JAKARTA (Media): Usulan peleburan Ditjen
Pendidikan Tinggi (Dikti) ke Kantor Menteri Riset dan Teknologi
(Menristek) bukan merupakan suatu hal aneh. Karena, sistem
pendidikan di Indonesia pernah menganut bahwa pendidikan tinggi dan
ilmu pengetahuan berada di luar naungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Demikian penegasan Dirjen Dikti Satryo Soemantri, kemarin,
menanggapi pernyataan yang pernah dilontarkan Menristek AS Hikam dan
sempat dilansir media massa, pekan lalu. "Menurut saya
peleburan Ditjen Dikti ke Kantor Menristek hanya masalah pembagian
tugas dan wewenang, jadi persoalannya hanya masalah kebutuhan,"
tegasnya.
Menurut Satryo, jika kebutuhan akan pengembangan ilmu pengetahuan
dikaitkan dengan keberadaan Ditjen Dikti hal yang sebaliknya pun
bisa mungkin terjadi; riset dan teknologi juga bisa berada dalam
naungan Ditjen Dikti. "Bagi saya tidak ada masalah posisi mana
suatu peleburan itu yang dianggap lebih baik. Bahkan dalam sejarah
perjalanan pendidikan di Indonesia pada tahun `60-an pernah terjadi
penggabungan ristek dan dikti, dengan adanya Departemen Pendidikan
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP)."
Namun, kata Satryo, dalam pembagian kewenangan tersebut harus
disertai cakupan dan penataan tugas secara jelas. Jika alternatif
pertama yang dipilih maka cakupan dari kewenangan Kantor Menristek
adalah membuat kebijaksanaan (policy) secara makro dan Dikti yang mengaplikasikannya atau
melaksanakan kegiatan penelitian/riset.
Hal itu sangat dimungkinkan jika pendanaan penelitian dan
pendidikan bagi tenaga-tenaga peneliti di bidang iptek dapat
dikelola dan didanai oleh Kantor Menristek. Pertanyaannya adalah,
sudah siapkah Kantor Menristek mampu mencakup kegiatan di lembaga
pendidikan tinggi yang sangat padat modal dan teknologi?
Pada kesempatan itu, Satryo membantah jika pendidikan tinggi di
Indonesia jarang melaksanakan kegiatan penelitian. Menurut catatan
Ditjen Dikti, dari sekitar 60 ribu tenaga terdidik di perguruan
tinggi sekitar sepertiganya atau 20 ribu orang tergolong aktif
melakukan penelitian. "Hanya saja tinggal meningkatkan
kualitasnya."
Selain itu, ujarnya, Ditjen Dikti juga mensyaratkan tenaga
pendidik pada setiap perguruan tinggi negeri (PTN) melaksanakan
penelitian untuk menaikkan jabatan strukturalnya. "Jabatan
tenaga pendidik tergantung dari score penelitian yang pernah dilaksanakan."
Satryo juga mengungkapkan bahwa sebenarnya selama ini komunikasi
antara Kantor Menristek dan Ditjen Dikti berjalan lancar dan saling
terjadi tukar-menukar informasi persoalan iptek. Mungkin yang perlu
dipikirkan lebih jauh adalah meningkatkan kualitas penelitian di
Dikti yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan iptek itu
sendiri.
Mendiknas membantah
Pada kesempatan terpisah, pekan kemarin Mendiknas Yahya A
Muhaimin membantah pemberitaan media massa yang mengesankan bahwa
Menristek menginginkan agar Ditjen Dikti yang saat ini dalam naungan
Depdiknas agar dilebur dalam Kantor Menristek. "Saya sudah
telepon Pak Hikam bahwa yang dikemukakan bukan begitu
ceritanya."
Akibat kemunduran kegiatan penelitian yang terjadi saat ini,
katanya lagi, ditafsirkan oleh media massa seolah-olah Menristek
meminta Dikti digabung ke Kantor Menristek. Menurut Yahya, Menristek
hanya mencontohkan ada negara-negara lain yang menerapkan antara
ristek dan Dikti menjadi satu.
"Memang betul itu, saya tahu itu ada di Swedia, ada juga
menteri pendidikan riset dan agama. Malah Hikam mengatakan
seharusnya ristek ke Dikti. Diplintir itu...." seloroh Yahya.
Mendiknas mengemukakan bahwa departemennya saat ini secara
intensif melakukan komunikasi dengan menteri-menteri terkait
lainnya, termasuk Menristek, Menteri Agama, bahkan Menteri Kelautan
serta Menteri Kesehatan. (ST/B-1)