Ref: Rejeki nomplok, kata orang disono.

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/26/151610/70/13/Elite-Elite-Kerdil

 |

Elite-Elite Kerdil 


Sabtu, 26 Juni 2010 00:00 WIB     

PANGGUNG politik kita hari-hari ini sangat diwarnai elite pemburu kekuasaan di 
segala jenjang jabatan publik. Bahkan, tanpa malu, mereka tidak peduli 
mendemosikan dirinya, mendegradasikan dirinya, asalkan punya jabatan publik. 

Bayangkan, ada elite yang sudah pernah menjadi menteri, eh mau juga turun 
jabatan menjadi wali kota. Ada yang sudah menjadi calon wakil presiden tapi 
gagal, oke saja menerima pinangan untuk menjadi calon gubernur. 

Malah ada wali kota yang sudah menjabat dua periode alias 10 tahun, tanpa malu 
mencalonkan diri menjadi wakil wali kota untuk periode berikutnya. 

Fenomena haus jabatan juga terjadi ketika sejumlah pejabat mendaftarkan diri 
menjadi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi menolak mundur secara 
permanen dari jabatan publik yang didudukinya saat ini. 

Semua itu dilakukan dengan berlindung kepada undang-undang. 

Bukankah undang-undang tidak melarang mantan wali kota mencalonkan diri menjadi 
wakil wali kota, mantan calon wakil presiden menjadi calon gubernur? 
Undang-undang memang tidak mengatur perihal jiwa kerdil semacam ini. 

Kasus paling baru ialah Andi Nurpati, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), 
yang kepincut menjadi pengurus Partai Demokrat, padahal ia masih aktif di KPU. 
Anggota KPU adalah posisi seorang wasit, tapi ingin juga menjadi pemain. 

Undang-undang jelas melarangnya, tetapi setelah mendapat kecaman keras, barulah 
Andi Nurpati mengundurkan diri dari KPU. 

Semua itu sedikitnya menunjukkan tiga hal. Yang pertama, jabatan publik di 
level nasional maupun lokal cenderung diperebutkan elite bangsa yang itu-itu 
saja. Hal ini sedikit atau banyak menunjukkan adanya kemacetan sirkulasi elite. 

Kedua, bertambah celaka, karena bukan hanya kemacetan sirkulasi elite yang 
menimpa negeri ini, melainkan juga kekerdilan jiwa. Hanya orang-orang yang 
kerdil jiwanya yang dengan sengaja dan tanpa malu mendemosikan dirinya, 
mendegradasikan dirinya, asalkan punya jabatan. 

Ketiga, hal itu juga bukti bercokolnya elite yang sepanjang hidupnya bergantung 
dan menyusu kepada negara. Bukankah dengan menjadi pejabat negara, 
hidupnya--mulai dari periuknya, mobil dinas, rumah dinas, sampai 
ajudannya--semuanya ditanggung negara? 

Ada orang di negeri ini yang sejak zaman Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Ibu 
Mega, hingga kini era SBY sebagai presiden, terus-menerus tiada kunjung putus 
hidupnya menyusu kepada negara. 

Akan tetapi semua itu dibungkus dengan alasan yang amat indah, yaitu masih 
ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Padahal, semuanya tidak lebih agar 
tetap menggenggam kekuasaan.

Kirim email ke