Saya turut berduka dengan kondisi Indonesia, setelah membaca berita di bawah
ini. Ini jelas-jelas bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat
Indonesia masih buta akan politik, mereka belum bisa membaca apa yang terjadi
sebenarnya. Saa menyadari rakyat kita masih banyak yang berpendidikan rendah
sehingga belum mampu berpikir panjang kecuali lebih banyak terpengaruh oleh
nama besar seseorang. 

Saya tidak berani menyalahkan rakyat kalau sampai kondisi tidak berubah atatu
memburuk dalam 5 tahun ini, tetapi Mega dan pengikutnya lah yang patut diseret
kepengadilan (kalau ada pengadilan politik he..he..) karena mereka memberikan
harapan yang palsu.

Saya kira kegigihan Mega untuk menjadi Presiden tidak berlandaskan
keinginginannya untuk kemakmuran banga atau untuk demokrasi, akan tetapi untuk
membalas dendam suharto atas perlakuan yang diterima oleh bapaknya Sukarno.
Kebetulan Suharto bertindak negatif terhadap bangsa Indonesia maka Mega
mendapat angin. 

Semoga rakyat segera terbuka matanya dan dapat melihat sosok apa yang
sebenarnya bersembunyi dibalik kesahajaan (menurut orang PDIP) saha maha besar
Mega. Saya tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya Mega jika Mega bukan
anak Sukarno, mungkinkah  dia dengan kemampuannya sekarang ini menjadi
pemimpin bangsa??? Mungkin saja bagi negara yang semua rakyatnya buta dan dia
sendiri yang melek..........hm........itu bisa jadi

oppppppssssss sorry mbak Mega, kritikku keterlaluan, habis anda juga
keterlaluan sih.

Kalau Mega jadi presiden gue kena cekal nggak ya????????


Salam hangat Yuni 

On Sat, 5 Jun 1999, A. Syamil wrote:

> Salam Permias,
>
> Saya sampaikan berita dari Surabaya Pos.
> Selamat menyimak.
>
> Jabat erat,
>
> Ahmad Syamil
> Toledo, OH
>
> *********************************************
>
> Melihat Indonesia di Tangan Mega
>
>
>      PERCAYA atau tidak, banyak orang mulai bertanya begini:
>      "Bagaimana ya nantinya Indonesia di tangan Mega?" Pertanyaan ini
>      tidak saja muncul dari luar kandang PDI Perjuangan (PDI-P), tapi
>      juga dari para pejuang banteng sendiri. Mengapa? Tentu saja
>      karena Mega adalah kandidat presiden yang paling diperhitungkan
>      saat ini, dibanding Wiranto, Amien Rais, atau Gus Dur sekalipun.
>      Satu lagi --ini yang mengkhawatirkan--, lantaran konflik internal
>      yang dahsyat sekaligus ultrapelik di tubuh banteng bermulut putih
>      itu disinyalir juga bakal berimbas pada keutuhan bangsa ini. Itu
>      sebabnya, nasib Indonesia dan PDI-P sendiri bakal juga ditentukan
>      performance pribadi serta politik Mega. Apa maksudnya? DALAM
>      sebuah percakapan di kafe hotel berbintang, seorang pengurus
>      teras PDI-P sempat berkeluh kesah kepada Surabaya Post. Kata
>      salah satu tokoh penting PDI-P ini, Mega sekarang sudah berubah,
>      tak seperti dulu lagi. Putri Bung Karno ini mengambil jarak
>      dengan banyak orang, bahkan yang dulu mendukungnya mati-matian
>      dengan risiko darah bahkan nyawa. "Saya dulu bebas masuk ke
>      ruangan Mbak Mega. Ya makan bersama, ngomong-ngomong enak. Jadi
>      enak saja kalau mau ketemu Mbak Mega. Tapi sekarang? Ibaratnya,
>      makan semeja saja sudah nggak bisa," ujarnya mengudar keluh.
>      Keluhan serupa juga datang dari seorang kader PDI-P Surabaya,
>      yang dua pekan lalu berangkat ke Jakarta hendak menjumpai
>      pemimpin besarnya. Tapi apa mau dikata, di sekitar Mega ternyata
>      berdiri pagar protokoler nan kukuh-ketat. "Begitu nyampai di
>      kantor, saya dicegat orang DPP. Saya tidak diizinkan bertemu Ibu
>      Mega. Katanya, pesan cukup disampaikan lewat dia...," ujarnya.
>      Walhasil, sang kader musti menelan kecewa. Dia harus balik ke
>      Surabaya tanpa sempat sedetik pun bertemu Mega. "Kok begitu ya?
>      Perasaan, Ibu Mega dulu ndak begitu?" katanya lagi dengan nada
>      tanya. Ada apa memangnya dengan Mega? Sebetulnya ini sudah
>      rahasia umum dan terbeber jelas di media massa: bahwa kandang
>      banteng perjuangan itu tengah gelisah oleh konflik internal.
>      Sudah banyak terdengar bagaimana Mega dikepung beragam kubu yang
>      diciptakan para pengikutnya. Sudah menjadi cerita lama pula
>      bagaimana sang suami, Taufik Kiemas, amat ketat mengawal segenap
>      kebijakan Mega. Begitu pula pertarungan klik Taufik dengan
>      kelompok Haryanto Taslam, Soetardjo Soerjogoeritno, dan kelompok
>      ITB (Laksamana Sukardi dan kawan-kawan). Belum lagi "pertarungan
>      tradisional" unsur PNI dan Parkindo akibat tak tuntasnya fusi.
>      Dan belakangan, seiring keputusan Mega mengibarkan PDI-P sebagai
>      partai terbuka dan kebutuhan partai akan SDM yang siap pakai,
>      datanglah rombongan pensiunan tentara dan bekas Golkar.
>      Kedatangan para mantan pendukung gigih Orde Baru itu membuat
>      kandang PDI-P kian pengap. Apalagi, kafilah terakhir ini --yang
>      dimotori Mayjen Purn Theo Sjafei, Brigjen Purn Sembiring Meliala,
>      Jakob Tobing, dan Prof Dimyati Hartono-- dinilai sukses
>      mempengaruhi Mega, sampai-sampai geng Taufik sendiri nyap-nyap.
>      Kubu-kubu itu saling berebut pengaruh ke Mega. Dan repotnya,
>      seperti diungkapkan pakar politik dari UI, Eep Syaefulloh Fatah,
>      Mega bukanlah manajer konflik yang baik. Maka, jadilah Mega
>      terpencil kesepian di tengah pusaran konflik para pengikutnya.
>      "Akibatnya ya itu, Mbak Mega jadi menjaga jarak dengan semua
>      pihak. Sekarang ini, yang diajak omong Ibu Mega cuma Kwik Kian
>      Gie, karena dia dinilai paling netral dan jernih. Nggak punya
>      ambisi apa pun, kepingin jadi menteri saja tidak, apalagi cuma
>      caleg," kata kader PDI-P yang tak mau disebut namanya. Ini
>      diperparah oleh gaya masing-masing kubu yang di mana-mana
>      mengklaim paling dekat dengan Mega. "Mereka memagari Ibu Mega
>      sedemikian ketat, sehingga kami-kami ini nggak bisa lagi leluasa
>      bertemu beliau," ujar kader itu lagi. Pertarungan Intern Yang
>      jadi persoalan, menjelang proses pemilu --terutama masa
>      penyusunan caleg-- pertempuran itu menjadi kian sengit dan
>      cenderung susah dikontrol. Masing-masing kubu, melalui kaki
>      tangannya di daerah-daerah, saling melakukan gerilya dalam
>      penentuan caleg. Tak heran kalau kemudian meruyak banyak protes
>      dari daerah. Sebabnya macam-macam, tapi menjurus ke satu arah:
>      distribusi kue kekuasaan yang tak merata dan cenderung
>      meninggalkan kader-kader lama yang telah berjuang sekian tahun di
>      sisi Mega. Dalam penyusunan caleg misalnya. Banyak kader lawas
>      yang militan tersingkir. Sementara pendatang baru dari eks
>      tentara-Golkar merajalela. Tercatat, paling tidak 28 eks
>      tentara-Golkar yang ada di DPP --terutama di Litbang-- sukses
>      menjadi caleg. Belum lagi di daerah-daerah. Belum lagi kasus
>      money politics atau nepotisme. Pencantuman sejumlah kerabat
>      Taufik Kiemas, Yahya Nasution, atau Sabam Sirait sebagai caleg
>      membuahkan belasan protes dari daerah pemilihannya. Namun apa
>      daya, ketidakpuasan itu rontok terpangkas dengan berlindung di
>      balik otoritas Mega. "Tapi beberapa protes itu juga tak lagi
>      murni. Mereka memang kecewa, lalu dikompori salah satu kubu elite
>      sebagai alat menyerang lawan kubunya," kata sumber Surabaya Post.
>      Dan ini lagi. Diam-diam, yang sekarang dibidik bukan cuma kursi
>      dewan, tapi sudah kabinet. Sejumlah elite PDI-P mulai kasak-kusuk
>      membicarakan peluang masuk kabinet. "Sudah bukan rahasia lagi. Ke
>      mana-mana sejumlah elite partai sudah berani mengaku akan masuk
>      kabinet," kata sumber Surabaya Post sembari menyebut beberapa
>      nama. Mengapa pertarungan kian mengeras? Ternyata bukan melulu
>      lantaran fenomena rutin menjelang pemilu. Ada sebab lain yang
>      cukup mengejutkan. Seorang fungsionaris PDI-P, dengan wanti-wanti
>      agar tak disebut identitasnya, mengatakan, perebutan kursi (baik
>      caleg maupun kabinet) menjadi kian panas lantaran lima tahun
>      pascapemilu mendatang adalah saat yang amat menentukan, baik
>      untuk PDI-P maupun karier politik mereka sendiri. "Entah lima
>      tahun lagi setelah itu, keadaan bisa berubah. Karena itu, mereka
>      sedapat mungkin memetik buahnya sekarang, mumpung masih ada,"
>      katanya. Apa artinya ini? Ada semacam kegamangan dalam melihat
>      masa depan PDI-P. Lebih jelasnya, seperti diungkapkan
>      fungsionaris tadi, ada semacam pesimisme di kalangan elite PDI-P
>      apakah lima tahun mendatang partai ini akan tetap sebesar
>      sekarang. Masing-masing kubu agaknya sama-sama mafhum, Mega bakal
>      kesulitan mengemudikan partainya jika kondisi internal
>      berantakan. Implikasinya, agak susah mempertahankan simpati massa
>      yang pada lima tahun mendatang sangat boleh jadi sudah berubah
>      orientasi politiknya. "Karena itu, royokan jabatan dan pengaruh
>      juga makin menjadi-jadi. Istilahnya, kapan lagi kalau bukan
>      sekarang?" ujarnya dengan wajah sedih. Disintegrasi Bangsa Pakar
>      politik dari UGM Dr Riswandha Imawan menjelaskannya dengan pas.
>      Kalau kondisi ini dibiarkan terus dan Mega tak segera mampu
>      menyembuhkan penyakit internal ini, menurut Riswandha, harga
>      paling murah yang harus dibayar PDI-P adalah ditinggalkan
>      pemilihnya pada pemilu lima tahun mendatang. Tapi, lanjut dia,
>      ongkos yang mutlak diperhatikan adalah yang harus dibayar bangsa
>      ini jika Mega terpilih menjadi presiden. Dengan belitan konflik
>      intern para pengikutnya yang separah itu, kata Riswandha,
>      bisa-bisa seluruh bangsa ini harus ikut membayarnya. Dan
>      harganya, duh, teramat mahal: disintegrasi bangsa. "Selama ini,
>      pendukung PDI-P banyak menaruh harapan pada partai ini untuk
>      mengentas rakyat dari jurang krisis yang sudah sampai ke leher.
>      Kalau ternyata nanti Mega nggak mampu memenuhi harapan itu,
>      kemarahan rakyat akan memuncak. Akibatnya, apalagi kalau bukan
>      disintegrasi bangsa, sesuatu yang justru ditentang Mega
>      habis-habisan," ujar Riswandha. Mengapa Riswandha memberi sinyal
>      yang begitu mendebarkan? "Bagaimana Mega mampu memimpin bangsa
>      ini kalau menuntaskan problem partainya sendiri saja nggak mampu?
>      Bagaimana Mega mampu mengurusi bangsa ini kalau dia tetap saja
>      direcoki pertikaian para pendukungnya yang pada rebutan kekuasaan
>      itu? Inilah ujian Mega yang sesungguhnya sebelum menjadi
>      presiden," kata pengamat kelahiran Madura itu. Lalu apa yang
>      harus dilakukan Mega? "Mega ndak boleh lagi diam. Kepemimpinannya
>      harus dibuktikan sekarang untuk mencegah konflik internal yang
>      bisa membesar ke arah disintegrasi," tegas Riswandha lagi. Di
>      sisi lain, seperti sempat diungkapkan beberapa kader PDI-P, di
>      antaranya kader yang gagal bertemu Mega tadi, muncul kekhawatiran
>      di kalangan PDI-P sendiri. Dengan gaya politik Mega yang susah
>      ditebak dan tipologi konflik intern yang mirip-mirip zaman Orba
>      (Soeharto) itu, jika berkuasa Mega dikhawatirkan akan terjebak
>      menjadi Orba Jilid II. Bagaimana tidak? Dengan merendahkan nada
>      bicaranya, kader itu mengatakan, Soeharto dulu juga melakukan hal
>      yang sama dengan Mega. Di antaranya, enggan terbuka dan cenderung
>      membangun lingkaran pengikut yang kekuasaannya mengatasi struktur
>      organisasi resmi. Dia menunjuk contoh aspri Soeharto (Ali
>      Moertopo, Soedjono Humardani dkk.) yang kekuasaannya melebihi
>      para menteri. Dan cara-cara seperti itu tetap digunakan Soeharto
>      hingga menjelang lengser. Belum lagi tipologi konflik intern
>      PDI-P, seperti gejala nepotisme, dugaan money politics, serta
>      fenomena top down dalam membagi kue kekuasaan, yang lagi-lagi
>      merupakan gaya Soeharto yang diterapkan di semua bidang, mulai
>      Golkar, birokrasi, sampai ABRI. "Ya kalau nggak ada perubahan,
>      kayaknya sih bisa-bisa seperti Orde Baru. Tapi semoga saja
>      tidak," kata kader PDI-P itu. Sekarang, ancaman itu memang belum
>      terasa. Mega masih belum jelas akan terpilih menjadi presiden
>      atau tidak. Ia juga masih mampu menyamarkan konflik internal itu
>      dengan kharisma dan pengaruhnya. Sebagaimana diakui Ir Heri
>      Akhmadi, mantan aktivis mahasiswa Angkatan 1978 yang kini menjadi
>      caleg PDI-P untuk DPR RI dari daerah pemilihan Ponorogo,
>      persoalan dalam tubuh elite PDI-P akan mudah diselesaikan karena
>      figur Mega. "Kalau ada persoalan, tinggal diserahkan ke Ibu Mega.
>      Semua akan beres jika Bu Mega yang membuat keputusan. Kalau mau,
>      Bu Mega tinggal mencopot orang-orang itu dan permasalahan segera
>      selesai," katanya. Tapi, sampai kapan semuanya digantungkan hanya
>      pada seorang Mega? Tidakkah ongkosnya terlalu mahal, karena
>      menyangkut nasib bangsa jika Mega benar-benar terpilih menjadi
>      presiden? (Nanang Krisdinanto, Sunudyantoro, Dwi Eko Lokononto,
>      Budi Hendrarto)
>
>            Surabaya Post Daily Newspaper
>


____________________________________________________________________
Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at 
http://webmail.netscape.com.

Kirim email ke