Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu Ditaruihan stek. Nan kalimo.
 
Wassalaamu'alaikum,  Lembang Alam
 
 

Puncak Lawang 
 
Sesuai rencana, tepat jam sembilan pagi Pohan dan Aswin berangkat dari rumah di 
Koto Gadang. Cuaca mulai cerah. Kabut embun sudah tersapu dan matahari bersinar 
menghangatkan. Di hadapan terpampang dua sejoli Marapi dan Singgalang, utuh 
tanpa sedikitpun diselimuti awan. Pemandangan yang bukan main indahnya di mata 
Aswin. Kedua gunung kebanggaan Ranah Minang itu seolah-olah sepenjangkauan 
tangan jaraknya di depan mereka. 
 
’Pohan! Bisa kita berhenti sebentar? Aku ingin memotret kedua gunung yang indah 
ini,’  kata Aswin.
 
’Tentu. No problem. Kita berhenti di pinggir di depan itu,’ jawab Pohan sambil 
meminggirkan mobil.
 
’Masih seringkah gunung Marapi ini menunjukkan aktifitasnya?’ Aswin bertanya, 
sambil dia membidik kedua gunung itu dengan camera kecilnya. .
 
’Masih. Kadang-kadang mengeluarkan awan dan debu panas, kadang-kadang sampai 
terlihat mengeluarkan api,’ jawab Pohan.
 
’Kalau dia meletus tentu daerah di sekitar sini akan kena debu letusannya,’ 
Aswin menebak.
 
’Betul. Daerah Bukit Tinggi dan sekitarnya mengalami hujan abu kalau gunung itu 
meletus.’
 
’Sementara gunung Singgalang aman-aman saja bukan?’ 
 
’Ya, karena gunung Singgalang bukan gunung berapi. Atau dikatakan juga gunung 
berapi yang sudah mati.’
 
’Benar-benar indah kedua gunung ini. Apalagi disaat cuaca cerah seperti ini. OK 
mari kita teruskan perjalanan,’ kata Aswin.
 
Mobil mereka kembali melaju menuju Koto Tuo lalu berbelok ke kanan, memasuki 
jalan ke Matur. Melalui hamparan sawah dengan padi yang masih hijau di kanan 
dan kiri jalan. Sebahagian sawah itu ada yang masih belum ditanami. Terlihat 
orang membajak sawah dengan bantuan kerbau. Aswin memotretnya dari mobil yang 
sedang berjalan.
 
’Kamu mau kita berhenti lagi untuk memotret orang membajak itu?’ tanya Pohan.
 
’Tidak usah. Cukup sambil berjalan saja. Takutnya nanti waktu kita habis 
sebelum sampai di Lawang dan Maninjau,’ jawab Aswin.
 
Jalan itu tidak terlalu ramai dengan kendaraan. Kadang-kadang saja mereka 
berpapasan dengan angkutan umum dan sekali-sekali dengan kendaraan pribadi. 
Setelah beberapa kilometer jalan mulai mendaki dan berbelok-belok, melalui 
tebing terjal. Banyak pohon kulit manis tumbuh di tebing-tebing itu.  
 
’Apakah ini belokan empat puluh empat?’ tanya Aswin.
 
’Bukan. Masih jauh. Kelok empat puluh empat itu nanti mulai dari Embun Pagi di 
luar Matur saat mulai menurun ke arah Maninjau.’
 
’Begitu. Jadi jalan menurun di punggung bukit yang dibuat berbelok-belok. Apa 
kita langsung kesana sekarang?’
 
’Kita akan ke Puncak Lawang dulu. Nanti di Matur kita berbelok ke kanan ke arah 
Lawang. Sebaliknya, kalau mau ke Maninjau kita mengambil jalan terus.’
 
’Wah, ini country road. Dengan banyak pohon-pohon kayu di kiri kanan. Mungkin 
banyak binatang liar di dalam sana,’ celetuk Aswin.
 
‘Mungkin saja. Hutan semak-semak seperti ini seperti tempat orang berburu babi.’
 
‘Jadi orang berburu babi tidak masuk ke dalam hutan besar? Hanya di hutan di 
pinggir jalan seperti ini saja?’ 
 
’Kalau berburu tentu mereka masuk ke dalam hutan, bukan hanya dipinggir-pinggir 
hutan dekat jalan.’
 
Mobil mereka terus melaju menempuh belokan dan tanjakan sampai akhirnya 
memasuki kampung Matur. Mereka berbelok ke kanan menuju Lawang. Jalan ke Lawang 
agak lebih kecil tapi diaspal dengan baik. Makin mendekati puncak Lawang mereka 
melalui kebun tebu di kiri dan kanan jalan.
 
’Tanaman apa itu?’ tanya Aswin menunjuk kebun tebu.
 
’Tebu, bahan untuk membuat gula.’
 
’OK. Sugar cane. Gula Lawang?’
 
’Ya gula Lawang. Kok kamu tahu gula Lawang?’
 
’Karena ini kampung Lawang. Gulanya gula Lawang. Tapi aku jadi ingat nyanyian 
ayah. Lumpang sagu bergula Lawang. Diberi kelapa muda. Sedang ketuju dibawa 
orang. Kita jadi putus asa.’
 
’Wah nyanyian apa itu? Aku belum pernah mendengarnya. Lagu Minang?’ tanya Pohan.
 
’Ya, lagu Minang. Dan iramanya tidak irama sedih seperti lagu saluang. Aku 
heran kenapa lagu saluang yang kita dengar tadi malam tidak ada lagu Lumpang 
sagu bergula Lawang.’
 
’Lumpang sagu? Aku tidak mengerti apa maksudnya. Kalau iramanya tidak sedih aku 
kurang yakin itu lagu saluang. Lagu saluang biasanya hanya lagu-lagu 
melankolik. Mungkin itu lagu Minang moderen, bukan jenis lagu saluang. Kamu 
tahu iramanya seperti apa?’
 
’Seperti yang aku nyanyikan. Lumpang sagu, lumpang sagu, bergula lawang. 
Ditengah-tengah kelapa muda. Ya begitu. Nen nen nen nen nen nen nenenen.... 
Seperti itu,’ Aswin mencoba menyenandungkannya.
 
’Benar-benar aku belum pernah mendengar. Biar nanti kita tanyakan etek,’ ujar 
Pohan.
 
’Wah, itu apa yang dikerjakan orang dengan kerbau yang ditutup matanya itu? 
Kenapa kerbau itu berjalan berputar-putar disana? Bisa kita berhenti melihatnya 
sebentar?’ tanya Aswin.
 
’Baik, mari kita lihat. Itu mengilang tebu namanya. Memeras air tebu dengan 
alat giling yang diputar dengan bantuan kerbau. Mata kerbau itu ditutup supaya 
dia tidak pusing, karena untuk memutar alat penggiling tebu itu, kerbau 
berjalan berputar-putar dalam lingkaran kecil,’ jawab Pohan.
 
Seorang laki-laki sedang bekerja menggiling tebu dengan tekun. Batang-batang 
tebu yang sudah dipotong pendek dimasukkan kedalam dua roda penggiling yang 
memeras air tebu keluar. Air tebu itu ditampung dengan ember plastik ukuran 
sedang. Air tebu yang nanti akan dimasak untuk dijadikan gula serbuk yang 
dikenal sebagai gula Lawang.
 
Aswin minta izin memotret pemandangan yang baru sekali dilihatnya itu. Orang 
laki-laki itu mempersilahkannya. Mereka berbincang-bincang sebentar dengan 
bapak itu sebelum meneruskan perjalanan ke puncak Lawang.
 
Jam sepuluh mereka sampai di Puncak Lawang. Mobil mereka di parkir di pelataran 
parkir yang luas dan bersih. Beberapa buah bus parawisata dan mobil-mobil 
pribadi telah pula diparkir disini. Tentu saja disini juga banyak plang 
pengumuman berisi peringatan dan himbauan disamping ucapan selamat datang. 
Mereka berjalan menaiki tangga menuju ke hamparan Puncak Lawang. Hamparan atau 
tanah rata di bagian puncak bukit yang sudah ditata dengan cukup apik. Di 
bagian pinggir tebing ada pagar pengaman. Di bagian agak kebelakang, dekat 
tangga ada bangunan mushala terbuka cukup besar lengkap dengan tempat berwudhu 
dan kamar kecil. Ada beberapa kamar kecil disitu yang terpelihara 
kebersihannya. Semua bersih dan asri. Di pinggir tebing dekat pagar pengaman 
terdapat banyak teropong dengan kaki tertanam ke tanah yang dapat digunakan 
para pelancong secara cuma-cuma.  
 
Pagi ini Puncak Lawang cukup ramai dengan pengunjung. Banyak turis antara 
bangsa. Mereka menikmati pemandangan lepas ke danau Maninjau yang seolah-olah 
sepelemparan saja jaraknya. Kelihatannya setiap orang menikmati panorama ini. 
Tak terkecuali Aswin. Dia sampai melongo saking takjubnya melihat pemandangan 
ke bawah dimana danau Maninjau terlihat utuh dan sangat jelas. Sayup-sayup di 
seberang sana terlihat pula lautan, di belakang perbukitan. 
 
Agak ke sebelah utara ada pelataran yang rupanya tempat  orang memulai terbang 
layang.  Ada empat orang yang sedang bersiap-siap mau terbang. Satu persatu 
mereka berlari menuju pinggiran punggungan hamparan dengan alat terbang 
layangnya, meloncat, lalu mulai terbang.  Pastilah mereka sudah sangat ahli. 
Dan mereka akan mendarat nanti di bawah, di Maninjau. Keempat-empatnya sekarang 
sudah melayang-layang dan berputar-putar. Hebat sekali mereka itu.
 
Aswin sibuk memotret kesana kemari. 
 
’Cantik sekali. Benar-benar cantik sekali,’ kata Aswin.
 
’Kamu tidak ingin difoto dengan latar belakang danau Maninjau?’ tanya Pohan.
 
’Ya. Mari kita berfoto berdua. Biar kamera kecil ini aku letakkan di atas meja 
itu,’ ujar Aswin.
 
’Ada cara yang lebih bagus, yang dikerjakan banyak orang. Kita minta tolong ke 
polisi wisata itu memotretkan. Biar aku minta tolong padanya,’ kata Pohan.
 
Mereka berpose ditepi pagar, dipotret oleh polisi wisata berbaju teluk belanga, 
yang ramah itu.
 
’Sekarang bergantian. Tolong kamu fotokan aku dengan uda polisi ini. Maukan 
uda?’ tanya Aswin ke pak polisi itu. Tentu saja pak polisi yang baik itu tidak 
menolak.
 
Mereka menikmati pemandangan Puncak Lawang selama satu setengah jam. Jam 
setengah dua belas Pohan mengajak melanjutkan perjalanan ke Maninjau, sesuai 
rencana semula. Sebenarnya Aswin masih betah disana. Tapi dia juga sangat ingin 
melihat kelok empat puluh empat yang terkenal itu.
 
                                                            *****
 
 
_________________________________________________________________
Live Search: New search found
http://get.live.com/search/overview
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, Juni 2008.
-----------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email dengan attachment, tidak dianjurkan.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >500KB.
2. Email dikirim untuk banyak penerima.
--------------------------------------------------------------
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Membaca dan Posting email lewat web, bisa melalui mirror mailing list di:
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan mendaftarkan juga email anda disini dan kedua mirror diatas.
============================================================

Kirim email ke