogyakarta, tahun
1993
ini sudah menjadi broker properti sejak  1994.  Pada 1987  ia berhasil
mendirikan perusahaan broker properti  pertamanya, PT Thomas Mitra
Sukses
(Century 21 Thomas Mitra) di  kawasan elite Pondok Indah, Jakarta, dan
kemudian juga perusahaan  broker properti  keduanya, PT Mitra Sukses
Sejati,
di kawasan  Kebayoran Baru, Jakarta, pada 2001. Total ia membawahkan 40
broker properti di perusahaannya.

Namun, pria kelahiran Riau, Oktober 1967, ini tak puas  dengan
keberhasilannya  itu. Ia ingin belajar lebih dalam lagi  mengenai
seluk-beluk dunia properti karena ia merasa banyak hal yang belum
diketahuinya,  mulai dari perizinan, proses pembangunan,  pemasaran,
hingga
pemeliharaan properti. Ia  lalu  mengikuti  program pendidikan  dan
ujian
Certified Property Analyst (CPA)  di  Pusat Studi   Properti  Indonesia
(PSPI).  "Saya   termasuk   angkatan pertama," ujarnya.

Dengan  biaya pendidikan waktu itu Rp10 juta  dan  ditempuhnya hampir
selama
setahun, Thomas pun meraih gelar CPA. Jumlah  lulusan  CPA  dari PSPI
saat
ini diperkirakan lebih dari  100  orang. Thomas  juga mengikuti
pelatihan
broker properti Grup Century  21 dan Asosiasi Real Estate Broker
Indonesia
(AREBI). Mantan  supervisor  perusahaan kontraktor bangunan ini
mengakui,
setelah  mengikuti  pendidikan itu, ia bisa makin profesional dalam
bekerja, ide-ide bisnis makin berkembang, dan kepercayaan orang
terhadapnya
juga makin meningkat. Kini ia juga tercatat sebagai  presiden Motivators

Toast Masters Club, sebuah klub motivasi  dan  public speaking, sejak
tahun
2001.

***

Rahayu S. Arifin, Managing Director PT C-Five
Project Management Professional (PMP)

Wanita  kelahiran  Surabaya tahun 1958 ini  termasuk  generasi awal
orang
Indonesia yang menyandang gelar  Project  Management Professional (PMP),

bersama 25 orang Indonesia lainnya. Sertifikasi PMP dikenal luas
dibutuhkan
di lingkungan project  management atau  pekerjaan menangani berbagai
jenis
proyek, mulai dari  awal sampai  akhir. Sertifikasi PMP diperoleh dari
Project  Management Institute, AS, Eropa, dan Australia. Rahayu
memperoleh
gelar  PMP pada 1996 ketika ujian dan sertifikasi PMP untuk pertama
kalinya
bisa dilakukan di Indonesia, dan bahkan di Asia Tenggara.

Lulusan  S1  jurusan teknik fisika ITB tahun  1980  ini  sarat
pengalaman
mengerjakan berbagai proyek di  perusahaan  perangkat lunak, manufaktur,

telekomunikasi, dan jasa konsultansi.  Setelah lulus  dari ITB, Rahayu
mengawali karier dengan  bekerja  sebagai system analyst di PT Pan
Systems,
perusahaan distributor komputer ICL. Setahun bekerja di sana, pada 1981
ia
pindah ke IPTN (Industri  Pesawat  Terbang Nurtanio), atau yang
sekarang
bernama  PT Dirgantara  Indonesia (DI). Berawal sebagai system analyst,
menjalani  15 tahun berkarier di IPTN hingga terakhir duduk  sebagai
vice-president proyek pesawat N-250. Di situ ia bertanggung jawab
mengembangkan  proyek aircraft turbo propeller N-250  mulai  dari awal
hingga uji terbang. "Saat itu kami tinggal berusaha memperoleh
sertifikasi
produknya," tutur dia.  Saat  menggarap  proyek senilai  US$650 juta
itulah
Rahayu memiliki kesempatan  mengambil gelar PMP.

Pada 1996 Rahayu berpindah karier sebagai direktur program  di
perusahaan
telekomunikasi, Ariawest. Ia berkarier di sana  selama empat  tahun dan
menangani berbagai proyek telekomunikasi.  Salah satunya  adalah
menangani
proyek  infrastruktur  telepon  tetap senilai  US$500 juta. Empat tahun
di
Ariawest, pada  tahun  2000, Rahayu yang juga meraih gelar S2 dari ITB
ini
kemudian  melanjutkan  kariernya di PT Accenture Indonesia sebagai
senior
manager yang  menangani berbagai proyek. Dua tahun di  Accenture,
Rahayu
memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri bernama PT C-Five, yang
bergerak di bidang konsultansi manajemen dan TI pada  tahun 2003. Di
situ ia
duduk sebagai managing director.

Rahayu  juga  adalah  salah satu  pendiri  organisasi  Project
Management
Institute (PMI) Indonesia Chapter. Di situ ia sekarang duduk  sebagai
penasihat organisasi. Menurut dia,  ketika  sertifikasi  profesi  PMP
mulai
berkembang di  Indonesia  pada  1996, peminatnya kebanyakan masih
karyawan
perusahaan multinasional  di industri migas. Namun kini, peminat
sertifikasi
PMP di  Indonesia pun  bertambah. Tahun ini diperkirakan jumlah pemegang

gelar  PMP di  Indonesia  ada 300 orang lebih dan  didominasi  oleh
manajer
level  menengah di perusahaan-perusahaan multinasional yang  bergerak di

bidang migas, telekomunikasi, dan TI.

Biaya  pendidikan  dan ujian sertifikasinya  tercatat  sebesar US$550
untuk
non-anggota asosiasi, dan US$450 untuk anggota  asosiasi.  Pendidikan
dan
ujiannya bisa  dilakukan  secara  online melalui  internet. Walau hanya
berpendidikan formal SMU,  asalkan mempunyai  jam terbang tinggi di
lingkungan  project  management, juga  boleh mendaftar. Walau begitu,
tetap
tidak  gampang  meraih gelar  PMP.  "Ujian teorinya mungkin mudah bagi
yang
baru  lulus sarjana,    tetapi   ujian   prakteknya   betul-betul
menuntut
pengalaman," jelas Rahayu.

***

Doli D. Siregar, Chairman PT Satyatama Graha Tara
Senior Certified Valuers (SCV)

Lulusan jurusan teknik sipil Universitas Indonesia ini  memperoleh
gelar
Senior  Certified Valuers (SCV)  pada  tahun  1987. Pemegang  gelar  SCV
di
Indonesia ditaksir hanya 10  orang.  Doli sebelumnya juga berhasil lulus

ujian profesi penilai dari asosiasi  MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia)  dan  memperoleh izin praktek sebagai penilai dari Departemen

Keuangan.

Saat  masih  menjadi mahasiswa di UI pada  1978,  Doli  memang sudah
tertarik menjadi seorang penilai. Ia belajar secara  otodidak karena
saat
itu belum ada perguruan tinggi di Indonesia  yang secara khusus membuka
jurusan penilaian. Untuk memperdalam  ilmunya,  Doli  melanjutkan
pendidikan
S-2  di  Universiti  Teknologi Malaysia dan lulus tahun 1995.

Berbekal tesis dan dukungan dari mitra asingnya di PT Satyatama  Graha
Tara, perusahaan konsultan properti dan  jasa  penilai yang didirikannya

pada 1985, Doli dipromosikan menjadi Fellow  di Royal Institution of
Chartered Surveyor (RICS), Inggris. Ia satu-satunya  orang  Indonesia
yang
berstatus  Fellow.  Untuk  menjadi Fellow butuh pendidikan dan ujian
selama
8-10 tahun. Dengan gelar ini, tarif konsultansinya per jam mencapai
US$200.

FADJAR ADRIANTO, HENDARU, DAN J.B. SOESETIYO

Source :
wartaekonomi.com
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke