Cerminan wajah birokrasi di Indonesia, khususnya di Jakarta. Media Indonesia .Senin, 06 Juni 2005 00:00 WIB
Balada Jenazah Anak Seorang Pemulung JENAZAH, ketika akan dimakamkan di sebuah tempat pemakaman, umumnya dibawa oleh keluarganya dengan menggunakan ambulans atau mobil sewaan. Kelaziman itu tidak terjadi pada jenazah Khairunisa. Supriyono, 38, ayah bocah berusia tiga tahun itu, membawa jenazah buah hatinya ke pemakaman dengan cara menimangnya menggunakan kain sarung. Pemulung botol bekas air mineral dan kardus, yang sehari-harinya tinggal di kolong jembatan rel kereta api di kawasan Menteng itu, terlihat begitu nelangsa dengan kenyataan yang dihadapinya. Seperti diungkapkan Supriyono kepada wartawan di Kamar Jenazah RSCM, kemarin, jenazah putrinya itu menurut rencana akan dia makamkan di sebuah perkampungan pemulung di Bogor. Tanpa kehadiran sanak famili. Untuk keperluan itu, lelaki yang wajahnya terlihat lebih tua dari usianya itu, harus naik kendaraan umum. ''Dari sini (RSCM) saya mau naik angkutan umum ke stasiun Cikini lalu naik kereta api,'' ungkap Supriyono, sambil memegang erat tangan Nuriki Saleh, 5, anak sulungnya. Supriyono mengaku pilihan seperti itu harus diambil karena dirinya terbentur masalah biaya. Penghasilannya sebagai pemulung hanya Rp10 ribu per hari. ''Dari mana saya bisa mendapatkan biaya untuk sewa ambulans?'' tanyanya. Kisah memilukan itu, sesuai penuturan Supriyono, berawal ketika Khairunisa diketahui telah meninggal dunia di dalam gerobak barang bekas miliknya, sekitar pukul 07.00 WIB, kemarin. Memang, sambungnya, putrinya itu sudah empat hari menderita diare. Karena tak ada uang, Supriyono hanya membawa Khairunisa berobat ke sebuah puskesmas di wilayah Jakarta Selatan, di sela-sela kesibukannya sebagai pemulung. ''Saya hanya mampu membayar biaya berobat Rp4 ribu. Karena tidak punya uang lagi, saya bawa pulang saja anak saya, padahal sakitnya parah dan menurut dokter harus dirawat inap.'' Mendapati putrinya sudah tidak bernyawa, Supriyono menggendongnya dengan kain sarung dan langsung menuju Stasiun Tebet, untuk dibawa ke Bogor. Sedangkan tangan kanannya menuntun Nuriki. Tengah menanti kereta datang, seorang pedagang minuman menyapa, ''Pak, anaknya dari tadi kok diam saja?'' Supriyono hanya bisa diam, namun tak terasa air matanya mengalir. Lalu tumpahlah segala kesedihan yang dipendam ayah yang malang itu. Dalam kekagetannya, si pedagang menyarankan agar Supriyono meminta bantuan biaya ke kantor polisi terdekat. Di kantor polisi, yang didapat justru surat pengantar agar jenazah Khairunisa dibawa ke Kamar Jenazah RSCM untuk divisum. Polisi pun mengusahakan ambulans untuk keperluan itu. Namun, ketika petugas kamar jenazah akan melakukan visum, sesuai surat pengantar polisi, Supriyono menolak. Alasannya, lagi-lagi soal biaya. Dan, sekitar pukul 17.00, Supriyono kembali menggendong jenazah putrinya ke Stasiun Cikini, menuju Bogor. Di sebelah kanannya, Nuriki terlihat tertatih mengikuti langkah ayahnya. (Mansur Razak/J-4) ---------------------------------------- Senin, 06 Juni 2005 00:00 WIB Balada Jenazah Anak Seorang Pemulung JENAZAH, ketika akan dimakamkan di sebuah tempat pemakaman, umumnya dibawa oleh keluarganya dengan menggunakan ambulans atau mobil sewaan. Kelaziman itu tidak terjadi pada jenazah Khairunisa. ---------------------------------------- Anda dapat membaca selengkapnya MI <http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?Id=2005060523280351> Online Copyright C 2005 Media Indonesia Online. All rights reserved _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________