INDONESIA BISA KALAHKAN TEKNOLOGI
BARAT?
AAAAA
Oleh : Nasrullah
Idris
AAAAAHarus
kita akui, krisis ekonomi yang menimpa Indonesia tidak
terlepas dari ketergantungan kita pada bangsa Barat di
bidang teknologi. Rentetan momentum sejarah bangsa kita
telah membuat skrenario demikian.
AAAAADalam
sebuah diskusi (Indonesia Studies Development) yang
diikuti oleh para pakar Indonesia dari berbagai bidang
ilmu, saya mengajukan konsep yang boleh dikatakan
melambung, yang selanjutnya menimbulkan perdebatan, yaitu
:
AAAAAApakah
Indonesia bisa mengalahkan reputasi teknologi Barat
(Amerika/Eropa)? Langsung saya jawab saat itu juga :
"Bisa". Menurut saya kepada mereka, untuk
mengwujudkannya diperlukan sejumlah syarat.
AAAAA1.
Hilangkan mitos, seolah-olah Indonesia tidak akan mampu
melakukannya. Karena secara ilmiah, tidak ada tanda-tanda
suatu negara harus selalu di bawah negara lain di bidang
tersebut.
AAAAA2.
Mempelajari hal hal yang bertalian dengan teknologi
dengan semangat merah-putih. Meskipun tampaknya sepele,
tetapi justru bisa merupakan semangat besar untuk
mengolah otak, yang selanjutnya mencari apa-apa dari
teknologi yang belum pernah ditemukan oleh bangsa Barat.
Sementara setiap mempelajari teknologi akan terdorong
untuk memberikan kehormatan bangsa, yang gilirannya
meningkatkan citra peradaban bangsa kita dalam perjalanan
sejarah ummat manusia.
AAAAA3. Adanya
kesadaran bahwa produk monumental, sebagaimana yang
pernah ditemukan Johann Guttenberg, Thomas Alva Edison,
dan Graham Bell, tidak seberapa banyak ketimbang yang
belum ditemukan. Singkatnya, buang jauh-jauh kesan,
seakan-akan untuk mencapainya sudah tertentu, sehingga
tidak perlu bersusah payah untuk mencarinya.
AAAAA4.
Memantau segala bentuk opini yang bisa mematahkan
semangat bangsa Indonesia untuk hal tersebut, terutama
yang dibentuk para mantan negara kolonialisme.
PERINTIS & KOMPETITIF Seterusnya
saya presentasikan pula, untuk memberikan kehormatan
bangsa melalui teknologi terdapat dua jalur, yaitu jalur
reformasi dan jalur kompetitif.
AAAAAContoh
jalur kompetitif kita anggaplah IPTN, meskipun
keberadaannya terus menimbulkan polemik dalam beberapa
tahun terakhir ini.
AAAAAUntuk
jalur perintis saya belum tahu. Yang jelas ini bisa
memberi peluang sangat banyak mengingat sifatnya yang
eksternalisasi.
AAAAAOkelah
saya berikan sedikuit ilustrasinya :
AAAAATaroklah
pelajar Indonesia di Barat belajar MARTABAK TELOR &
GORENG TAHU. Kalau bangsa kita ingin disebut sebagai
perintis di bidang teknologi, maka ketika mereka kembali
ke tanah air jangan hanya membuat industri "MARTABAK
TELOR" maupun "GORENG TAHU". Juga
bagaimana mendirikan industri "MARTABAK TAHU".
Karena kalau hendak berkompetitif tentang kedua makanan
pertama itu jelas kita akan kalah. Soalnya ketika mereka
pulang ke tanah air, Barat sudah menemukan resep baru
untuk memberi nilai tambah "MARTABAK TELOR"
maupun "TAHU GORENG". Jelas resep itu tidak
akan diberikan kepada pelajar kita. Mungkin mereka akan
berkata, "Enaknya minta. Emangnya loe akan berbakti
untuk negara gua?" Ya begitulah kira-kira kalau
dilarikan ke bahasa prokem.
AAAAAJadi mau
tidak mau ya membuat pebrik "MARTABAK TAHU"
kemudian dieskpor. Termasuk ke negara di mana pelajar
kita menimba ilmu. Sehingga selain terhindar dari
persaingan untuk kurun waktu tertentu, identitas bangsa
sedikit-banyak akan terangkat.
AAAAAGambaran
ini akan benar-benar terasa ketika perdagangan bebas
mulai berlaku secara global.
AAAAASalah
seorang peserta, DP (pakar komunikasi dari Jakarta)
mempertanyakan, "Siapa yang bermurah hati untuk
bertindak memfasilitasinya"
AAAAA
AAAAAYa ...
itu tergantung, berapa besar gerakan pengembangan
teknologi. Di sini pemerintah sangat berperan. Buktinya :
"GERAKAN MENANAM CABAI", sebagaimana yang
diberlakukan pada tahun 1996. Hasilnya tampak sekali.
Cabai menjadi jenuh Bisakah itu dijadikan cermin untuk
kemudian membuat "gerakan pengembangan
teknologi"?
AAAAA"Semua
kita setuju, bahwa diantara 200 juta rakyat Indonesia,
tentu banyak yang genius". Demikian potongan
komentar MM(pakar Kimia dari Swis.
AAAAAYa betul.
Hanya di antaranya seperti "PETASAN BASAH DALAM
SAMPAH". Itu terjadi di berbagai kalangan : kaya,
sedang, atau miskin. Sementara mereka tidak tahu akan
prospek petasan pada dirinya masing-masing.
AAAAACoba
bayangkan, bagaimana bila para cendekiawan terkait
bersedia meluangkan waktunya untuk mengambil petasan
basah itu. Kemudian dikeringkan secara perlahan serta
pada waktunya disulut. Maka menggelegarlah.
AAAAANamun
bagaimana pun komitmen bahwa "INDONESIA DAPAT
MENGALAHKAN BARAT DI BIDANG TEKNOLOGI" harus sudah
tertanam bangsa kita secara merata dari Sabang sampai
Merauke. Bukankah tim "underdog" dalam olahraga
sangat semangat untuk memenangkan pertandingan?
AAAAAIni
penting untuk memberikan kredit point semangat pada
bangsa kita sehingga gilirannya memunculkan bibit unggul
untuk tampil sebagai perintis ke arah sana.
AAAAAIndonesia
pun bisa mengusir penjajahan antara lain karena adanya
keyakinan secara menyeluruh bahwa "BANGSA INDONESIA
DAPAT MENGUSIR PENJAJAHAN".
AAAAAKeyakinan
saya akan kemungkinan Indonesia bisa mengalahkan Barat di
bidang Teknologi seratus persen atas dasar pemikiran
sentral. Jadi terlepas, apakah saya orang Indonesia atau
bukan. Dengan kata lain, berdasarkan ilmiah. Soalnya
jelas tidak fair kalau hanya didasarkan sentimen
kebangsaan, tanpa mengkaji fakta sesungguhnya.
AAAAAAS (pakar
elektro dari Jepang) mwngusulkan, bagaimana kalau mereka
(pelajar Indonesia) dibiarkan sekolah di luar negeri di
mana setelah selesai tidak perlu diwajibkan pulang ke
Indonesia, tetapi diberi kebebasan untuk memilih karir,
termasuk di sana (asal jangan ganti kewargaannegarannya
saja). Mengharumkan Indonesia kan tidak harus di tanah
air saja.
AAAAASelanjutnya
sambung dia, kalau memang Indonesia belum mampu menampung
mereka, ya daripada tidak produktif, lebih baik
membiarkan mereka mengibarkan merah-putih di negara yang
memang menghargai pengetahuan dan keterampilan mereka.
AAAAAYang
penting bagaimana menjalin hubungan dengan mereka secara
kontiniu. Saudara kita itu, yakni mereka yang berkipirah
di pusat iptek dunia, bisa diharapkan untuk menyampaikan
informasinya dengan cepat ke Indonesia. Apalagi sekarang
sudah ada internet sehingga penyebarannya bisa
berlangsung secara estafet antar perguruan tinggi.
Bukankah ini akan merangsang peneliti terjung ke arah
persaingan antar bangsa sesuai bidangnya masing-masing?
AAAAAKomentar
MP (Pakar Kimia dari Amerika Serikat) lebih menekankan
masalah alih teknologi dan pengembangan teknologi.
Menurutnya, masalah ini sangat penting, tidak sekedar
penanaman semangat kebangsaan.
AAAAA"Tentu
saja tidak", ujar saya komentari MP. "Tetapi
kalau disertai semangat kebangsaan akan lain hasilnya.
Ilustrasinya begini : mengejar "maling uang"
dengan mengejar "bis kota" lain kan nilai
semangatnya.
AAAAASaya
mengusulkan, bagaimana, tanpa harus mengabaikan masalah
itu, kalau diciptakan gerakan penelitian dengan modal apa
adanya secara nasional. Lalu di berbagai tempat muncul
semacam iklan layanan masyarakat tentang gerakan
tersebut. Misalkan : "ANDA MAU MENELITI? ILMU ANDA
BERTAMBAH" - "DENGAN MENELITI SAJA - ILMU ANDA
BERTAMBAH". Pokoknya macam-macam, tergantung
kreativitas kita membuat slogan tersebut.
AAAAAJepang
juga maju karena adanya gerakan rasa ingin tahu di bawah
komando penguasanya.
AAAAAKetika
kapal asing masuk pertama kali ke sana, masyarakatnya
heran, mengapa itu terjadi. Rasa ingin tahu yang mendalam
membuat mereka terus berpikir, bertanya, dan membaca.
Akhirnya bisa kita lihat : bagaimana sekarang.
AAAAALain
dengan masyarakat Papua Nugini. Ketika pertama kali
melihat kapal terbang justru mereka menganggapnya sebagai
dewa kayangan. Kita lihat pula sekarang, bagaimana
perekonomian negeri itu?
MAKNA TEKNOLOGI
AAAAASelanjutnya
HP (pakar guru dari Australia) mengatakan, tentu kalau
mau lebih tajam bisa dipilah-pilah lagi, apa yang kita
maksud dengan 'teknologi'. Kalau, misalnya, istilah itu
disederhanakan menjadi "daya untuk mengerjakan
sesuatu", akan tampaklah bahwa untuk mengsejajarkan
diri dengan negara maju, jalan yang ditempuh masih sangat
panjang. Dengan pemahaman semacam itu, maka bisa
ditafsirkan kalau teknologi adalah "anak
peradaban". Artinya, kalau masyarakat berubah,
teknologi juga berubah, meskipun teknologi pun mampu
mengubah masyarakat.
AAAAAAgar
masyarakat mampu melahirkan teknologi baru perlu didorong
pembentukan masyarakat yang "scientific", yaitu
masyarakat yang didemami sikap ingin tahu, daya kritis
dan kerja keras. Ini yang harus dibenahi dulu. Jadi,
perlu diberantas "mental jalan pintas" atau
"hal-hal yang menina-bobokan masyarakat"
AAAAAKomentar
saya dalam hal ini sangat sederhana.
AAAAAUntuk
memberikan pengertian sederhana tentang teknologi antara
lain dengan "Batang Korek Api". Seperti kita
ketahui " Batang Korek Api" adalah sains.
Sedangkan "TEKNOLOGI"nya adalah upaya menjadi
korek api menjadi wujud tertentu. Misalkan bingkai kecil
di mana untuk membuatnya hanya memerlukan empat
"Batang Korek Api". Jadi sains dan teknologi
itu seperti : Ayam, Telur, Ayam, dan seterusnya.
AAAAAMemang
sebuah kata akan terasa penting bila dimengerti.
Pengertian yang terkandung dalam sebuah kata akan semakin
meresap bila disertai contohnya.
AAAAAJadi
untuk mengapresiasikan/memobilisasi pengertian sebuah
kata ke seluruh lapisan masyarakat diperlukan contoh yang
sangat sederhana, yaitu objek yang sudah merupakan bagian
dari kehidupan mereka. Berdasarkan data dari sana-sini,
saya menyimpulkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia
belum bisa meresapi kata Teknologi, meskipun mungkin saja
mereka sering mendengarkan atau membacanya dari berbagai
media massa atau pembicaraan. Mengapa itu sampai terjadi?
Antara lain karena yang dijadikan contoh bukanlah objek
yang bukan merupakan bagian dari kehidupan. Melainkan
objek elitis. Itulah akibatnya kalau pengadopsian kata
dari bangsa lain tidak dikompromikan dulu dengan
kebudayaan sendiri.
ANCAMAN
AAAAAMungkin
agar Indonesia bisa melampaui kemampuan teknologi Barat,
maka perlu diberi masalah yang sifatnya ancaman terhadap
kehidupan seluruh rakyat sedemikian rupa, sehingga
diharapkan memaksa mereka berpikir untuk mencari solusi
demi keselamatan dan keamanan hidupnya di kemudian hari.
Jangan hanya simulasi, tetapi betul-betul suatu masalah
yang nyata.
AAAAAKita juga
harus mengatakan kepada masyarakat bahwa :
"Teknologi itu kekuasaan kalau hanya diketahuioleh
bangsa tertentu saja.
AAAAATaroklah
goreng pisang menjadi barang ekspor-impor!
AAAAAYakinlah,
konsumen membeli makanan itu bukan karena selera saja
tetapi berdasarkan pertimbangan/kesadaran intelektual.
AAAAABangsa
mana pun tidak bisa menetapkan harganya semau gue. Karena
mereka yakin, hampir semua bangsa bisa membuatnya.
PENUTUP
AAAAASementara
Teknologi di Barat terus berkembang pesat, sebaliknya
kondisi yang terjadi pada masyarakat kita ialah
keterbelakangan intelektual atau keminiman prestasi di
bidang tersebut.
AAAAAAkibat
semua itu, maka dewasa ini Indonesia tidak bisa
melepaskan ketergantungan untuk mengadopsi berbagai
produk Sains Teknologi "dengan jalan
mengadopsinya" atau "memproduksinya dengan
lisensi", sebagaimana yang tampak di "buku
pelajaran sekolah" sampai "produk di
pasaran".
AAAAAJadi
memang Barat harus diakui sebagai primadona Teknologi. Ia
mempeloporinya di atas landasan di mana pembangun
dasarnya justru datang dari kalangan cendekiawan Timur.
Sedangkan kita selaku penduduk Asia-Afrika akhirnya harus
puas menjadi pengikut mereka.
AAAAAApakah
harus demikian terus? Tentu saja tidak!
AAAAAKita
sejak dini harus segera melangkah lebih jauh dan melompat
lebih efektif. Antara lain dengan merumuskan visi sebagai
prioritas unggulan serta didukung oleh program kongkrit
dan langkag strategis. Terutama dalam menghadapui era
globalisasi di mana kita akan benar-benar dihadapkan pada
faktor "Kecepatan Enginering", "Kecepatan
Kalkulasi", dan "Kecepatan Analisis".
AAAAATugas di
atas mengisyaratkan keberanian untuk melakukan perubahan
cara pandang, khususnya pendekatan kita terhadap
Tekonologi.
AAAAABertitik
tolak dari kesuksesan Indonesia selaku penyelenggara
Konfrensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang ditandai
dengan bangkitnya kesadaran negara-negara di Asia Afrika
untuk melepaskan diri dari imperialisme/kolonialisme,
maka apa salahnya bila Indonesia pun merintis,
mempersiapkan, dan melaksanakan konfrensi itu untuk
membangkitkan semangat di kalangan masyarakat di kedua
benua itu di bidang teknologi.
AAAAASehingga
pada suatu saat nanti akan muncul "rasa
kebersamaan" dalam "alam persaingan" di
bidang prestasi Teknologi.
AAAAAKhusus
bagi Indonesia, adanya event tersebut akan memberikan
tinta emas sejarah dalam hal ikut membangkitkan Teknologi
di Asia Afrika, sebagaimana ikutsertanya Indonesia
membangkitkan kesadaran pada bangsa Asia Afrika untuk
melepaskan diri dari imperialisme/kolonialisme melalui
Konfrensi Asia Afrika pada tahun 1955 tersebut. (Nasrullah
Idris, bidang studi : Reformasi Sains Matematika
Teknologi)
|