http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/11/tgl/21/time/9638/idnews/482586/idkanal/399

Laporan dari WSIS-Tunisia
Laptop Murah, Bukan Sembarangan
Onno W. Purbo - detikInet

Negroponte dan tim
Tunisia, WSIS

Pengantar redaksi:
Onno W. Purbo Ph.D, pakar teknologi informasi (TI) Indonesia, mendapat 
undangan menjadi salah satu pembicara pada ajang internasional World 
Summit of the Information Society (WSIS) di Tunisia, 16 hingga 18 November 
2005.

Onno, meskipun membuat harum nama Indonesia ke tingkat dunia, 
keberangkatannya ternyata tak disponsori oleh pemerintah Indonesia. Kiprah 
Onno di WSIS merupakan sebuah bentuk pengakuan dari International 
Development Research Center (IDRC), sebuah lembaga non-pemerintah asal 
Kanada, atas kiprah Onno selama ini. IDRC-lah yang kemudian menanggung 
seluruh biaya perjalanan Onno ke WSIS - Tunisia.

Melalui detikinet, Onno menceritakan kisah perjalanannya di WSIS. Tulisan 
berikut ini adalah laporannya, langsung dari Tunisia.


One Laptop Per Child

Onno W. Purbo

Tengah hari tanggal 18 November 2005 Nicolas Negroponte pemimpin dari MIT 
Media Lab Amerika Serikat, duduk bersama beberapa rekannya dari MIT Media 
Lab, di sebuah sesi yang diorganisir oleh Club of Rome di WSIS 2005. Saya 
berkesempatan hadir di situ dan mendengarkan penjelasan Nicholas 
Negroponte tentang One Laptop Per Child.

Ruangan penuh sekali, saya sendiri mendapat berkah karena harus berdiri 
sambil menyandarkan diri ke tembok karena penuhnya ruangan. 
Alhamdullillah, justru karena berdiri saya dapat mengambil gambar dengan 
baik.

Nicholas Negroponte duduk di tengah. Di sebelah kanan Nicholas berbaju 
kaos putih adalah Alan Key pencipta laptop pertama kali di dunia di tahun 
1969. Paling kanan berbaju hitam, saya tidak berhasil nangkap namanya, 
adalah arsitek jaringan computer dari MIT Media Lab. Sedang paling kiri 
dari Nicholas, satu-satunya wanita, adalah arsitek dari teknologi layer 
monitor laptop tersebut, yang merupakan kunci utama keberhasilan laptop 
US$100.

Nicholas dan rekan-rekannya mengembangkan One Laptop Per Child untuk 
digunakan oleh dunia pendidikan di dunia. Mereka menargetkan biaya sebesar 
US$100 per laptop tersebut.

Terus terang, saya di awal agak skeptis dengan apa yang akan saya dengar 
karena kita juga dapat dengan mudah memperoleh komputer bekas seharga Rp. 
1 juta di Indonesia. Ternyata terbukti bahwa kekhawatiran saya salah.

Dari Maine ke Kamboja

Mengapa laptop untuk setiap anak? Nicholas menceritakan banyak hal 
mengenai mengapa setiap anak perlu diberikan komputer. Salah satu cerita 
yang terus terang sangat menarik bagi saya adalah kejadian di negara 
bagian Maine di Amerika Serikat yang merupakan negara bagian kecil dan 
termasuk miskin di Amerika Serikat.

Di Negara bagian Maine, tiga tahun yang lalu gubernur menandatangani 
sebuah undang-undang yang mewajibkan semua anak di Maine harus memiliki 
laptop. Banyak sekali tentangan terhadap undang-undang tersebut terutama 
dari guru dan orang tua. Bahkan 80 persen dari guru di Maine tiga tahun 
yang lalu menentang keras adanya kewajiban setiap anak menggunakan 
komputer.

Laptop yang digunakan pada saat itu adalah Mac iBook yang harganya sekitar 
US$400 per buah. Karena kebetulan Mac yang berhasil memenangkan tender di 
negara bagian Maine.

Perbedaan yang jelas terjadi dengan adanya laptop di tangan anak-anak muda 
ini, ternyata menjadikan anak-anak yang tadinya malas sekolah sekarang 
menjadi antusias untuk masuk ke sekolah. Berbagai masalah kenakalan anak 
ternyata juga bisa ditekan.

Anak-anak jadi lebih mudah diatur. Pada saat kita melepas anak-anak untuk 
pergi ke sekolah, kita akan yakin bahwa mereka benar-benar akan berangkat 
ke sekolah.

Tiga tahun kemudian, hari ini, tidak ada satu guru pun di Maine yang 
menentang undang-undang yang mengharuskan setiap anak untuk memiliki 
sebuah laptop.

Tentunya selain di Amerika Serikat, Nicholas dan rekan-rekannya juga 
mencobanya di negara berkembang. Kebetulan salah seorang pimpinan di MIT 
Media Lab punya hubungan khusus dengan Pangeran Sihanouk di Kamboja. Maka 
negara berkembang yang menjadi tujuan Nicholas adalah Kamboja.

Dipilih sebuah sekolah di daerah yang tidak ada listrik, tidak ada 
telepon, tidak ada televisi untuk implementasi atau uji coba One Laptop 
per Child ini. Hasilnya tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika 
Serikat.

Cerita lucu atau anekdot yang sempat dilontarkan adalah laptop tersebut 
dibawa ke rumah oleh para siswa sekolah dan digunakan di rumah sebagai 
lampu karena cahaya dari layar laptop merupakan cahaya paling terang di 
rumah mereka. Tapi di luar itu para siswa ini ternyata kemudian 
mempengaruhi para orang tua dan orang dewasa di kampungnya.

Bukan Laptop Sembarangan

Dari sisi teknis, laptop US$100 ini terus terang bukan komputer 
sembarangan. Didukung oleh Red Hat, Google dan AMD. Laptop US$100 ini 
berbasis open source dengan wikipedia di dalamnya.

Teknologi paling gila dari laptop US$100 ini adalah teknologi layar 
LCD-nya yang mempunyai banyak penemuan baru. Laptop US$100 ini 
memungkinkan digunakan seperti laptop biasa, bisa diubah juga menjadi 
tablet PC, bisa diubah posisinya lagi menjadi eBook supaya kita dapat 
membaca dengan mudah.

Layar LCD-nya merupakan layar hitam putih supaya hemat batere. Tapi dengan 
lempengan seperti DVD di tebarkan di layarnya dapat menjadikan layar ini 
menjadi seperti layar monitor berwarna. Akhirnya kita dapat mencabut 
back-light dari LCD Laptop sehingga sangat menghemat batere.

Bagian yang menarik lain dari laptop US$100 ini adalah peralatan 
telekomunikasinya. Filosofi yang digunakan adalah laptop harus dapat 
menjadi node komunikasi di jaringan komputer tanpa perlu mengandalkan 
adanya base station, atau hub dan lain-lain.

Teknologi yang memungkinkan hal ini terjadi adalah teknologi WiFi 
khususnya teknologi WiFi Mesh. Melalui teknik ini sebuah laptop dapat 
langsung berfungsi sebagai relay dalam jaringan untuk laptop yang lain di 
kelasnya.

Memang laptop US$100 ini tidak menyediakan peralatan komunikasi modem dan 
Ethernet sama sekali. Pengalaman hidup kita hari ini, dan juga saya, modem 
dan Ethernet mulai jarang digunakan di laptop.

Laptop US$100 tidak dilengkapi dengan harddisk sama sekali. Saya pikir 
mereka menggunakan diskless dan LTSP (Linux Terminal Server Project). 
Ternyata, sistem operasi diletakan di flash disk. Sedang harddisk tempat 
menyimpan pekerjaan kita menggunakan teknologi USB drive yang biasa kita 
gunakan sekarang. Pandai sekali mereka.

Jadi Telepon

Laptop ini juga dilengkapi speaker dan microphone termasuk konektor untuk 
menyambungkan peralatan eksternalnya. Tentunya dengan cara ini kita dapat 
menggunakan laptop US$100 ini untuk chatting antar siswa.

Bayangkan bahwa laptop ini dibawa ke kampung-kampung yang tidak ada 
teleponnya, jangan kaget pada saat laptop ini dioperasikan tiba-tiba 
kampung-kampung ini mempunyai jaringan telepon sendiri dan para orang tua 
dapat berbicara satu sama lain tanpa perlu Telkom sama sekali. 
Berbahayakah? Entahlah.

Memang urusan berusaha menekan biaya dan harga bukan pekerjaan mudah. Pada 
saat Nicholas berbicara di WSIS 2005 sebetulnya laptop yang mereka 
kembangkan masih berharga US$110. Mereka masih harus berjuang lagi untuk 
menekan harga lagi.

Baterai dan penghematan energi adalah hal lain yang harus diperjuangkan. 
Dengan kondisi yang ada hari ini, baterai yang ada dapat digunakan untuk 
satu jam saja. Mereka masih harus berjuang keras untuk membuatnya lebih 
hemat lagi.

Mereka menargetkan untuk membuat 5-15 juta unit laptop US$100 ini di tahun 
2006. Mereka menargetkan untuk mengimplementasikan laptop US$100 ini di 
enam negara dan negara bagian Massachusets di Amerika Serikat. (wsh)


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke