Sampah Sebagai Peluang Usaha
Sampah secara umum dapat dibagi menjadi sampah organik dan anorganik. Semua
sampah organik (kecuali ekskret dari manusia atau hewan yang sakit) pada
hakekatnya dapat diolah menjadi kompos secara aerob maupun anaerob. Selain
itu dalam proses anaerob, dapat dihasilkan biogas yang dapat menjadi bahan
bakar. Sampah anorganik dapat dibagi lagi menjadi sampah layak jual
(plastik, botol kaca, logam, kertas dan kaleng) dan sampah layak buang.
Sampah masih memiliki nilai ekonomis apabila dikelola dengan tepat. Hal ini
dapat kita saksikan dengan telah adanya produk-produk hasil olahan dari
sampah, seperti hasil daur ulang pabrik, hasil kerajinan tangan, kompos,
pupuk cair (hasil olahan limbah cair dari got), briket (padatan yang dapat
jadi bahan bakar), biogas, dan batako (hasil olahan pasir dari got). Sampah
layak buang dalam jumlah besar yang dikelola dengan pembakaran dapat
dijadikan pembangkit tenaga listrik, sisa pembakarannya dapat digunakan
sebagai bahan pengurug. Bahkan, sekarang ini juga telah ada teknologi yang
memungkinkan air seni dapat diproses menjadi air yang aman untuk diminum.
Dengan mempertimbangkan hal itu, tentu saja paradigma sampah yang merupakan
bahan buangan dapat dirubah menjadi bahan baku yang masih dapat bernilai
ekonomis. Dengan demikian, akan bermunculan peluang-peluang usaha terkait
pengolahan sampah.
NB: Bagi Saudara kami yang ingin bergabung menyukseskan gerakan pengolahan
sampah sebagai peluang usaha mari bergabung bersama DUTA HIJAU UI bekerja
sama dengan Direktorat Kemitraan dan Inkubator Bisnis UI.
Dwi Notosusanto
Kedokteran/Kedokteran Umum/2005
[EMAIL PROTECTED]
http://www.anakui.com/2008/04/21/sampah-sebagai-peluang-usaha/
Briket
Kompor Rakyat Tanpa Minyak
Briket sampah ala Nepal berhasil mengatasi masalah sampah, kelangkaan
minyak, dan polusi udara. Briket ini, ketika digunakan, relatif ramah
lingkungan. Tak berasap dan tak beresidu. Sampah-sampah kertas, bambu,
serbuk gergaji, ampas tebu, daun, dan sampah organik lainnya, setelah
dipilah, dimasukkan ke sebuah tong berisi air yang dipanaskan. Lalu
sampah-sampah itu dihancurkan dan diaduk laiknya membuat bubur kertas. Tak
ada bahan kimia yang digunakan. Kemudian bubur sampah tadi dicetak.
Bentuknya macam-macam. Ada yang seperti cakram dengan lubang di tengahnya,
ada juga yang berbentuk tablet. Ukuran garis tengahnya 5 cm dengan tebal 5
cm pula. Ada juga yang dicetak dengan genggaman tangan. Saat ini, FoST
mengembangkan 10 jenis briket sampah. Untuk pembakaran, FoST juga
memperkenalkan kompor khusus yang disebut rocket stove (kompor roket)
berbentuk tabung dengan garis tengah sekitar 10 cm. Pada bagian bawahnya
dipasang kipas angin bertenaga baterai untuk membantu pembakaran. Bakal
diproduksi dalam skala besar. Indonesia bisa mencontohnya.
[Lingkungan, Gatra Nomor 8 Beredar Kamis, 4 Januari 2006]
http://www.gatra.com/2007-01-13/
Kompor Rakyat Tanpa Minyak
Briket sampah ala Nepal berhasil mengatasi masalah sampah, keiangkaan
minyak, dan polusi udara. Bakal diproduksi dalam skala besar. Indonesia bisa
mencontohnya.
Kelokan kota tua Kadunandu, yang dibangun 14 abad silam, terusik oleh
tumpukan sampah di pinggir jalan, gorong-gorong, dan tebing sungai. Bau
menyengat merebak ke mana- mana, Belum lagi kondisi sosialnya yang mudah
bergolak. Situasi ini membuat Sanu Kaji Shrestha jengkel. "Hampir setiap
hari warga Kathmandu harus antre untuk mendapatkan minyak tanah," kata Sanu,
aktivis lingkungan hidup itu, kepada Gatra.
Sebagai negara yang tergolong miskin, dengan pendapatan per kapita per
ta-hun US$ 1.400, Nepal tergencet oleh kenaikan harga minyak mentah pada
tahun-tahun belakangan ini. Maklum, BBM harus diimpor. Tak pelak, harga
minyak tanah yangbbanyak digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil di
Nepal ikut membubung. Tapi, setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM,
masyarakat bereaksi keras.
Unjak rasa menentang kenaikan harga BBM kerap berakhi rrusuh. "Para
demonstran membakari ban-ban bukas dan asapnya raengotori kota," nitur Sann.
Problem laten ini terjadi pula di kota-kota lain, sepcrti Bharatpur,
Biratnagar, dan Nepalgunj. Kondisi ini membuat Sanu yang pensiunan pegawai
lembaga keuangan internasional itu putar otak guna mengatasi masalah tadi.
Tahun 2003, bersama beberapa kawannya, ia mendirikan Foundation for
Sustainable Technologie (FoST). Lembaga ini berupaya secara mandiri untuk
mengatasi masalah sosial dan lingkungan hidup di Nepal. Uluran bancuan dari
lembaga-lembaga asing bukannya tak ada, terutama untuk program perbaikan
lingkungan liidup. Tapi Sanu menolak. "Kami tak man negara terperosok dalam
utang. Kami ingin menunjukkan kemampuan sendiri," cumrnya.
FoST akliimya melirik potensi yang terkandung dalam sampah yang menumpuk dan
mengotori jalan dan sungai di Kathmandu dan kota-kota lain di Nepal.
"Sebagian besar sampah itu adalah bahan organik, limbah nimah tangga, dan
perta- niansehingga masih bisa diolah," kata Sanu.
Sekitar 76% penduduk Nepal memang masih menggantungkan hidup dari usaha
pertanian, terutama tebu, tembakau, dan gandum, Sektor ini menyumbang 39%
pendapatan kotor domestik Nepal yang mencapai US$ 39 milyar setahun. Sektor
itu pula yang menyumbang sampah- sampah organik yang mengotori Nepal.
Dengan memanfaatkan sampah untuk bahan bakar, FoST berniat ikut
menyelesaikan masalah sampah dan kelangkaan minyak sekaligus. Lantas
muncullah ide pembuatan briket sampah, meniru briket
Batu bara yang lebih dulu dikenal masyarakat Nepal. "Hanya saja, residu dan
asap briket batu bara sangat mengotori udara," kata Sana.
Lagi pula, cara memproduksi briket sampah itu terhitung mudah. Briket ini
pun, kctika digunakan, relatif ramah lingkungan. Tak berasap dan tak
beresidu.Lalu mulailah para aktivis FoST memilah-milah berbagai jenis sampah
yang mungkin untuk dibuat briket. Sampah-sampah itu antara lain kertas,
bambu, serbuk gergaji, ampas tebu, daun, dan sampah organik lainnya.
Sampah-sampah jenis inilah yang dijadikan bahan mentah briket sampah.
Caranya, kata Sanu, sederhana. Setelah dipilah, material tersebut dimasukkan
ke sebuah tong berisi air yang dipanaskan. Lalu sampah-sampah itu
dihancurkan dan diaduk layaknya membuat bubur kertas. Tak ada bahan kimia
yang digunakan.
Kemudian bubur sampah tadi dicetak. Bentuknya macam-macam. Ada yang seperti
cakram dengan lubang di tengahnya, ada juga yang berbentuk tablet. Ukuran
garis tengahnya 5 cm dengan tebal 5 cm pula. Ada juga yang dicetak dengan
genggaman tangan. Saat ini, FoST mengembangkan 10 jenis briket sampah.
Untuk- pembakaran, FoST juga memperkenalkan kompor khusus yang disebut
rocket stove (kompor roket) berbentuk tabung dengan garis tengah sekitar 10
cm. Pada bagian bawahnya dipasang kipas angin bertenaga baterai untuk
membantu pembakaran. Dua buah baterai 1,5 volt itu, menurut Sanu, tahan
untuk sebulan penuh.
Tahun 2003 itu juga, FoST mengampanyekan penggunaan briket sampah sebagai
alternatif pengganti minyak tanah. Para tenaga penyuluh FoST tekun
mendatangi rumah-mmah penduduk. Mereka mendidik warga dalam memanfaatkan
limbah rumah tangga untuk dijadikan briket sampah untuk memasak. Hanya dalam
tempo tiga tahun, hasilnya segera terlihat.
Kata Sanu, kini hampir 80% penduduk Nepal sudah beralih menggunakan briket
sampah. Antrean pembeli minyak tanah pun makin jarang ditemukan. Dan yang
membuat dia senang, temuan sederhana ini ternyata bisa mengurangi volume
sampah di Nepal. "Sungai Bagmati, yang tadinya paling tercemar, kini sudah
tcrlihat bersih," katanya.
Tahun. 2007 ini, tutur Sanu, FoST mulai berpiIdruntuk membangun pahrik
briket sampah untuk kebutuhan industri. "Di sini ada 100 lebih pabrik
pcmbakaran bata. Kami akan memasok untuk kebutuhan itu," katanya. Briket ini
akan dijual seharga US$ 15 per 30 potong seberat 1,5 kilo gram. Dengan
begitu, ia berharap, pencemaran udara dari pabrik batu bata bisa ditekan.
Selain briket sampah, FoST juga membuat beberapa terapan teknologi sederhana
lainnya, semacam kompor, oven, dan alat pasteurisasi bertenaga matahari.
"Pokoknya, kita harus bisa mengubah sampah dan barang lain di sekitar kita
menjadi energi untuk kebutuhan hidup kita," kata Sanu mengenai prinsip
organisasinya.
Beberapa pekan lalu, Sanu dan FoST berkesempatan memperkenalkan teknologi
sederhana itu dalam seminar Better Air Quality (BAQ) di Yogyakarta. Ia
sempat mendemonstiasikan penggunaan briket sampah itu. Ternyata bara api
yang dihasilkan briket sampah ini memang tak mengeluarkan asap dan residu
berbahaya.
Beberapa aktivis lingkungan hidup Indonesia yang menyambangi gerai FoST
menyatakan apresiasinya atas usaha mereka. "Mereka bisa membuktikan, tanpa
harus berutang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan hidup,"
kata Tuhagus Haryo Karbyanto dari Kaukus Lingkungan Flidup Indonesia.
Menurut Bagus, Indonesia seharusnya meniru semangat Nepal dalam
menyelesaikan persoalan lingkungan tanpa berutang. Ia sempat menyampaikan
rasa kecewanya karena untuk program BAQ di lima kota, termasuk Jakarta,
Yogyakarta dan Surabaya, pemerincah mesti berutang ke Bank Pembangunan Asia
sebesar USS 219 juta. "Utang itu akan membebani rakyat, sementara hasilnya
belum tentu maksimal," tuturnya.a
http://www.indobiofuel.com/gratis%2030.php
--------------------------------------------------
Official Mailing List: Porsenipar ke IV Tahun 2007
-=== Perumahan BDB2 dan BDB3, Cibinong, Bogor ===-
-= Menjiwai Semangat Kebangsaan dengan Prestasi =-
| Official Website: http://www.porsenipar.web.id |
------- Porsenipar Media Center: 6849-6001 -------