Salam,
 
Setelah saya membaca komentar Agus Rejeki dan Udien Yulianto tersebut, bayangan saya langsung kembali ke cerita-cerita orang Arab zaman kuno dulu. Ketika ada kesempatan bertemu dengan para pembesar, mereka langsung memijit kaki-kakinya sambil mengelus-ngelus minta ini dan minta itu. Pujian kepada raja yang tak bernilai dan sebenarnya hampa itupun mengalir dari mulut-mulut yang selalu mengiba dan meminta-minta. Nah, ini pulalah yang sering diperlihatkan oleh warga Indonesia, termasuk kita-kita yang berada di India dan boleh dibilang volume untuk bertemu dengan orang-orang besar itu cukup terbuka.
 
Saya hanya merasa aneh, mengapa Presiden SBY lantas tersinggung ketika dikritik? Tidakkah Presiden SBY sadar bahwa sebelum ia dipilih menjadi presiden itu bahwa ia sudah pasti akan banyak menuai kritikan? Presiden SBY dan Agus Rejeki serta Udien Yulianto harus menyadari bahwa krititikan itu sdh merupakan konsekwensi dari jabatan yang disandangnya. Dan yang dikritik oleh rakyat (baca: Tylla) juga kepemimpinan Presiden SBY, BUKAN personal SBY. Jika kamaren Presiden SBY tak menjadi presiden, niscaya kita tak akan mengkritisi kinerja Presiden SBY itu. Bahkan bisa jadi, kita tak mengenalnya.
 
Agus Rejeki menulis, "saya pikir kemarahan bapak presiden adalah rasa nasionalisme yang dimiliki oleh beliau, ketika pemerintahan negara kita hanya disalahkan terus menerus  tanpa melihat permasalahan2 yang ada dan tanpa memberikan solusi". Disini saya melihat Agus Rejeki mungkin kurang cermat terhadap kata-katanya sendiri. Kita mengkritisi kinerja Presiden SBY karena kita melihat permasalahan2 yang ada, bukan karena kita tak melihat. Dan kita mengkritisi kinerja Presiden SBY juga karena rasa nasionalisme yang kita miliki. Kalau kita diam-diam saja atau malah mendukung kinerja Presiden SBY yang serampangan, berarti kita tak memiliki rasa nasionalisme lagi. Sebenarnya tahukah Anda what nasionalism is? Sengaja 'what nasionalism is' itu saya sampaikan dalam bahasa Madura sedikit supaya lebih kren seperti Presiden SBY yang sering mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ketika berbicara di depan rakyat yang pada hakikatnya bahasa Indonesia saja nggak paham.
 
Jadi, Agus Rejeki tak perlu langsung menyalahkan Tylla bila Presiden SBY tersinggung dengan kritikan yang dilontarkan. Saya malah senang bila Presiden SBY tersinggung bila dikritik, karena dengan demikian, ia akan selalu ingat dengan kritikan itu. Tapi kalau dipuja dan puja terus, saya khuwatir nantinya Presiden SBY jadi terlena. Sungguhpun demikian, saya tetap menghargai petuah bu Niniek, bahwa metode penyampaian yang baik itu juga perlu. Saya yakin bagi mereka yang lulusan Pesantren kenal betul dengan ungkapan ini, "At-Tariqatu Ahammu Minal Maaddah". Maksudnya, "Metode penyampaian itu juga tak kalah pentingnya dengan materi yang disajikan atau dipaparkan".
 
Di lain hal, saya juga mempertanyakan cara pikir dan cara pandang yang dimiliki Udien Yulianto ini yang mengibaratkan Tylla seperti seekor itik yang baru menetas. Sebaliknya saya melihat Udien Yulianto ini seperti orang Arab yang dikisahkan pada zaman kuno dahulu itu. Mengapa Udien Yulianto harus mengurut dada? 
 
Saat Presiden Megawati datang ke India tempo hari (Udien Yulianto mungkin masih di Indonesia), teman kita Syarifuudin Sardar, lulusan Psikologi (M.A.) Aligarh Muslim University, dan sekarang sudah bekerja dengan gaji awal Rp. 15.000.000,- (baca: 15 juta rupiah) ketika itu juga mengkritisi kebijakan negara Indonesia mengenai masalah pendidikan ini. Arif, (panggilan Syarifuudin Sardar) juga mempertanyakan harga-harga buku di Indonesia yang sangat mahal itu. Sudahlah harga buku mahal, kebiasaan orang Indonesia malas membaca lagi, ya jadi komplitlah permasalahannya. Buku mahal plus kebiasan malas baca akan menetaskan manusia-menusia bebal. Diantara salah satu bentuk bebal itu adalah tak peka dengan kejadian yang ada disekitarnya sekaligus senang dipuji tapi takut dikritisi.
 
Bagaimana sikap Presiden Megawati menghadapi kritikan Arif ini? Presiden Megawati mengatakan bahwa mahalnya harga buku itu hanyalah disebabkanoleh ulah para penerbit buku tersebut. Jawaban yang tak berbobot seperti ini juga sempat dilontarkan oleh  keluar dari Ibu Mardiah yang mengepalai rombongan study banding Departement Pendidikan Nasional tahun lalu. Ketika saya tanya, "Oii Buk, mengapa pulalah di Indonesia tu setiap berganti menteri pendidikan, maka buku pegangan siswa/i pun jadi berubah pula? Apakah cetak-mencetak buku tersebut juga dijadikan "proyek basah" di Departemen Pendidikan Nasional tu?" Eh ibu Mardiah malah menyalahkan bahwa itu juga disebabkan oleh penerbit buku. Dan saya merasa malam itu, abislah masyarakat kita ditipu bulat-bulat oleh orang-orang Depdiknas tersebut. Bagaimanapun juga, Bpk. Mushlih, Kabiro Hukum Depdiknas RI masih mau ngasi buku buat saya malam tu, kalau nggak, pelit betullah orang-orang Depdiknas ni.
 
Ibu Niniek menulis, "Bahkan jauh hari sebelum hari -H, kami sebagai penyelenggara telah diwanti wanti agar tidak merekayasa pertanyaan seperti yang biasa dilakkukan dijaman orba dulu. Biarkan interkasi berlangsung apa adanya, mengalir... " Menanggapi ucapan Ibu Niniek ini, saya juga merasakan adanya perubahan positif di lingkungan KBRI. Ketika awal-awal saya datang, dan juga sering mengkritisi setiap pejabat yang datang, biasanya ada yang sudah berpesan, "Zam, nanti kalau bertanya jangan keras ya?" 
 
Nah, di awal era kepepemimpinan Bpk Donnilo ini, saya salut dengan beliau yang mempersilahkan mahasiswa/i untuk bertanya sepuas-puasnya. Tapi belakangan ini, ada sesuatu yg berubah, kesempatan bertanya itu langsung disumbat oleh Bapak Donnilo yang ditambah lagi dengan pembatasan undangan untuk mahasiswa. Apakah karena mahasiswa/i di India ini selalu absen bila ada upacara resmi, dan selalu hadir bila ada acara makan, atau mungkin karena kehadiran mahasiswa/i hanyalah menjadi beban bagi KBRI sehingga undangan itu dibatasi? Entahlah, semuanya masih menjadi tanda tanya, minimal bagi diriku yang kini terjepit di desa yang malamnya kembali memakai pelita dan lampu teromak. :) Yang jelas, kami merindukan kebebasan untuk bertanya seperti yang disuguhkan oleh Bapak Donnilo di awal era kepemimpinannya.
 
Demikianlah ceramah subuh saya pagi ini, selamat menikmati pisang goreng dan teh hangat bersama keluarga anda. Kepada Agus Rejeki dan Udien Yulianto, serta kaum-kaum yang tak berkenan dengan tutur saya diatas, saya mohon untuk dimaafkan. As the questions are arised we are many but as a human we are one. Demikian kata dukun-dukun di kampungku ketika melepas kepergianku ke India ini. Dan Rasulullah sendiripun sdh mengingatkan kita bahwa "Perbedaan (pendapat) di tengah-tengah ummatku nanti itu adalah merupakan rahmah".
 
Presiden SBY dan Tylla berbeda pendapat, tapi yakinilah bahwa itu semua merupakan rahmah (kasih sayang). Tylla mengkritisi karena Tylla masih saya dengan Indonesia dan Presiden SBY terisnggung juga karena Presiden SBY masih sayang dengan Indonesia. Kini, kita hanya patut mempertanyakan diri kita, bagaimana sikap kita memandang Indonesia? Saya yakin Agus dan Udien jauh lebih memahami apa maksud saya.
 
Ada satu pesan buat Udien Yulianto yang memiliki teman habat di IBM. Bahasa Tamilnadunya begini: "Laitsal fataa man yaquulu hadza abi, walakin al-fataa man yaquulu ha ana dza". Kalau bahasa Indonesianya, "Bukanlah seorang yang jantan bila selalu mengandalkan orang lain, tapi yang jantan itu adalah yang berani menepuk dadanya, inilah aku". Anwar Chairil juga bilang "Aku adalah Aku". Sekali lagi orang yang jantan adalah bukan orang yang mengurut dada bang Udien. Banyaklah belajar dan banyaklah membaca, terutama membaca alam, yang juga merupakan ayat-ayat Tuhan, Robbul 'Alamin.
 
Wassalam,
 
IzaM -
(Peternak itik)
 
 
agus rejeki <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Selamat Siang,
Salam Kenal Dik Tylla.
Saya telah membaca berita di Kompas, saya hanya sedikit mengomentari bahwa apa yang adik lontarkan kepada Bapak Presiden adalah mungkin masalah2yg dihadapi oleh bangsa kita (karena saya tidak hadir di pertemuan itu). sehingga dalam penyampaiannya menjadi kurang berkenan, sehingga Bapak Presiden Kita menjadi agak marah. saya pikir kemarahan bapak presiden adalah rasa nasionalisme yang dimiliki oleh beliau, ketika pemerintahan negara kita hanya disalahkan terus menerus  tanpa melihat permasalahan2 yang ada dan tanpa memberikan solusi , saya rasa wajar kalau beliau marah. Sekali lagi marilah untuk kita semua apabila  kita mengeritik siapapun baiklah mengeritik dengan sopan dan berilah solusi yang baik. Salam agus R (alumni Roorkee 2005)


* * * * *
Zamhasari Jamil
Department of Political Science
Aligarh Muslim University, Aligarh
Website Kampus  : http://www.amu.ac.in
Website Pribadi    : http://www.e-tafakkur.blogspot.com
Website PPI India : http://www.ppi-india.org
Email: izamsh@ yahoo.com


Yahoo! Shopping
Find Great Deals on Holiday Gifts at Yahoo! Shopping

_________________________________________________________________________
Mhs/Masy. indoindia diharapkan untuk selalu melihat diskusi harian di http://dear.to/ppi dan situs resmi PPI http://www.ppi-india.org ==========================================================================
Catatan penting:
1- Harap tdk. memposting berita, kecuali yg  berkenaan dg masyarakat/mahasiswa/alumni India
2- Arsip milis: http://groups.yahoo.com/group/ppi-india ;
3- HP Ketua PPI (Mukhlis): 09871815229 ; Sek. PPI(Herman): 09897160536
4- KBRI Delhi(11)26110693;26118642; 26118647
5- KJRI Mumbai (022)3868678;3800940;3891255




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke