Judul: BERI JALAN ORANG CINA
Penulis: Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Sumber: Editor, 21 April 1990

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah.
Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau
mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena
memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti
nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan.
Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa
lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara
harta dan nata.

Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg
di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan
orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan
dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?

Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan
akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka terkenal
dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan
kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh
melebihi orang lain dalam waktu singkat.

Secara terasa, 'kesepakatan' meluas itu akhirnya mengambil bentuk
pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk
AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak
akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan,
namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit
umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan
kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi
eselon satu. Apalagi jadi menteri.

Sialnya lagi, 'jalan buntu' itu ternyata tidak membawakan alternatif
yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu
sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau,
karena di masa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang. Usaha
berhasil, uang masuk berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah.

Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab
kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata
tidak membawa keberuntungan.

Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan
hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya
sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan
si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak
faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi
kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan
bertahan. Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di mana pun
mereka berada. Dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka,
dengan memanfaatkan satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka:
bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari
kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi
intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya.

Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah
"sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya.
Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor
usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu
dikembalikan kepada sifat serakah, atau direferensikan kepada rujukan
akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan
hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak
rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama.

Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa
dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam
alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat
diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan.

Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh 'posisi
kolektif' mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu
dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.
Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang
hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan
kemampuan sama maju dengan orang Cina, seperti semakin banyak terbukti
saat ini. Begitu pula bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas
maupun mayoritas. Tesis pokoknya di sini adalah: dapatkah kelebihan
kekayaan orang Cina dimanfaatkan bagi usaha lebih memeratakan lagi
tingkat pendapatan segala lapisan masyarakat bangsa kita di masa depan?

Jawabnya, menurut penulis, adalah positif. Orang Cina, sebagaimana
orang-orang lain juga, dapat di-appeal untuk berkorban bagi kepentingan
masa depan bangsa dan negara. Tentu dengan tetap menghormati hal-hal
mendasar yang mereka yakini, seperti kesucian hak-milik dari
campur-tangan orang lain.

Pemindahan kekayaan secara masif bukanlah barang baru bagi orang Cina,
karena mereka pun baru saja melakukan hal itu, dalam bentuk merampungkan
upaya akumulasi modal yang bukan main besarnya. Salah satu instink untuk
tetap bertahan hidup bagi orang Cina adalah realisme sangat besar yang
mereka miliki. Akal mereka akan mendiktekan keputusan pemindahan
kekayaan secara masif kepada mereka yang lebih lemah, dalam upaya
mendukung pihak lemah itu agar juga menjadi kuat. Tetapi itu semua harus
dilakukan dengan menghormati kesucian hak-milik mereka, bukan dengan
cara paksaan atau keroyokan.

Kalau begitu duduk perkaranya, jelas akses orang Cina kepada semua
bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau sekarang
ada tiga orang Arab menjadi menteri, tanpa ada pertanyaan atau kaitan
apa pun dengan asal-usul etnis atau rasial mereka, hal yang sama juga
harus diberlakukan bagi orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus
dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau prestasi para dokter orang Cina
sama baiknya dengan yang lain-lain, mereka pun berhak menjadi kepala
rumah sakit umum. Begitu juga menjadi jenderal, dan demikian seterusnya.

Cerita gurau yang luas beredar menyebutkan perbedaan orang Jawa dari
orang Cina. Orang Jawa, kata cerita itu, akan senantiasa menanyakan
kesehatan kita kalau bertemu: "Sampean waras?" Bagi orang Jawa yang
mudah masuk angin dan sebagainya, kesehatan adalah perhatian utama. Ini
berbeda dengan orang Cina. Kalau berjumpa dengan orang lain, pertanyaan
yang diajukan: "Sampean apa sudah cia?" alias apakah sudah makan atau
belum. Mengapa? Karena mereka dahulu datang kemari akibat bahaya
kelaparan di daratan Cina, negeri asal mereka.

"Keanehan" seperti itu adalah karakteristik etnis, yang tidak boleh
mengganggu keserasiah hidup sebuah bangsa. Apalagi bagi bangsa yang pada
dasarnya sudah sangat heterogen, seperti bangsa kita. Kita sudah harus
dapat melihat karakteristik khusus orang Cina seperti juga 'keanehan'
suku-suku bangsa kita yang lain. Ini berarti kita harus mengubah cara
pandang kita kepada orang Cina. Mereka harus dipandang sebagai unit
etnis. Bukan unit rasial.

Kalau kita bisa menerima kehadiran orang Flores, Maluku dan Irian
sebagai satuan etnis - padahal mereka bukan dari stok Melayu (karena
stok mereka adalah Astromelanesia), maka secara jujur kita harus
melakukan hal yang sama kepada stok Cina. Juga stok Arab. Mereka bukan
orang luar, melainkan kita-kita juga.

Mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Itulah reaksi pertama pada ajakan
"menyatukan dengan orang Cina". Akan banyak alasan dikemukakan dan
argumentasi diajukan. Karena, memang, dalam diri kita telah ada
keengganan mendasar untuk menerima kehadiran orang Cina sebagai "orang
sendiri". Kita sudah terbiasa mau menerima uang mereka tanpa merasakan
kehadiran mereka.

Boleh saja keengganan bahkan ketakutan seperti itu kita beri sofistikasi
sangat canggih. Tetapi, ia tetap saja merupakan keengganan dan
ketakutan. Sesuatu yang irasional. Justru itulah yang harus kita
perangi, kita jauhi sejauh mungkin. Mengapakah hal itu menjadi
keharusan?

Karena hanya dengan perlakuan wajar, jujur dan fair dari kita sebagai
bangsa kepada orang Cina sajalah yang dapat mendorong timbulnya rasa
berkewajiban berbagi kekayaan dan nasib antara mereka dan pengusaha
kecil kita. Ini kalau kitabenar-benar jujur, lain halnya kalau tidak ...

Kirim email ke