CATATAN UNTUK EVA KUSUMA SUNDARI [2];
Selanjutnya, tanggapanbalik terhadap tulisan Eva [yang akan selalu saya lampirkan sebagai acuan], saya lakukan dengan menggunakan metode pencermatan alinea demi alinea. Pada alinea kedua, Eva menulis: "Pertama sekali saya ingin berkomentar soal ajakan untuk stop bule yang tidak memihak dayak tapi dengan memperluasnya termasuk untuk menstop Dayak dan pribumi Jawa yang juga berwatak menindas para marhaen yang dalam hal ini adalah indegenous people." Dari alinea ini saya mengangkat masalah-masalah berikut: [1]. "stop bule yang tidak memihak Dayak"; [2]. pribumi; [3]. marhaen; [4]. indegenous people; [5]. penindasan yang bangsa dan bangsa sendiri. Bukankah dari aline di atas terdapat masalah-masalah tersebut dan Eva memang ingin memperluas lingkup komentarnya ke soal-soal tersebut? ["..] saya ingin berkomentar ... tapi dengan memperluasnya termasuk untuk menstop Dayak dan pribumi Jawa yang juga berwatak menindas ..."], tulis Eva. Tolong dikoreksi jika saya melakukan kesalahan baca. [1]. Stop Bule Yang Tidak Memihak Dayak. Dengan menggunakan perumusan begini, Eva secara tersirat nampak membedakan adanya dua tipe bule yang ada di Tanah Dayak yaitu bule yang memihak masyarakat Dayak dan bule yang tidak memihak Dayak. Kebetulan sekarang di Kalteng, dengan Tangkiling sebagai perkampungan utama mereka, terdapat bule-bule Subud. Apakah bule-bule Subud ini "memihak Dayak" atau tidak? Jawaban Eva terhadap pertanyaan ini tertuang antara lain dalam kalimat-kalimat berikut: "Perkampungan itu bukan MNC dan memang menyakitkan melihat para bule hidup berbeda standar. Tapi mau gimana, mereka tidak doyan ubi, naik angkot, tidak bisa ngomong dayak dst yang prinsipnya ukuran bajunya tidak sama dengan kita2. Bukan hanya itu, mereka juga membawa gaya hidup dari kampung mereka yang menyakitkan mata orang2 lokal. Sementara kita mencari duit mereka buang2 duit. Justru menurut saya, mereka agak eksentrik karena ke Kalteng lebih didorong alasan spiritual daripada motive profit. Artinya kalau toh ada yang berbisnis, itu lebih coba2 karena sifatnya masih individual investor". Dari kalimat-kalimat di atas nampak bahwa Eva secara tidak langsung membela sambil menuduh orang lokal menggunakan "ukuran baju" sendiri untuk melihat para bule Subud itu. "Ukuran baju" tentunya baju kepentingan. Pertanyaan saya: Untuk kepentingan siapa gerangan Subud datang ke Kalteng? Salahkah orang-orang Kalteng, khususnya masyarakat Dayak yang merupakan mayoritas penduduk propinsi ini melihat masalah dari ukuran baju kepentingan diri mereka? Kalteng ini pertama-tama, kampung bule atau siapa lagi ataukah kampung kelahiran orang Dayak? Dengan tudingan bahwa orang lokal mengukur sesuatu dengan "bajunya sendiri" tentu baju kepentingan, saya mempertanyakan Subud dan bule Subud termasuk Eva yang anggota Subud sejak 1991 berpihak kepada siapa? Pertanyaan ini saya tanyakan dengan segala ketercengangan mendengar Eva berteriak lantang "merdeka" tanpa jelas apa arti kemerdekaan yang diserukan, bicara tentang "marhaen" dan "indegenous people" sambil jarinya menuding kalian mengukur orang lain dengan "ukuran bajunya" sendiri. Saya khawatir dengan sikap ini , Eva menulis sebagai seorang partisan dan sudah lupa pada keinginannnya untuk mencari obyektivitas serta syarat-syarat mendapatkan obyektivitas relatif itu. Kalau dari apa yang saya tulis ini masih ada unsur-unsur kebenaran, saya ingin lihat , sejauh mana Eva masih memiliki kejujuran untuk sanggup mengatakan putih pada yang putih , hitam pada yang hitam sesuai keinginannya memperoleh "balance" dan obyektivitas.Dan katakan secara terbuka jangan melalui japri. Dari kesanggupan ini juga nampak kepada siapa sesungguhnya kalian , termasuk Anda, berpihak dibalik retorika yang dipekikkannya sambil memperlihatkan sikap "memihak Dayak". Kata-kata sering tertampar dan ditampar oleh kenyataan. Orang Dayak mengenal ulah ini. Kalau Eva memang benar mengenal masyarakat Dayak Kalteng khususnya dan Kalteng umumnya, seperti yang Anda ucapkan untuk meyakinkan pembaca bahwa ia tidak berbicara sembarangan, dengan mengenal sejarah Dayak, Eva akan tahu bahwa sejarah etnik ini adalah sejarah perjuangan melawan penindasan dan ethnocide budaya [bahkan!]. Kalteng sebagai propinsipun lahir dari perjuangan mandi darah. Dari lembaran-lembaran sejarah Dayak, Eva akan tahu bahwa umumnya para bule datang ke Tanah Dayak tidak dengan maksud baik. Karena itu orang Dayak Katingan menyimpulkan bule [waktu itu Belanda] tidak lain dari bakara [sejenis kera berbulu merah]. Saya katakan sejarah Indonesia mengenal bakara dan macam-macam kera [Di Tanah Dayak, kera adalah pandangan terendah pada mahluk hidup, apakah Eva tahu?]. Katakan secara terbuka, sekarang!, umumkan secara terbuka untuk apa proyek Subud di Kalteng. Jangan sembunyi-sembunyi. Jangan Dayak dikambinghitamkan jika Dayak membela baju kepentingan hidup mereka di kampunghalaman mereka. Eva perlu catat benar, Kalteng pertama-tama adalah kampunghalaman orang Dayak. Dan Dayak tidak perlu messias bule, tidak juga memerlukan messianisme Anda nyang bernama Eva jika memaksakan kepentingan politik dan ekonomi yang bertentangan dengan kepentingan orang lokal. Dayak ada dan bisa hidup sebelum kalian datang. Tahukah Anda konsep hidup mati manusia Dayak?! Penindasan bule dan orang luar terhadap Dayak tercatat dalam sastra oral mereka. Anda yang mengaku kenal Dayak dan masyarakat Dayak selayaknya tahu akan hal ini.Menurut tuturan sastra lisan Dayak Kalteng, khususnya Katingan, untuk memetik buah kelapa , orang Dayak tidak perlu memanjat batang kelapa ,cukup dengan menaiki bangkai lawan yang berambut pirang, bermata biru dan macam-macam warna lagi. Kalau Anda mengenal kisah tambang emas Indo Moro Kencana dari Australia di Barito Utara, Anda akan tahu apa yang dilakukan oleh perusahaan ini di Kalteng. Apa untungnya bagi mayoritas penduduk lokal dan barangkali Anda akan lebih hemat dengan kata-kata . Maaf, dengan kalimat-kalimat alinea kedua Anda di atas, agaknya Anda sudah lupa dan menyangkal keinginan Anda untuk "balance" dan mencari obyektivitas. Anda sudah menulis sebagai seorang partisan tentang kampunghalaman orang lain. Inikah yang Anda sebut sebagai "merdeka" dan "kemanusiaan"? Saya menuntut pertanggungjawaban Anda atas pernyataan-pernyataan dan tudingan Anda secara terbuka, termasuk di koran-koran Kalteng.Sekali lagi, Subud sebagai organisasi pun saya tuntut untuk melakukan hal ini secara terbuka. Bagi saya obyektivitas tidak bisa dilepaskan dari tujuan memanusiawikan manusia. Ini kalau kalian sungguh-sungguh ingin memanusiawikan manusia, termasuk dengan kedatangan dan keinginan menjadikan Kalteng sebagai pusat internasional Subud! Aku tuntut penjelasan terbuka dalam radio, tivi dan koran-koran, terutama radio, tivi dan koran-koran lokal di Kalteng! Bicaralah! [Bersambung....] Acuan ----- Original Message ----- From: eva kusuma To: Budhisatwati KUSNI ; Mailinglist Nasional Sent: Thursday, June 17, 2004 1:21 PM Subject: Re: [Nasional] DOKUMEN SUBUD -- UNTUK BAHAN DISKUSI [1] Kawan2 sekalian, Saya terdorong merespon diskusi soal Bule Subud dan dayaks berdasar pengetahuan saya sebagai orang yang sudah menjadi anggota Subud sejak 1991 dan pernah ke Tengkiling walau hampir 10 tahun lalu, tetapi insyallah masih update info soal proyek Subud di sana. Apalagi, kakak kandung saya tahun lalu memutuskan kembali ke dunia profan setelah terengah mengadakan pendampingan masyarakat di sana selama 10 tahun sebagai bagian proyek community developmentnya Subud. Pertama sekali saya ingin berkomentar soal ajakan untuk stop bule yang tidak memihak dayak tapi dengan memperluasnya termasuk untuk menstop Dayak dan pribumi Jawa yang juga berwatak menindas para marhaen yang dalam hal ini adalah indegenous people. Subud memilih Kalteng karena manut penerimaan kejiwaan YM Bp Subuh bahwa Kalteng adalah ibukota masa depan RI yang tahun 50an belum diketahui potensi alamnya. YM melalui teropong kejiwaan sudah mampu melihat potensi ini tetapi dunia pengetahuan belum menyebutkannya. Karena konstalasinya kejiwaan/ spiritual, maka keluarlah sebutan 'masyarakat jin' soalnya pada tahun 60an Kalteng masih gung lewang lewung, transmigrasi saja belum dimulai kan? Sehingga masih kuat getaran 'dunia lain' daripada hiruk pikuk material seperti konteks kita menganalisisnya saat ini. Jadi, sungguh bukan suatu penghinaan tetapi semata atas pengalaman spiritual yang diterima YM Bp Subuh yang antara lain beliau didatangi kepala jin beserta anak pinaknya yang tidak keberatan Subud mengembangkan proyek di sana. Istilah itu muncul dari YM Bapak. Sayangnya, istilah itu dibaca orang lain tanpa rujukan asal istilah tsb dan apalagi bukan orang Subud. Untuk konteks waktu dan komunitas yang berbeda sebutan itu memang potensial bikin retak masyarakat Dayak. Subud sendiri adalah persaudaraan kejiwaan (banyak sesepuh PNI seperti Ibu Trimurti, Bp-Ibu Nasir , dan Dr Widagdo Bandung yang baru lolos caleg DPR dari Bandung adalah anggota Subud) yang anggotanya adalah warga dunia asal percaya kepada Tuhan meski agamanya beda, nasionalitasnya, bangsa beda dst. Dari catatan yang saya tahu, saat ini setidaknya ada national committee Subud tersebar di 97 negara termasuk Poland, Checo, Nigeria, Zambia, Moscow, Japan (ini ekspor Indonesia paling berhasil kayaknya) Subud mempunyai mempunyai community center yang cukup besar di AS, Cilandak, Spanyol, Columbia dan yang paling berat untuk berkembang ya justru di Tengkiling-Kalteng itu walau YM Bapak merekomendasikan sejak awal untuk digarap. Mandatnya sederhana yaitu untuk mendorong integrasi manusia berdasar persaudaraan spritual yaitu sebagai umat yang percaya Tuhan. Subud, karena percaya bahwa ada relasi antara spiritual-material sehingga mengembangkan lembaga2 mulai yang sifatnya spiritual hingga enterprise yang berorientasi ke bisnis, dan community development yang di Tengkiling dikomandani Prof Sayogyo dari IPB. Di badan PBB, Subud juga mempunyai reputasi yang baik karena memperoleh ruang khusus di kantor Jenewa dengan fokus menjadi semacam task force urusan hak2 kelompok indegeneous. Saya melihat ketegangan antara bule Subud (kepanjangan dari Susila Budhi Dharma) dan kawan2 lokal adalah nggak nyambungnya ekspektasi kedua belah pihak. Jangan lupa pula ada ketegangan internal Subud coklat biasanya Jawa-Dayak dengan Subud bule. Antara Jawa dan dayak saja ada ketegangan kok. Biasa, benturan budaya dan termasuk menyangkut power atas resources. Ini manusiawi bukan? Upaya mengembangkan Kalteng (yang termotivasi fatwa YM Bapak) sungguh bagai kawah candradimuka. Yang berguguran juga banyak, yang sampai sekarang trauma juga banyak sehingga ganti orang yang berdampak ganti strategi, partner adalah cerita sehari-hari. Belum lagi gangguan lingkungan, misalkan ada anggota Subud Australia, Holland, Portugal yang sudah invest bermilyard-milyard US $ untuk bangun hotel, canopy proyek, perumahan untuk antisipasi World Subud Conggres 2001 menjadi stress karena pecah konflik Sambas yang merembet hingga perkampungan Subud. Untuk community development sendiri, setahu saya ada pendampingan untuk petani lokal, ada penambangan, ada juga yang mencoba pertanian organik yang sebagian sampai sekarang masih berjalan. Ini dikelola kombinasi antara bule (biasanya sbg donor dan konsultan) Jawa dan teman-teman Dayak. Untuk persisnya dan lebih detail saya akan kontak mereka untuk update info dan kalau masih dianggap perlu, unt bisa saya share ke mailist ini. Dengan perekonomian nasional yang lagi mengkerut sehingga pengangguran 40 juta, enclave 'mewah' bule Subud di Tengkiling memang bisa jadi sumber konflik. Perkampungan (pemukiman) itu yang bukan industrial estate bisa jadi tumpahan ketidakpuasan penduduk, tetapi tentu saja ini tidak adil. Perkampungan itu bukan MNC dan memang menyakitkan melihat para bule hidup berbeda standar. Tapi mau gimana, mereka tidak doyan ubi, naik angkot, tidak bisa ngomong dayak dst yang prinsipnya ukuran bajunya tidak sama dengan kita2. Bukan hanya itu, mereka juga membawa gaya hidup dari kampung mereka yang menyakitkan mata orang2 lokal. Sementara kita mencari duit mereka buang2 duit. Justru menurut saya, mereka agak eksentrik karena ke Kalteng lebih didorong alasan spiritual daripada motive profit. Artinya kalau toh ada yang berbisnis, itu lebih coba2 karena sifatnya masih individual investor. Meski terasa personal saya anggap Subud adalah manifestasi butir2 nilai asli Indonesia yang terbukti ampuh dan universal yaitu terbukti dan teruji (nyontek kampanye Mega) karena pluralisme tidak saja dijadikan prinsip2 retorika tetapi sudah diwujudkan. Istilah kami, Pancasila yang sudah maujud, tidak saja dalam konteks antar suku dan agama yang berbeda se Indonesia, tetapi mampu menjadi cross cutting warga dunia. jadi keingat bahwa Bung Karno juga terobsesi bikin Pancasila mendunia. Subud sbg bukti? Sayangnya, pendirian Subud lebih didorong karena alasan spritual, bukan perkumpulan kapital ekonomi sehingga Subud tidak dapat menjawab secara efektif tuntutan material. Secara teoritis, Subud percaya bahwa kesempurnaan spritual akan secara otomatis diikuti dengan kemajuan material. Bahkan material akan datang sendiri kepada jiwa yang spiritualitasnya sudah tinggi karena sang material ingin menyorgakan diri lewat jiwa tersebut. Sayangnya, kondisi ideal tersebut saat ini belum teraih para anggota Subud baik yang bule maupun yang coklat. Apalagi untuk memberikan kepada lingkungan di luar komunitas Subud, meski itu menjadi mandat organisasi. Sayang ya..... (semoga interpretasi menjadi lebih balance) Merdeka! Jakarta, June 17 Eva K Sundari Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote: PENGANTAR: Sehubungan dengan diskusi tentang " Koloni Bule Di Kalteng" yang dibuka oleh tulisan Ronny Teguh dalam milis Dayaks [15 Juni 2004] , berjudul "Stop Kerajaan Bule di Kalteng", bersama ini saya sampaikan dokumen SUBUD yang dikeluarkan oleh SUBUD sendiri yang ada kaitannya dengan masyarakat Dayak. Penyalinan dan penyiaran kembali dokumen ini dimaksudkan agar kita mengenal apa-siapa SUBUD dan tujuannya beroperasi di Kalimantan Tengah melalui dokumen SUBUD sendiri. Melalui dokumen ini dan dokumen-dokumen SUBUD lainnya kita mendengar SUBUD berbicara tentang dirinya sendiri . Dengan kata lain kita membiarkan SUBUD berbicara tentang SUBUD dan bagaimana SUBUD memandang masyarakat Kalteng sebagai "masyarakat Jin". Dokumen ini saya salin sebagaimana adanya, tanpa mengobah titik-koma dan segala kesalahan cetak. Mudah-mudahan dokumen ini, yang akan disiarkan secara bersambung, bisa dijadikan materi diskusi dan dari diskusi ini masing-masing kita bisa mempunyai angka tentang SUBUD dan bagaimana langkah serta sikap nalar menghadapinya sesuai kepentingan Masyarakat Dayak sebagai bagian dari kepentingan kemanusiaan serta usaha memanusiawikan manusia. JJ.Kusni [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70 http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/