Website: http://www.rantaunet.org
==========================================


Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu Tingga saari bisuak jo bisuak 
ciek lai si Aswin di Ranah Bako. Bisuak ka maraun di Kiktenggi jo sakitarno. 
Bisuak ciek lai ka barangkek baliak ka rantauno. 
 
Wassalamu'alaikum,
 
Lembang Alam
___________ Cerita ini hanyalah khayalan semata. Nama-nama orang yang 
disebutkan di dalam cerita ini bukan mewakili sipapun. Kesamaan nama bukanlah 
dimaksudkan untuk menyalahgunakan nama pribadi siapapun. Keadaan di 
tempat-tempat wisata yang diceritakan adalah angan-angan dan harapan. 
Mudah-mudahan ke pariwisataan di Sumatera Barat di suatu hari nanti menyerupai 
yang diceritakan disini. Penulis.
 
 
25. Sepanjang Danau Singkarak
 
Sudah menjelang senja waktu mereka meninggalkan rumah makan merangkap kedai 
kopi di pinggir danau Singkarak. Sudah hampir jam enam sore. Tapi masih terang 
benderang. Perjalanan mereka lanjutkan menyusuri danau Singkarak. Di sebelah 
kanan jalan, rel keretapi kadang-kadang terletak lebih tinggi dari jalan raya. 
Dengan pokok pohon kapas berbaris-baris di sisinya. Dan jalan ini masih setia 
menemani pinggiran danau. Air danau yang tidak sampai satu meter di bawah 
jalan, dibatasi tebing yang kadang-kadang ditanggul dengan beton. Karena riak 
danau yang tenang ini, adakalanya mampu pula menghempas menimbulkan penggerusan 
ke pinggir danau, menyebabkan longsor, sehingga mengancam jalan raya. 
 
Aswin bisa melihat lepas ke arah danau, yang beriak kecil. Yang ada beberapa 
perahu layar sedang melaju pelan di dalamnya. Perahu layar dengan warna layar 
mencolok sedang berlayar beriring-iring. Perahu para pelancong yang berlayar 
menurutkan hembusan angin senja.  Berlayar dari arah selatan ke utara. Di latar 
belakang terlihat air danau membiru kemerahan berkilau ditimpa sinar matahari 
senja, beriak berkejaran menuju pantai. Sungguh pemandangan yang seronok dan 
indah. Dan karena jalan yang berbelok, pemandangan ke arah danau itu seperti 
timbul tenggelam dari pandangan. Kadang nampak, kadang terlindung oleh bangunan 
rumah atau kedai di pinggir danau.
 
Sore semakin menjelang malam. Matahari sudah tenggelam ke balik bukit di 
seberang danau di sebelah barat. Namun cahayanya masih leluasa menguasai tepi 
siang. Dan mobil melaju terus di sepanjang tepi danau ke arah utara. Menemani 
dua bus  pariwisata di hadapan yang sedang menuju ke arah yang sama. 
Lamat-lamat terdengar suara orang mengaji dari mesjid di pinggir danau. Mungkin 
kaset orang mengaji lebih tepatnya. Tanda hari sudah menjelang maghrib. Di 
langit di atas danau terlihat kawanan kelelawar terbang. Mau pergi dinas malam. 
Entah dimana pula mereka akan panen malam ini. Memanen buah-buahan di kebun 
penduduk.   
 
Malampun menjelang. Azan maghrib terdengar samar-samar dari mesjid yang entah 
di mana keberadaannya kali ini karena tidak terlihat di tepi jalan ini. Membuat 
suasana sangat syahdu, di jalan di pinggir  danau yang indah ini. Suara azan 
yang menyerukan nama Allah. Allah Yang Maha Besar. Yang menguasai seantero 
jagad. Yang menciptakan keindahan dan keelokan ini. Kemudian jalan ini terlihat 
sunyi karena mereka sedang berada di pesawangan. Di jalan yang tidak ada 
kampung. Yang ada hanyalah tepi danau di sebelah kiri. Dan tebing bukit di 
sebelah jalan keretapi di sebelah kanan.  Tidak ada yang lain. Mobil mereka 
terus juga melaju. Dan redup malam semakin kentara. Ketika di sebuah belokan 
mobil ini mengarah ke tengah danau, kelihatan langit merah bermega-mega seperti 
yang mereka lihat beberapa hari yang lalu di atas danau. 
 
’Di mana kita shalat maghrib?’ tanya Aswin.
 
’Di mesjid Ombilin, di tempat kita shalat waktu itu,’ jawab Pohan.
 
’Masih jauh?’ tanya Aswin lagi.
 
’Kira-kira sepuluh menit perjalanan lagi,’ jawab Pohan pula.
 
Benar saja. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di mesjid Ombilin. Di 
kampung yang agak ramai karena di sini banyak terdapat rumah makan dan 
kedai-kedai yang masih tetap buka sampai saat sesudah maghrib seperti sekarang. 
Pohan memarkir mobil di pinggir jalan. Mereka menuju mesjid yang terletak di 
tempat agak ketinggian yang ada tangga batu untuk mencapainya. Orang sudah 
selesai shalat maghrib. Aswin dan Pohan shalat berdua saja. Menjamak shalat 
maghrib dan isya. 
 
Seorang tua menghampiri mereka ketika mereka sedang memakai sepatu di luar 
mesjid sesudah selesai shalat, dan menyapa ramah.
 
’Anak berdua ini yang shalat di sini hari Sabtu senja beberapa hari yang lalu 
ya?’ tanyanya ramah.
 
’Benar pak,’ jawab Pohan pendek.
 
’Dari meraun-raun tampaknya. Dimana tinggal?’
 
’Benar, kami dari berkeliling-keliling. Sekarang mau pulang ke Koto Gadang,’ 
jawab Pohan lagi.
 
’Tadi dari mana rupanya?’
 
’Dari danau kembar, pak.’
 
’Ooh. Singgahlah dulu. Rumah ambo di sebelah ini,’ kata orang tua itu pula.
 
’Terima kasih pak. Biarlah kami terus dahulu. Sudah malam,’ jawab Pohan berbasa 
basi.
 
Mereka turuni tangga ke bawah, menuju ke tempat parkir. Dan mereka lanjutkan 
perjalanan. Masih di jalan di pinggir danau yang mulai sedikit mendaki dan 
berbelok-belok. Makin lama makin meninggalkan pinggir danau dan terus juga 
mendaki. Menuju ke Padang Panjang.
 
’Kenapa orang tua tadi bertanya? Kamu mengenalnya?’ tanya Pohan.
 
’Itukan pertanyaan basa basi saja. Dia rupanya ingat telah melihat kita pada 
hari Sabtu yang lalu waktu kita shalat disana,’ jawab Pohan.
 
’OK. Aku pikir dia mengenal kamu, sampai mengajak mampir.’
 
’Ya, begitulah basa basi. Orang Minang sangat terkenal pandai berbasa basi. Di 
kedai nasi, meskipun dia menghadapi sepiring nasi, orang satu kedai ditawarinya 
makan bersama. Itulah basa basi.’
 
’Bagaimana kalau kita tiba-tiba mau ikut mampir ketika diajaknya seperti tadi? 
Apakah kita sopan namanya?’
 
’Boleh saja. Kalau memang merasa berkepentingan untuk mampir. Atau mungkin 
untuk menghormatinya lalu kita bersedia mampir. Tapi dalam prakteknya, orang 
tahu mana ajakan basa basi, mana ajakan sungguh-sungguh,’ jawab Pohan.
 
’OK. Aku mengerti.’
 
Semakin dekat mereka ke Padang Panjang. Sebenarnya sudah waktunya makan. Pohan 
mengingatkan Aswin.
 
’Tidak kepingin makan sate mak Syukur lagi?’ tanya Pohan.
 
’He..he..he.. Good idea. Tapi setelah itu kita langsung pulang saja. Kita sudah 
cukup capek hari ini. Bagaimana kalau kita bawakan sate untuk etek dan nenek 
juga? Menurutmu apakah mereka sudah makan malam?’
 
’Biar aku tanya,’ jawab Pohan, sambil mengeluarkan hand phone, mau menelpon ke 
rumah.
 
’Sebaiknya kamu berhenti dulu kalau mau menelpon. Jangan menggunakan mobile 
phone sambil menyetir,’ kata Aswin.
 
Pohan menurut. Di kepinggirkannya mobil. Berhenti sebentar, dan dia telpon etek 
di rumah.  Dan etek bertanya, jam berapa mereka akan sampai di rumah. Kalau 
terlalu malam, tidak usah repot membawakan sate mak Syukur. Waktu diberitahu 
mereka akan segera pulang etek setuju dan katanya akan menunggu kedatangan 
mereka.
 
’Kalau begitu kita bawa pulang saja dan kita makan bersama-sama di rumah. 
Bagaimana pendapatmu?’ tanya Aswin.
 
’Itu lebih baik,’ jawab Pohan.
 
Mereka singgah di kedai sate mak Syukur. Yang tetap ramai. Dan bau wangi sate 
yang dibakar menitikkan selera. Mereka minta dibungkuskan empat bungkus sate. 
Plus satu bungkus sate extra tanpa ketupat. Untuk dibawa pulang. Aswin 
mengamati sate yang dibungkus dengan daun pisang. Disiapkan oleh tukang sate 
mak Syukur yang sangat cekatan. Tidak lama mereka menunggu, sate-sate itu sudah 
siap. Dan mereka segera meneruskan lagi perjalanan pulang.
 
Jam delapan lebih waktu mereka sampai di rumah. Ditunggu etek dan nenek yang 
memang masih belum tidur. Mereka segera menikmati sate mak Syukur yang ternyata 
masih panas. Sambil berbincang-bincang tentang pemandangan yang mereka  nikmati 
dua hari terakhir. 
 
’Tadi siang di mana kalian makan?’ tanya etek.
 
’Di restoran di pinggir jalan ke Solok,’ jawab Aswin.
 
’Sari Manggis?’ etek menebak.
 
’Ya, Sari Manggis. Rupanya sangat populer restoran itu. Dan memang enak makan 
di sana,’ jawab Aswin.
 
’Siang tadi kami kelaparan. Sesudah kecapekan berenang di Teluk Bungus. Dan 
karena sarapan tidak makan ketupat sayur, tapi makan roti bakar he..he..he..’ 
kata Pohan.
 
’Kamu yang kelaparan atau kalian keduanya?’ tanya etek pula.
 
’Kami berdua. Perut Amerika dan perut Minang sama-sama kelaparan sesudah 
kecapekan berenang,’ jawab Pohan.
 
’Di maa kalian sambayang bagai?’ tanya nenek.
 
’Di mushala di danau Di Atas siang tadi, dan di mesjid di Ombilin waktu 
maghrib,’ jawab Aswin yang mengerti pertanyaan-pertanyaan singkat nenek.
 
’Syukurlah. Jaan ditingga-tinggaan sambayang,’ kata nenek pula.
 
Aswin agak berfikir mendengar kalimat nenek yang terakhir ini. Nenek rupanya 
menyadarinya.
 
’I said, don’t you ever forget to perform your daily prayers,’ nenek 
menambahkan.
 
‘Ya, nek,’ jawab Aswin tersenyum.
 
Mereka lanjutkan obrolan mereka sampai sekitar jam sepuluh. Sebelum pergi tidur.
 
 
                                                   *****
 
_________________________________________________________________
Call friends with PC-to-PC calling -- FREE
http://get.live.com/messenger/overview
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, Juni 2008.
============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email dengan attachment tidak dianjurkan, sebaiknya melalui jalur pribadi.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >300KB.
2. Email dikirim untuk banyak penerima.
--------------------------------------------------------------
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-config
* Membaca dan Posting email lewat web, bisa melalui mirror mailing list di:
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan mendaftarkan juga email anda disini dan kedua mirror diatas.
============================================================

Kirim email ke