Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Sidang Palanta RN dan Jemaah Surau yang dimulyakan Allah SWT

Pada akhir tulisan saya pada postingan saya terdahulu, saya menyatakan harapan saya agar pendapat saya tidak dijadikan polemik ---dan kalau ada nilainya---menjadi refleksi bersama, namun tetap saja mendapat reaksi beragam. Arnoldison malah sengaja men-cc-kannya ke account pribadi saya. Rupanya beliau khawatir komentarnya di Surau tidak terbaca dan tidak ditanggapi oleh saya. Saya memang tidak langsung menanggapi satu demi satu. Pertama karena ya itu, saya tidak ingin berpolemik mengenai hal tersebut. Kedua karena saya juga ingin mengikuti perkembangan keadaan dan berbagai pernyataan dan wacana yang timbul berkenaan dengan hal tersebut di media masa dan di sejumlah milis yang saya ikuti, termasuk pernyataan dari KISDI.

Namun tentunya tidak elok kalau saya tetap diam seribu bahasa. Karena itu dengan tidak mengurangi penghormatan saya kepada himbawan Engku Boes agar masalah Ahmadiah ini tidak dibahas lagi di Surau, saya merasa perlu memberikan tanggapan terhadap postingan Azhari di bawah ini, Sekaligus menanggapi Ronald, Arnold, Rida, Rahima dan lain-lain di Palanta dan Surau.

Pada dasarnya posting saya yang terdahulu menyangkut keprihatinan saya akan dua hal. Pertama rendahnya kemampuan mayoritas ummat untuk menerima penafsiran yang berbeda terhadap Al-Quran dan Sunnah (yang merupakan urusan ‘langit’ yang berujung kepada perpecahan dan tindak kekerasan, yang banyak mengabiskan enersi ummat sehingga abai terhadap urusan ‘bumi’ yaitu kondisi umat yang ketinggalan jauh dari para ‘kafirun’ secara ekonomi, politik dan iptek. Kedua, adanya salah kaprah/dstorsi terhadap keislaman para pengikut Ahmadiah yang dijadikan dasar untuk menghakimi Ahmadiah sebagai aliran sesat lalu meminta Pemerintah untuk membubarkan Jemaah Ahmadiah Indonesia.

For sure, saya tidak menutup mata bahwa aliran sesat di kalangan ummatt Islam di Indonesia yang memang ada perlu dilarang oleh Pemerintah seperti sebuah ‘pesantren’ di Jatim yang membolehkan hubungan seks bebas antara sang kiyai dengan para santri perempuannya. Tetapi Ahmadiah?

Seperti dilaporkan Majalah TEMPO pekan ini, jumlah pengikut Ahmadiah di seluruh dunia waktu ini sekitar 200 juta, tersebar di 178 negara, padahal 1965 jumlah mereka baru 10 juta. Adapun di Indonesia saat ini jumlah mereka diperkirakan 500 ribu tersebar di 300 cabang. Padahal tahun 1970-an diperkirakan sekitar 20 ribu. Dari sumber lain saya ketahui bahwa jumlah mereka di Asia hanya 20 juta. Sisanya yang 180 juta tersebar di Autralia, Afrika, Eropah dan Amerika sebagai hasil dakwah para mubaligh mereka yang terlatih dan berdedikasi tinggi, organisasi yang rapi serta didukung oleh jemaah yang gemar berjihad dengan harta mereka untuk keyakinan mereka.

Azhari benar ketika mengatakan bahwa jumlah mereka yang jutaan bukan jaminan bahwa sikap keberagamaam Ahmadiah benar. Tetapi pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah penilaian kita kepada mereka sudah sepenuhnya benar, sehingga secara tidak sadar kata sudah berbuat zalim.

Saya menggunakan istilah zalim di sini, karena sepanjang yang saya ketahui, pencemongan terhadap Mirza Gulam Ahmad (MGA)---antara lain dinisbatkan sebagai seorang sebagai seorang ‘pecundang’ “penjilat Inggris” yang suka bekerja sama dengan orang-orang Kristen, dan Jemaah Ahmadiah---antara lain dikatakan punya kitab suci sendiri Tadzkirah dan kalau berhaji tidak ke Mekah tetapi ke Qadian---sudah sangat keterlaluan, persis seperti yang dilakukan kaum pembenci Islam kepada ajaran Islam terhadap dan Junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tidak usah jauh-kauh membaca buku atau artikel-artikel orientalis-orientalis busuk atau manusia-manusia murtad yang hina seperti Ibn Warraq. Masuk saja ke milis Proletar atau milis MinangNet.

Sikap seperti itu jelas tersebut sangat jauh dari sikap akhlaqul karimah, dan sangat jauh dari pesan Al-Quran, yang melarang kebencian kepada suatu kaum menyebabkan kita tidak berlaku adil kepada mereka dan bahwa keadilan tersebut sangat dekat dengan takwa.

Dan parahnya MUI pun tampaknya juga kurang melakukan klarifikasi terhadap fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiah merupakan aliran sesat setelah mempelajari berdasarkan 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah yang judulnya tidak disebutkan itu bisa menjadi boomerang, terutama apabila MUI tidak dapat mejelasakannya buku yang sembilan itu seperti yang diminta Pimpinan Jemaah Ahmadiah Indonesia.

Idem ditto bahwa MUI nampaknya juga menelan begitu saja anggapan bahwa Kitab Tadzkirah sebagai “Kitab Suci” Jemaah Ahmadiah (lihat penjelasan saudara MA Suryawan pada posting berikut ini)

Kembali kepada komentar Azhari, saya setuju bahwa sebuah kebenaran hendakya diukur dari acuan kita umat Islam yakni Al-Quran dan sunnah. Persoalannya selalu, apa yang dimaksud dengan kebenaran dan kebenaran menurut siapa? Kalau kebenaran menurut Allah SWT, perlu selalu ada kerendahan hati untuk menyadari bahwa kita ini bukan Allah SWT, dan apa yang kita anggap benar belum tentu benar menurut Allah SWT. Dengan landasan ini kita seharusnya lebih banyak mengingat Allah serta memperkuat keimanan kita dan orang-orang terdekat kita, seperti yang lebih dari sekali diingat oleh Angku Adrisman dari pada mengurusi keimanan orang lain, yang pada hakekatnya hanya Allah SWT sendiri yang mengatahuinya.

Mengapa kita tidak berbaik sangka saja untuk menrima pernyataan Pimpinan Jemaah Ahmadiah Indonesia bahwa Ahmadiah tidak berbeda dengan kelompok Islam lainnya memiliki keyakinan serupa: sama-sama mengucapkan dua kalimat syahadat, kecuali kita benar-benar mempunyai bukti yang sahih bahwa ucapan tersebut dusta dan apa yang mereka lakukan di Markas mereka di Parung tersebut bener-benar meresahkan masyarakat di sekitar nya. Padahal sejauh investgasi yang dilakukan sejumlah media masa ternyata hal itu tidak benar.

Nabi SAW sendiri telah memberikan contoh yang seyogyanya kita teladani dengan baik. Sebagaimana yang diungkapkan dalam biografi Nabi SAW yang ditulis oleh Martin Lings (beliau ini seorang Muslim), ketika Nabi SAW mengutus Usamah bin Zaid sebagai komandan sebuah pasukan ke daerah suku Juhaina, Usamah dan seorang Anshar menjumpai seseorang dari mereka dan menyergapnya. Ketika akan dibunuh, orang tersebut berkata: "Laa ilaha illalah". Namun tetap saja dibunuhnya orang itu. Tatkala berita mengenai kejadian itu sampai kepada Nabi SAW, beliau bertanya kepada Usamah mengapa ia berbuat demikian, Usamah berkata: "Ya Rasulullah, ia mengucapkan "Laa ilaha illalah" karena untuk memastikan dirinya agar selamat." Rasulullah SAW bersabda: "Mengapakah engkau tidak membelah hatinya dan membukanya untuk memastikan apakah ia berkata itu karena datang dari lubuk hatinya yang terdalam atau tidak?"

Wallahuaalam bissawab

Wassalam, Bandaro Kayo

--- In [EMAIL PROTECTED], "Azhari" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Sebuah kebenaran tidak diukur dari jutaan jamaah Ahmadiyah didunia, bukan diukur megahnya mesjid Ahmadiyah di kota London, tetapi sebuah kebenaran diukur dari acuan kita umat Islam yakni Al-Quran dan sunnah.


Ini sebetulnya bukan persoalan sederhana, ini persoalan yang sangat penting 
yakni aqidah. Ketika seseorang masuk Islam mudah syaratnya yakni membaca 
syahadat tetapi berat konsekuensinya yakni menjalankan syari'at Islam. Syahadat 
diucapkan dengan meyakini bahwa Tuhannya Allah swt dan nabinya Muhammad saw, 
tetapi ketika ada gerakan seperti Ahmadiyah yang
menyakini Nabi lain selain Muhammad saw maka ia tidak bisa lagi digolongkan 
sebagai Islam, meskipun ia masih meyakini Muhammad saw sebagai Nabi ke 25.

....................................................................................................................

Salam,
azh

-----Original Message-----
From: Darwin Bahar [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, July 11, 2005 11:32 PM
To: palanta@minang.rantaunet.org; [EMAIL PROTECTED]
Subject: [surau] Tidak Setuju? OK, Tetapi Kenapa Harus Menyerang dan
Merusak?

...................................................................................................................................................


Dengan demikian bagi kelompok pertama yang tetap berpendapat bahwa Jemaah Ahmadiah menyimpang tentunya sah-sah saja. Apalagi pendapat ini didukung jumhur ulama termasuk MUI, walaupun boleh ikut bangga bahwa ada orang Islam yang memperoleh hadiah Nobel untuk fisika, yaitu Prof Abusalam yang notabene seorang muslim Ahmadiah. Kalau mau disanggah, seyogyanya sanggah saja penfasirannya.

Persoalannya, mengapa harus melakukan serangan fisik, merusak dan berusaha membubarkan acara yang telah mendapat izin aparat keamanan? Tindakan premanisme dan main hakim sendiri ini tidak saja harus dikutuk, tetapi harus ditindak tegas dan tuntas oleh aparat penegak hukum, dan para pelaku, utamanya mereka-mereka yang bertanggung jawab harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sekali ini dibiarkan, maka jangan terkejut nanti akan ada korban-korban tindakan anarkis berikutnya dengan dalih yang mereka ditetapkan sendiri.


Dan ini hendaknya menjadi perhatian sungguh-sungguh dari seluruh umat Islam 
utamanya para ulama dan tokoh-tokoh umat, terutama Bapak-Bapak di MUI agar 
lebih mengemukakan kebersamaan serta bersikap tegas terhadap tindakan-tindakan 
premanisme atas nama Islam yang justru mencemongi Islam.
...................................................................................................................................................


Akhirnya saya berharap pendapat saya di atas tidak dijadikan polemik ---dan kalau ada nilainya---menjadi refleksi kita bersama.

Ya, apalah awak ini.

Wassalam, Darwin




Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke