SURAT KEMBANG KEMUNING: MENEROBOS LINGKARAN DOMINASI
Dari Melbourne, tanggal 1 Juni 2004 pagi waktu Paris, El Camino saudaraku mengirimkan surat di bawah ini: "Puisi dan jalanan Sering kali puisi terbit di media karena penulisnya punya nama. Sering puisi anak muda yang bukan siapa-siapa, tak ada yang mau tahu walaupun punya mutu. Sering yang memberikan review atau kritik (contohnya dulu H.B. Yassin) malah menjadi semacam Soeharto-nya bumi sastra. Kita dijajah oleh seleranya. Siapa yang in dan siapa yang out, tergantung kritik. Contohnya penulis semacam Motinggo Busye, Remy Sylado atau Ashadi Siregar, tidak pernah dianggap masuk apa yang disebut sastra. Walaupun novel atau cerpen, bahkan dramanya (Malam Jahanam, Barabah dan sebagainya) bisa dibilang bermutu. Bagaimana bisa begitu? Please explain Bung Kusni! ---------------------- Terima kasih Saat angin bagaikan tamparan dingin, 2004. EC" Kata-kata "Please explain", bagiku berarti tidak lain dari pertanyaan bagaimana pendapatku, dan sangat jauh dari pengertian bahwa aku menguasai permasalahan yang diketengahkan. Telah dimintai pendapat memang suatu penghormatan tersendiri karena itu kepada El Camino aku patut menyampaikan terimakasih. Kukira apa yang dilukiskan oleh El Camino dalam surat pendeknya di atas bahwa "Sering kali puisi terbit di media karena penulisnya punya nama. Sering puisi anak muda yang bukan siapa-siapa, tak ada yang mau tahu walaupun punya mutu", sesungguhnya adalah lukisan kehidupan yang dialami oleh sastrawan-sastrawan berbagai negeri, bukan hanya terjadi di Indonesia sebelum mereka mempunyai nama dan setelah nama itu terbentuk. Ketika nama sudah terbentuk, tidak jarang apa yang mereka tuliskan dipandang semuanya bermutu dan tak ayal lagi karya-karya tersebut akan menghiasi lembaran-lembara penerbitan. Membangun nama sebagai penulis adalah periode susah-payah. Periode ini dari para penulis dituntut kegiatan berlipat ganda dan luar biasa untuk belajar dalam arti luas, baik dari buku, dari para penulis terdahulu, dari kehidupan maupun dari praktek berkarya. Berkarya dan membanding. Mencoba dan melakukan rupa-rupa eksperimen dan dengan ketajaman mata elang mengamati. Periode membangun nama adalah periode membangun dasar diri sebagai penulis. Selain keuletan dan kerjakeras, proses ini juga memerlukan kerendahan hati. Aku menggarisbawahi sikap rendah hati ini, karena kepongahan akan menghambat pencarian, usaha belajar dan pembentukan diri. Apalagi aku tetap memahami bahwa lahirnya seorang sastrawan adalah proses menjadi dan proses menjadi ini tidak bisa didapat dengan resolusi ataupun tuntutan untuk diakui. Sastrawan menjadi sastrawan, kadarnya sebagai sastrawan adalah karena karya. Aku kira, adanya kelompok seperti TUK, MKB, Meja Budaya, Tobucil, Lingkom, ISASI, Payung Hitam, Grup Sastraa Tegal, dan kelompok-kelompok lain yang tersebar di berbagai pulau dan daerah, sungguh patut disyukuri karena kelompok-kelompok ini kongkret banyak membantu pertumbuhan mereka yang sedang membentuk diri dan membangun nama. Rendra dan Goenawan Mohamad, kukenal memang menaruh perhatian besar pada perkembangan seniman-seniman muda. Suka tidak suka, dan aku tidak mencurigai dengan pandangan negatif, jika penulis-penulis terdahulu dengan satu dan lain cara mengangkat seniman-seniman dari angkatan di bawahnya sesuai dengan pernilaian mereka. Sebab perkembangan selanjutnya dari seniman-seniman yang diangkat tetap akan ditentukan oleh pribadi seniman-seniman yang telah diangkat itu. Aku melihat usaha demikian justru patut dihormati. Apa yang dilakukan oleh seniman terdahulu tidak lebih dari membukakan gerbang ke ruang lebih luas. Bagaimana mereka yang diangkat itu berjalan di ruang luas itu selanjutnya, mereka sendirilah yang menentukannya. Kemampuan dorongan punya keterbatasan. Dalam hubungan ini aku teringat bagaimana para seniman muda Jogja pada tahun 1960an membangun nama dan dirinya sebagai seniman mulai dari bawah. Warung-warung dan Pasar Beringharjo merupakan tempat berkumpul sampai subuh oleh mereka. Demikian pula sanggar-sanggar. Diskusi demi diskusi, kegiatan demi kegiatan dilakukan tanpa henti. Salah satu pusat kegiatan dan penyalur kegiatan adalah forum Remaja Nasional, harian Nasional , Jalan Tanjung, Jogjakarta dan Kawanku, lampiran Harian Kedaulatan Rakyat. Kegiatan seniman-seniman muda mendapat sokongan kuat dari lembaga-lembaga pers, pendidikan dan kebudayaan DI Jogjakarta. Lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh kota memandang penting peranan anak muda. Yang menyenangkan dan mengesankan bahwa para seniman terdahulu terasa memberikan peluang maju dan kongkret membantu barisan seniman di bawah mereka. Dengan segala macam rupa perbedaan pandangan, boleh dibilang seniman-seniman Jogja pada waktu itu merupakan satu barisan relatif serempak. Jogja secara keseluruhan merupakan kawah penempaan diri. Orang-orang berkarya dan terus berkarya tanpa hirau diterbitkan tidaknya karya mereka. Jika ditolak oleh sebuah majalah atau harian, mereka akan terus menulis dan mengirimkan kembali karya-karya mereka. Aku kira di sinilah peranan tak terlupakan dari Remaja Nasional dan Kawanku atau Majalah Minggu Pagi, Mingguan Minggu dan Pesat. Tidak bisa dilupakan juga adalah sumbangan darti Budaya, Basis, Majalah Gama dan Majalah Gadjah Mada sebagai penyalur karya-karya para seniman berbagai angkatan usia. Pada saat ini aku menyaksikan iklim politik relatif menyediakan kemungkinan bagi suasana "biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara". Keadaan begini melenyap menyusul meletusnya Tragedi Nasional September 1965. Debat menjadi suara terbungkam. Jogja sepi dan diam. Tidak sedikit para penulis yang hilang tak menentu rimbanya, terbunuh dan dilempar ke penjara atau pulau pembuangan. Mereka baru muncul kembali seakan mulai dari nol kembali setelah tigadasawarsa dibungkamkan. Yang ingin kutunjukkan dengan hal ini bahwa pertumbuhan sastra-seni, termasuk pertumbuhan dan perkembangan para seniman muda erat berhubungan dengan iklim politik tertentu. Pertumbuhan dan mutu tertentu yang bisa diharapkan jika di dunia politik terdapat iklim yang membantu: tidak represif. Berlomba serta saling bantu dalam berkarya dan berkarya antar seniman berbagai angkatan usia dengan segala perbedaan pandangan, membantu pertumbuhan angkatan muda menandai iklim sastra-seni Jogja pada waktu itu. Angkatan muda Jogja pada waktu itu kiranya pantas berterimakasih kepada Pater Dick dari Basis, Grup Minggu Pagi, Kirdjomulio dari Budaya, Oyik dari Minggu, Rendra dengan Teater Rendra-nya, Prof.M.A. Jaspan dari Universitas Gadjah Mada, Soendoro dari Lembaga Pers, Mansur Samin dari RRI Solo, dan sederetan nama lain. Lebih-lebih kepada Kedaulatan Rakyat dan Harian Nasional. Berkat jasa merekalah kemudian tumbuh sebarisan seniman muda yang relatif sehat dan produktif seperti antara lain Arifin C Noer, Darmanto JT, Danarto, dan lain-lain... Jogja-Solo merupakan satu poros kegiatann dari mana kemudian mereka mendorong Semarang, Klaten, Salatiga untuk berkembang . Sedangkan untuk kegiatan, ruang-ruang Universitas Gama, Taman Siswa dan IAIN selalu terbuka bagi para anak muda mengembangkan prakarsa serta kegiatan. Tidak terkesan padaku pada ketika itu anak-anak muda terlalu hirau pada dimuat tidaknya karya mereka karena mereka mempunyai sarana penyalur sendiri dan sungguh mendapat bantuan dari para seniman di atas mereka. Yang lebih mereka hiraukan adalah berkarya dan melahirkan karya. Dengan semangat inilah dalam bentuk sederhana mereka membuat antologi puisi seperi "Sanjak Dan Bunga" yang mungkin sekarang arsipnya di perpustakaan pun sudah tak ada. Tapi antologi itu pernah ada. Dengan keadaan seperti itu rasanya aku akan bersalah besar jika tidak bisa berterimakasih kepada para seniman pendahulu, jika mengatakan bahwa di Jogja: " Sering puisi anak muda yang bukan siapa-siapa, tak ada yang mau tahu walaupun punya mutu". Mereka, angkatan lebih dahulu sangat peduli pada anak-anak muda. Mereka adalah sahabat dan guru seniman-seniman muda pada waktu itu. Tapi dengan kalimat-kalimat ini, akupun tidak menyangkal apa yang ditulis oleh saudaraku El Camino itu. Sebab barangkali pepatah tetua ini "lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya" bisa turut menjelaskan situasi yang berkembang terus, termasuk kehidupan dunia sastra-seni di negeri ini. Lain zaman lain pula keadaannya. Masa silam dan sejarah barangkali bisa jadi cermin untuk melihat hari ini, untuk menghidupi hari ini dan hari-hari yang patut dijelang. Positif atau negatif keadaan di kalangan para seniman pada masa sebelum September 1965, masing-masing bebas berkata dan menelaahnya. Tapi Jogja pernah mengenal periode "biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara" dan tak siapapun yang dirugikan. [Bersambung .....] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/