Sejarah Sawahlunto

Sawahlunto  adalah  salah satu diantara sejumlah kota yang terletak di
kawasan  Bukit  Barisan  di  Sumatera  Barat, tetapi mempunyai riwayat
kehadiran yang berbeda dengan kota lain tersebut.

Kota seperti Bukit Tinggi, Batusangkar, Payakumbuh, Padang Panjang dan
Solok   terbentuk   oleh   perkembangan  komunitas  Minang,  sedangkan
Sawahlunto  oleh  usaha  tambang pada zaman pemerintahan Belanda tahun
1887,  Sawahlunto  mulai  menjadi  mukiman pekerja tambang ketika uang
sebesar  5,5  juta  golden  ditanamkan  oleh pemerintah Hindia Belanda
untuk   membangun  berbagai  fasilitas  pengusahaan  tambang  batubara
Ombilin,  Mukiman ini terus berkembang mejadi sebuah kota kecil dengan
penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.

Belanda  juga  membangun sistem kereta api dengan biaya 17 juta gulden
sebagai  alat  angkut  untuk  dapat  membawa batu bara dari sawahlunto
keluar  melalui  Padang.  Kereta api telah beroperasi sejak tahun 1887
tetapi baru sampai di Muara kalaban dan mencapai Sawahlunto pada 1894.
adanya  angkutan kereta api inilah yang membuat usaha pertambangan itu
kembali  memberikan  hasil  yang  positif  dari hanya puluhan ribu ton
menjadi  ratusan  ribu  ton  pertahun,  dari  usaha  yang rugi menjadi
menjadi  usaha  dengan laba besar sampai 4,6 juta gulden dalam setahun
pada   tahun   1920.  sampai  tahun  1898,  usaha  tambang  ini  masih
mengandalkan  pekerja  paksa  yaitu  narapaidana  yang dipaksa bekerja
untuk  tambang  dan  dibayar dengan harga murah. Tahun 1908 upah buruh
paksa  18  sen/  hari  dan  dapat  dikenakan sangsi hukum cambuk kalau
membangkang,   upah  buruh  kontrak  32  sen/hari  dengan  mendapatkan
fasilitas  tempat tinggal dan jaminan kesehatan. Sedangkan buruh bebas
upahnya  62  sen/  hari tanpa fasilitas (Zubir,1995). Dengan demiklian
dapatlah   dibayangakan   bahwa  pada  awal  abad  ke  20,  Sawahlunto
sesungguhnya merupakan kamp tahanan bagi pekerja paksa tersebut.

Ketika  pada  tahun 1918 Sawahlunto dikategorikan sebagai Gemeentelijk
Ressort  atau  Gemeente dengan luas wilayah 778 ha, hal ini karena ada
kaitannya  dengan  puncak keberhasilan kegiatan pertambangan tersebut.
Pada  tahun  1930  wilayah ini berpenduduk 43576 jiwa, diantaranya 564
jiwa  adalah orang belanda (Eropa). Walaupun demikian Sawahlunto belum
sempat  menjadi  Stadsgemeente, yang penyelenggaraan kotanya dilakukan
oleh stadsgemeenteraad (DPRD) dan Burgemeester (Walikota).

Sejak  tahun  1940  sampai  dengan akhir tahun 70-an produksi batubara
ombilin  merosot,  kembali hanya puluhan ribu ton pertahun. Sawahlunto
pun  mengalami  kemerosotan  yang diindikasikan dari merosotnya jumlah
penduduk  menjadi  hanya  13.561  jiwa  pada sensus tahun 1980. Dengan
menambah   beberapa   fasilitas,  perubahan  manajemen  dan  penerapan
teknologi  baru,  usaha penambangan meningkat kembali sejak awal tahun
80-an,  bahkan produknya terus meningkat melampaui 1 juta ton pertahun
pada  akhir  tahun  90-an.  Penduduk Sawahlunto juga meningkat menjadi
15.279  menurut  sensus tahun 1990, walaupun demikian laju pertumbuhan
penduduk  yang  hanya  1,2%  pertahun ini masih dibawah rata-rata laju
pertumbuhan  penduduk  Sumatera  Barat  yang  mencapai 1,62% dan tidak
tampak mempunyai korelasi dengan peningkatan produksi batubara.

Kemudian  pada  tanggal  10  Maret 1949 diadakan rapat dengan hasilnya
Daerah.  Kemudian  pada  tanggal  10  Maret 1949 diadakan rapat dengan
hasilnya  Daerah  Afdeeling  Solok  tersebut  di  bagi  atas Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung  dan  Kabupaten  Solok,  maka  Pemerintahan  Stad
Gemeente Sawahlunto di rangkap oleh Bupati Sawahlunto/Sijunjung. Dalam
kurun  waktu 1949 - 1965 terjadi perubahan status dari berdiri sendiri
atau  di  bawah  Pemerintah  Sawahlunto/Sijunjung.  Selanjutnya dengan
Undang-undang  Nomor  18  tahun  1965 statusnya berubah menjadi Daerah
Tingkat  II  dengan sebutan Kotamadya Sawahlunto berkepala Perintahnya
sendiri  di  bawah Walikota AKHMAD NOERDIN, SH terhitung mulai tanggal
11  Juni 1965 yang dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal
8  Maret  1965  Nomor  1965  Nomor  Up.  15/2/13-227 di tunjuk sebagai
Pejabat Walikota Kepala Daerah Sawahlunto.

Kemudian  Walikota yang memimpin Kota Sawahlunto sejak pertama Berdiri
sampai sekarang sebagai berikut :

ACHMAD NURDIN, SH  ( Masa Jabatan Walikota 1965 s/d 1971 )
Drs. SHAIMOERY, SH  ( Masa Jabatan Walikota 1971 s/d 1983 )
Drs. NURAFLIS SALAM  ( Masa Jabatan Walikota 1983 s/d 1988 )
Drs. H. RAHMATSJAH  ( Masa Jabatan Walikota 1988 s/d 1993 )
Drs.  H. SUBARI SUKARDI ( Masa Jabatan Walikota 1993 s/d 1988 dan Masa
Jabatan Walikota 1988 s/d 2003 )
Ir.  H. AMRAN NUR ( Masa Jabatan Walikota 2003 S/D 2008 ) dan
H. FAUZI HASAN ( Masa Jabatan Wakil Walikota 2003 S/D 2008 )

Tahun  1990 wilayah admnistrasi Sawahlunto diperluas dari hanya 779 ha
menjadi   27.344   ha  yang  membawa  konsekuensi  jumlah  penduduknya
meningkat.  Berdasarkan  hasil  survey  penduduk  antar  sensus  1995,
penduduk  Sawahlunto menjadi 55.090 jiwa. Walaupun demikian Sawahlunto
tidak  dengan  sendirinya  menjadi kota yang lebih besar. Seperti yang
terjadi  pada  kota  yang  umumnya  dimekarkan.  Oleh  bentang alamnya
pemekaran  Sawahlunto  menjadikan  semacam federasi bebrapa kota kecil
dan   mukiman  pedesaan.  Pertumbuhan  penduduknya  ternyata  bersifat
sementara  karena  berdasarkan  sensus tahun 2000, penduduk Sawahlunto
menunjukan  gejala  menurun.  Pada sensus tahun 2000 tersebut tercatat
jumlah  penduduk  50.668 jiwa, artinya selama lima tahun telah terjadi
penurunan   8%.  Diantaranya  disebabkan  karena  sebagaian  perumahan
pegawai Unit Pertambangan Ombilin (UPO) dipindahkan keluar daerah kota
Sawahlunto.  Dari  segi  ini tampak bahwa pertambangan batubara Ombiin
dan kota Sawahlunto memang jelas ada kaitannya.

Selama  seratus tahun batubara yang telah dieksploitasi telah mencapai
sekitar  30  juta  ton, dan masih tersisa cadangan lebih dari 100 juta
ton.  Walaupun  demikian  masa  depan penambangan batubara Ombilin ini
belum  jelas,  karena cadangan yang masih ada hanya bisa dieksploitasi
sebagai  tambang  dalam. Dapat tidaknya eksploitsi tersebut tergantung
pada  harga  serta permintaan pasar batubara dan penguasaan teknologi,
selain  itu  penyelenggaraan  pertambangan  batu  bara ini juga sedang
mengalamai  re-orientsi  oleh  berkembangnya  semangat desentralisasi.
Apapun   yang  terjadi  dengan  penambangan  batu  bara  Ombilin  ini,
pemerintah  dan  masyarakat  Sawahlunto bertekad menjadikan Sawahlunto
sebagai  kota  wisata berbasis pertambangan. Ini merupakan tata kaitan
antara pertambangan Ombilin dan kota Sawahlunto baru, yang masih harus
dikembangkan.

 source
 http://www.sawahlunto.go.id/1_2_sejarah.htm


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke