Apanya yang mantap Murizal?  Kamu persis macam bunglow (tarum Idjo). Kamu  
tidak memiliki kebebasan berpikir. Kamu terlalu ikut arus. Dosen Antropologi 
asal Aceh, Teuku Kemal Fasya itu adalah dosen yang "dimasak di dapur" 
Hindunesia. Dia itu kalau dilihat dengan kacamata orang yang bersatupadu dalam 
system Hindunesia memang termasuk "pintar" akan tetapi kalau dilihat dari 
kacamata orang Acheh yang merdeka pikirannya, Kemal adalah "badut" atau budak 
yang dideretkan di bursa Dunia absurd. Ini tantangan Kami yang pantang melutut 
pada penjajah Hindunesia dimana nilai Kemal tersebut lebih rendah dari sebatang 
rokok Jisamsoe. Bayangkan rokok saja makruf huumnya, bagaimana nilai orang 
semacam Kemal itu? Mampukah anda mencernanya?

Hasan Tiro tidak mati dalam system Hindunesia tetapi rekayasa politik kotor 
para sontoloyo Jawa yang memiliki politik keji dan kotor. Sejak berlangsungnya 
MoU Helsinki, Tgk Hasan tida lagi sadar tetapi sudah pikun. Sandiwara yang 
sedang berlangsung di Acheh - Sumatra sepertinya tidak seorangpun berani 
membantah walaupun penipuan tersebut demikian terang macam terangnya mata hari 
disiang bolong, demikian jugalah penipuan yang dilakuan sontoloyo-sontoloyo itu 
terhadap Tgk Daud Beureueh melalui perjanjian Lamteh dulu. Kenapa hal itu bisa 
tejadi? Jawabannya adalah adanya sebagian orang Acheh yang bersedia menjadi 
sarung tangan musuh, lhoh, tali barut, kibus alias kaki busuk dan sebagainya.

Peristiwa yang terjadi antara orang Acheh - Sumatra dan Hindunesia adalah 
lanjutan daripada pertempuran Habil dan Qabil dimana sampai detik ini orang 
Acheh - Sumatra belum beruntung. Ingat bahwa setiap "Hasan Tiro" meninggal 
dunia pasti akan muncul Hasan Tiro - Hasan Tiro lainnya. Kami yang di luar 
Negeri pantang menerima penipuan pihak Hindunesia. Dan kami ingatkan kepada 
piha Hindunesia bahwa kalah dan menang akan dipergilirkan Allah. Yang pasti 
semua orang yang bersatupadu dalam system yang menzalimi kaum dhuafa itu masu 
neraka kelak, kecuali orang yang dibenrkan Allah bertaqiyyah. Kami orang Acheh 
- Sumatra insya Allah tidak pernah tunduk dalam bingkai Hindunesia kecuali 
orang Acheh yang sudah hilang karakternya dan tidak sadar bahwa mereka sudah 
terjerat perangkap musuh melalui kedudukan, materi dan wanita. Ingat suatu saat 
mereka pasti mendapatkan balasannya.

Kepada orang non Hindunesia silaan baca http berikut ini agar memahami 
bagaimana ideology Hasan Tiro yang sesungguhnya:


Tgk Hasan di Tiro: Lumo djawa (jawa) dum di Atjèh (Aceh) ! 
http://www.youtube. com/watch? v=H7wcl7m8xp8&feature=related 

Tgk Hasan di Tiro: Ureuëng Atjèh Kahabéh Gadoh Karakter ! 
http://www.youtube. com/watch? v=H8mbiUwHpIY&feature=related 

Tgk Hasan di Tiro: Peuë (Puë) peunjakét Bangsa Atjèh uroë njoë ? 
http://www.youtube. com/watch? v=sbJsJtdDFE8 

Tgk Hasan di Tiro: Gubernur, Bupati, Camat dst nakeuh geupeunan Lhoh 
(Pengkhianat) ! 
http://www.youtube. com/watch? v=oqJYGoF0SMQ&feature=related 
Tgk
Hasan di Tiro: "Ureuëng njang paléng bahaja keu geutajoe nakeuh - djawa
keumah djipeugot urg atjèh seutotdjih nibak seutot geutanjoe. Mantong
na urg atjèh njang tém djeuët keu kulidjih, keu sidadudjih, keu
gubernurdjih, keu bupatidjih, keu tjamatdjih, dll. Mantong na biëk
droëteuh njang djak djôk dan peusah nanggroe atjèh keu djawa!"
 
http://www.youtube. com/watch? v=Gbjb04wKWow&feature=related 

http://achehkarbala.blogspot.com/2010/01/kapan-saja-kita-berniat-untuk-berunding.html
http://achehkarbala.blogspot.com/2010/04/siapa-yang-menganggap-acheh-sumatra.html
http://achehkarbala.blogspot.com/2009/09/perbedaan-antara-ulama-dan-ilmuwan_12.html





________________________________
From: Mr Murizal <mrmuri...@yahoo.com.sg>
To: ia...@yahoogroups.com; aceh_instit...@yahoogroups.com
Sent: Mon, June 7, 2010 8:36:14 AM
Subject: |IACSF| opini Teuku Kemal Fasya : Setelah Hasan Tiro Pergi

  
dear all
mantap tulisan Kemal
btw, ada yg bilang daud beureuh
turun krn pengikutnya udah byk menyerah
maka dia pun turun gunung sbg bagian dari cease fire

tentu byk versi yg bisa diungkapkan
mohon pencerahan
saleum
MH
----------

Setelah Hasan Tiro Pergi

Senin, 07 Juni 2010

Hanya sehari setelah mendapatkan sertifikat WNI, yang diantarkan langsung Menko 
Polhukam, Djoko Suyanto, Hasan Muhammad Di Tiro meninggal dunia pada Kamis, 3 
Juni 2010 pukul 12.15 WIB.

Sulaman takdir seperti menunggu jahitan terakhirnya, keluarnya surat resmi 
sebagai WNI, seperti memudahkan deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu untuk 
dikebumikan di bumi Aceh. Ia dimakamkan di samping makam kakeknya, Tgk Chik Di 
Tiro di Desa Meureu, Indrapuri, Aceh Besar.

Kepergiannya disaksikan sahabat perjuangan, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah 
(kakak ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah).

Anak semata wayang, Karim, buah pernikahannya dengan Dora, perempuan Amerika 
Serikat, tidak hadir. Alasannya ia tidak dapat meninggalkan ibunya yang juga 
telah renta.

Tapi di balik itu, Karim, yang juga asisten profesor sejarah di Xavier 
Cincinnati, Ohio, tidak siap jika ditahbiskan sebagai pelanjut sah perjuangan, 
termasuk menjadi Wali Nanggroe pertama Aceh.

Tokoh Tiga Generasi Dalam satu abad terakhir, hanya ada dua tokoh di Aceh yang 
begitu populer: Hasan Tiro dan Tgk Muhammad Daud Beureueh.

Daud Beureueh adalah tokoh yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) 
di Aceh pada 21 September 1953.

Ia mengangkat Hasan Tiro muda sebagai diplomat untuk kampanye internasional 
sekaligus penghubung untuk memasok senjata.

Sepucuk surat yang dikirimkan Hasan Tiro kepada Perdana Menteri Ali 
Sastroamidjojo pada 1 Maret 1954 membuat mantan gubernur militer Aceh, Langkat, 
dan Tanah Karo itu bangga bukan kepalang.

sampai hari ini, sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan 
atas tanah air dan bangsa kita. Tuan tidak mempergunakan kekuasaan yang telah 
diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, 
keadilan, dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia, malah menyeret kepada 
keruntuhan ekonomipolitik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara .

Dalam surat itu Hasan Tiro juga membuat ultimatum agar pemerintahan Ali 
Sastroamidjojo menghentikan agresi militer ke basis-basis DI/TII dan membuka 
perundingan dengan Daud Beureueh, SM Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan 
Ibnu Hajar (Cornelis Van Djick, 1983). Namun perjuangan DI/TII tak berumur 
panjang.

Lemahnya logistik perang, tekanan militer Indonesia, dan ditangkapnya 
Kartosoewirjo menyebabkan beberapa elite pemberontak Aceh mengambil jalan damai 
dengan pemerintah Indonesia.

Ikrar Lam Teuh (April 1957) menjadi kesepakatan damai pertama dalam sejarah 
Aceh, tidak dihadiri oleh Daud Beureueh, hanya diwakili Hasan Ali (perdana 
menteri DI/TII) dan Hasan Saleh (panglima DI/ TII). Konon Tgk Beureueh murka 
dengan sikap pragmatis rekan-rekannya.

Ketika akhirnya melunak dan mau turun gunung pada 8 Mei 1962, semata 
dilakukannya karena ada janji syariat Islam di belakang.

Di masa Soeharto, pada 70-an ketika ditemukan ladang gas cukup besar di Arun, 
Aceh Utara, Hasan Tiro mendeklarasikan kembali pemberontakan dengan semangat 
etnonasionalisme dan bukan agama (4 Desember 1976).

Saat itu Abu Beureueh tidak ikut-ikutan menghujatnya, seperti dilakukan Hasan 
Saleh, Husin Al-Mudjahid, dan tokohtokoh mantan DI/TII lainnya.

Diam-diam ia merestui pemberontakan Hasan Tiro (Nazaruddin Sjamsuddin, 
Pemberontakan Kaum Republik, 1990).

Ketika Soeharto jatuh pada 1998, pengaruh tokoh eksil dan tinggal di Norsborg, 
Stockholm, Swedia, ini tetap besar. GAM jilid kedua digerakkan oleh panglima 
militer binaan Libia, seperti Abdullah Syafi ’i , Ishak Daud, dan Muzakkir 
Manaf, tapi tak mengurangi ketakziman kepadanya.

Pasukan lapangan membenarkan semua keputusan Swedia , termasuk jika pun harus 
mengakui NKRI, seperti kesepakatan Helsinki.

Yang berdiplomasi dalam pertemuan Helsinki adalah Malik Mahmud, Zaini Abdullah, 
Bahtiar Abdullah, Nurdin AR, dan Nur Djuli, namun restu sang wali amat dinanti. 
Wali Nanggroe Struktur Wali Nanggroe adalah imbuhan baru dalam sistem 
pemerintahan Aceh, buah perjanjian Helsinki.

Konsep ini tidak dikenal dalam sejarah Aceh, pun kata Nanggroe dalam sistem 
kerajaan Aceh abad lalu adalah setingkat kabupaten/kota, berlawanan dengan 
gelora GAM agar Aceh menjadi negara.

Wali Nanggroe dipersiapkan sebagai struktur simbolis, layaknya kuasa citra para 
Mullah di Iran atau Raja Bumibhol Adulyadey di Thailand. Simbolisme Wali 
Nanggroe diharap menjadi perukun, jika ada selisih antara, misal gubernur dan 
ketua DPRD, atau masyarakat pesisir timur dan barat. Struktur ini sesungguhnya 
dipersiapkan untuk Hasan Tiro.

Apatah daya, hingga ia meninggal, DPR Aceh tak jua mampu merumuskan qanun Wali 
Nanggroe yang tepat, kecuali tafsir gelar adat biasa. Atau kita tinggalkan dulu 
debat terminologis Wali Nanggroe yang masih ambigu itu.

Yang penting ditunggu, siapa yang akan menjadi suksesornya, dan memegang 
kendali atas seluruh perjuangan panjang ini, yang kini telah bertransformasi ke 
dalam Partai Aceh. Karim jelas tidak mungkin karena ia bukan sosok populer di 
Aceh.

Malik Mahmud? Zaini Abdullah? Irwandi? Muzakkir Manaf? Siapa pun yang tersebut, 
tidak ada tokoh yang memiliki daya terima sebulat Hasan Tiro.

Konsolidasi eks GAM di masa akan datang adalah pokok bahasan di samping 
melanjutkan perdamaian dengan visi yang terukur dan kreatif, sehingga perang 
tak perlu menjadi tumbal lagi di Aceh. Akhirnya, Hasan Tiro pergi meninggalkan 
dunia sebagai WNI, meski hanya 26 jam.

Pemberian status ini menjadi pelopor rekonsiliasi dari Pemerintah Susilo 
Bambang Yudhoyono yang tepat waktunya. Inisiatif ini semoga tidak berhenti dan 
dapat dilanjutkan kepada tokoh-tokoh GAM lainnya, termasuk tokoh OPM dan RMS, 
agar wajah Indonesia kita kembali bersinar sempurna.

Penulis adalah Dosen Antropologi asal Aceh.
Teuku Kemal Fasya


http://www.koran- jakarta.com/ berita-detail. php?id=54082
 

 


      

Kirim email ke