From: Seramoe Acheh <seramoe_ac...@yahoo.com> 
Sender: ia...@yahoogroups.com 
Date: Fri, 27 Aug 2010 04:46:06 -0700 (PDT)
To: <ia...@yahoogroups.com>
ReplyTo: ia...@yahoogroups.com 
Subject: |IACSF| (unknown)

  


Ngeut dan Teungeut
Tulisan ini hanya hendak mengulas sisi penggunaan kata “jipeungeut” dalam 
menerjemahkan kata “ditipu”. Bahasa Aceh termasuk salah satu bahasa yang kaya 
dalam khazanah Melayu. Terdapat beberapa kosa kata yang tidak ditemukan kata 
sepadan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Misalnya, kata 
“geureupoh” (kandang ayam/bebek), “ceuntra” (kandang burung), dan “weueu” 
(kandang sapi) sering diterjemahkan sabagai kandang dalam Bahasa Indonesia. 
Padahal dalam khazanah Aceh kata-kata itu mempunyai ciri dan penempatan 
tersendiri. Beda jenis binatang, beda pula penyebutannya.

Selanjutnya, orang Aceh kerap menerjemahkan kata “ditipu” sebagai “jipeungeut”. 
Misalnya, saat muncul sub judul “Pemerintah Aceh Kecewa dan Merasa Ditipu Lagi” 
di halaman depan Harian Serambi Indonesia (13/08/2010), hampir semua orang Aceh 
berujar: “Kajipeungeut lom”!

Kata “jipeungeut” berasal dari kata dasar “ngeut” dengan penambahan “ji” dan 
“peu” sehingga menjadi kata aktif. “Ngeut” tidak bermakna bodoh, melainkan 
bodoh di atas bodoh atau dungu alias tolol. Sementara kata bodoh dalam Bahasa 
Aceh adalah “bangai”. Orang “bangai” jika disekolahkan dapat berubah menjadi 
pandai. Sementara orang “ngeut” walau pun disekolahkan dia tetap saja akan 
“ngeut”, atau minimal “ngeut ujong”. Jadi, menerjemahkan kata “ditipu” menjadi 
“jipeungeut” adalah kurang tepat.

Menerjemahkan “ditipu” menjadi “jipeungeut” dapat meruntuhkan martabat orang 
Aceh. Sebab, secara tidak langsung, orang Aceh telah mengakui adanya 
benih-benih “ngeut” dalam tubuhnya. Sebenarnya terdapat kata lain yang lebih 
“santun” untuk menerjemahkan kata ditipu, yakni “jitaki”, “jitipee” atau 
“jipeubangai”. Tapi, anehnya, hampir semua orang Aceh lebih senang menggunakan 
kata “jipeungeut” untuk kata ditipu. Apakah ini sebuah kebetulan, kesengajaan 
atau memang betul-betul adanya benih “ngeut” yang menyatu dengan jasad? 
Entahlah!

Ngeut dan teungeut
Untuk memperkuat argumentasi bahwa “ngeut” (kata sifat) bermakna dungu, tolol 
atau la ra’du (reudok tan jiteupeu), di sini kami coba mengaitkan penggunaan 
kata dasar ngeut itu pada kata teungeut (tertidur, kantuk). Sebagaimana kata 
“jipeungeut”, kata “teungeut” juga berasal dari kata “ngeut” dengan penambahan 
“teu”. Orang yang sedang teungeut (tertidur) dipastikan tidak mengetahui 
apa-apa, karena terlelap dalam tidurnya. Apa pun aktivitas orang-orang di 
sekitarnya--walau jempolnya dipinjam untuk mensahkan surat-surat penting-- dia 
tidak menyadarinya sama sekali.

Sementara orang “ngeut”, meskipun kondisi fisiknya berada di alam sadar dan 
matanya terbelalak bak burung hantu, tapi sesungguhnya dia tidak mengetahui 
apa-apa, sehingga dengan mudah dapat “jipeungeut” oleh orang lain. Nah, dalam 
hal ini, perbedaan antara orang yang “jipeungeut” dengan orang “teungeut” 
hanyalah pada kondisi fisiknya. Kalau orang yang “jipeungeut” matanya 
membelalak tapi dia tidak mengetahui apa-apa, maka orang “teungeut” secara 
fisik dan pikiran memang tidak mengetahui apa-apa.

Orang “teungeut” saat terbangun dia akan menyadari bahwa dirinya ada. Sementara 
orang “ngeut” sepanjang sejarah hidupnya dia tidak tahu dan tidak mau tahu 
apa-apa, atau dalam bahasa gaul sering disebut “blo on”. Ureung ngeut mata 
teubleut, ureung teungeut mata teupet (orang tolol matanya terbelalak, 
sementara orang tertidur matanya terpejam). Begitulah perbedaan antara orang 
“ngeut” dan orang “teunget”, yang sebenarnya kedua-duanya tidak mengetahui 
apa-apa.

Kami yakin bahwa bahasa dapat mencerminkan identitas bangsa. Bangsa yang santun 
akan senang menggunakan bahasa yang santun. Bangsa yang maju dan berperadaban 
akan selalu memperbaharui bahasanya dengan kosa kata baru yang maju, sehingga 
menjadi magnit bagi bangsa lain untuk memperlajarinya. Kita tentu berharap agar 
Aceh mampu memajukan identitas diri sebagai suku bangsa bermartabat dan 
berperadaban, baik melalui bahasa, intelektual dan aksi sehingga tidak dapat 
mudah “jipeungeut” di siang bolong karena orang Aceh tidak bergaris keturunan 
dari endatu yang ngeut. Semoga!


=========================

Tgk Hasan di Tiro: Awaknjan mandum ka pungo ! Kadjitém seumah dan teurimong 
peurintah bak djawa ! 
http://www.youtube.com/watch?v=9kFTIbL48Og





 
Tengku Hasan di Tiro: "Ureuëng2 lagÚë  lÎn siribÚë go leubÚh got maté nibak 
didjadjah lé djawa !http://www.youtube.com/watch?v=oqJYGoF0SMQ 
 
 Tgk Hasan di Tiro: Lumo djawa (jawa) dum di AtjÚh (Aceh) ! 
http://www.youtube.com/watch?v=H7wcl7m8xp8&feature=related 
 
Tgk Hasan di Tiro: Ureuëng AtjÚh Kahabéh Gadoh Karakter ! 
http://www.youtube.com/watch?v=H8mbiUwHpIY&feature=related 

Tgk Hasan di Tiro: Peuë (Puë) peunjakét Bangsa AtjÚh uroë njoë ? 
http://www.youtube.com/watch?v=sbJsJtdDFE8 

Tgk Hasan di Tiro: Gubernur, Bupati, Camat dst nakeuh geupeunan Lhoh 
(Pengkhianat)! 
http://www.youtube.com/watch?v=oqJYGoF0SMQ&feature=related 
 
Tgk Hasan di Tiro: "Ureuëng njang paléng bahaja keu geutajoe nakeuh - djawa 
keumah djipeugot urg atjĂšh seutotdjih nibak seutot geutanjoe. Mantong na urg 
atjÚh njang tém djeuët keu kulidjih, keu sidadudjih, keu gubernurdjih, keu 
bupatidjih, keu tjamatdjih, dll. Mantong na biëk droëteuh njang djak djÎk dan 
peusah nanggroe atjĂšh keu djawa!" 
http://www.youtube.com/watch?v=Gbjb04wKWow&feature=related 

MoU Helsinki is worse than Special Autonomy !
MoU Helsinki njan leubĂšh brĂŽk nibak Otonomi Khusus !
http://www.youtube.com/watch?v=HXyH-o4Ab84&feature=related

DRAMA SEUDJARAH ATJÈH. Act-5. Scene-3. Peumandangan lam kÚm Tjut Njak Dien (1) 
http://www.youtube.com/watch?v=2p-hnVyXO1A
 
http://www.freeacheh.info/B/ "Sesungguhnya jika sebagian di antara kita yang 
dewasa ini bermegah dengan kedudukan dan kekayaan yang mereka dapatkan dari 
menghambakan diri kepada penjajah, adalah pribadi-pribadi yang meracuni dan 
melecehkan ideologi Acheh Merdeka yang beliau lahirkan, dan kepada mereka masa 
kehancuran akan datang yang membuat mereka lebih nista daripada kaum penjajah."



      

Kirim email ke