CATATAN SEORANG  KLAYABAN:

XENOPHOBIA DAN KEMERDEKAAN NASIONAL


"Xenophobia,  a dangerous road"  [phobia orang asing, sebuah jalan berbahaya]  adalah 
judul dari sebuah editorial Harian The Jakarta Post, tanggal 12 Juli 2004,  ketika 
mengomentari pernyataan Kwik Kian Gie terhadap William Liddle dan Carter yang dianggap 
mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, terutama dalam masalah pemilihan  capres. 
Editorial The Jakarta Post memandang pendapat-pendapat  Kwik sebagai "such a wild 
accusation" .  Editorial harian ini  menyesalkan bahwa Kwik gagal  memberikan 
alasan-alasan meyakinkan atau koheren  untuk "tuduhannya yang ganas" [wild accusation] 
yang menjadi
 head line utama Kompas. Kwik  "failed to present a coherent argument to support his 
claim of foreign interference in the July 5 presidential election, at least in the way 
that his argument was presented in Kompas daily's main headline story", ujar penulis 
tajuk. Dalam editorial yang sama, Harian The Jakarta Post bahkan menggunakan istilah  
"even more ridiculous" ketika Kwik menyasar William Liddle dengan 
komentar-komentarnya. 

Tuntutan agar Kwik memberikan argumen-argumen yang koheren dan bukti bagi 
"tuduhannya", saya kira adalah tuntutan yang wajar, apalagi tuduhan itu diucapkan oleh 
seorang menteri. Hanya saja sebagai seorang menteri dan cendekiawan, saya kira, Kwik 
tentu bukan asal ucap. Barangkali jika Kwik tidak siap mengetengahkan bukti-bukti itu 
sekarang, karena bukan saatnya, misalnya, artinya belum tentu apa yang diucapkan oleh 
Kwik itu salah, tapi sebaiknya Kwik menuturkan pandangan-pandangannya secara lebih 
tersaring dan bernuasa sehingga ia tidak perlu menarik kembali kata-kata yang sudah 
dia ucapkan yang kemudian hanya berdampak negatif untuk kredibilitas kata-kata Kwik 
sendiri. 

Sebagai wartawan yang menginginkan adanya transparansi, sangatlah wajar jika dengan 
caranya  Harian The Jakarta Post melalui tajukrencananya, mendesak hal demikian. 
Kata-kata keras yang digunakan  oleh penulis tajukrencana, tidak lain dari salah satu 
cara bersifat tekhnis untuk  mendesak adanya transparansi yang memang diperlukan oleh 
masyarakat. Kalau tidak, untuk apa The Jakarta Post secara habis-habisan membela 
William Liddle sebagai seorang pakar [scholar] yang masih diragukan kesetiaannya pada 
kepentingan mayoritas rakyat Indonesia dan pasti lebih berpihak pada kepentingan 
Amerika Serikat [AS] yang adalah bangsa dan negerinya? Apalagi jika kita ingat akan 
kata-kata Yan Myrdal bahwa obyektivitas dalam ilmu-ilmu sosial pun ada batasnya, juga 
bila kita ingat praktek penelitian Snouck Hurgronje dalam usaha pemerintah kolonialis 
Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh pada abad 18 dan ke-19 atau praktek para 
antropolog asing di Tanah Dayak dan contoh-contoh lain di negeri kita atau di 
negeri-negeri lain di dunia yang dilakukan atas nama "ilmu pengetahuan", terutama 
social sicences. 

Kalau kita  mau membaca ulang halaman-halaman sejarah obyektif  bangsa kita, rasanya 
persoalan obyektivitas ilmu pengetahuan sosial ini tidak usah terlalu panjang 
diperdebatkan. Halaman-halaman itu akan cukup banyak berbicara. Kecuali kalau kita 
sengaja bertindak lupa dan menghapuskan ingatan. Ingat dan lupa yang sesungguhnya erat 
tautannya dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang kemudian membentuk wajah mental 
kita pada suatu kurun ketika.

Tentang pernyataan Kwik yang sekarang dipermasalahkan, termasuk oleh Harian The 
Jakarta Post, saya pribadi membacanya terutama sebagai rasa cinta Kwik pada 
tanahairnya: Indonesia, pertama-tama sebagai anak bangsa dan negeri, dan bukan sebagai 
menteri. Kebetulan saja ia seorang menteri. Dengan mengikuti tulisan-tulisan Kwik 
sebelum ia menjadi menteri, sebelum ,menjadi pejabat tinggi negara, saya meyakini 
benar bahwa kecintaan pada Indonesia, masih merata pada semua etnik, termasuk etnik 
Tionghoa dan Kwik.Sedikitpun tidak pernah saya meragukan keindonesiaan Kwik. Saya 
bahkan bangga kepadanya karena ia masih mempertahankan nama aslinya Kwik Kian Gie. 
Negara [pemerintah pada suatu saat tertentu saja] yang sering melupakan etnik-etnik 
dan para warganegara yang mencintai tanahair dan bangsanya. 

Kecintaan pada tanahair dan bangsa, tidak pernah saya pertentangkan dengan rasa 
kemanusiaan dan usaha memanusiawikan manusia. Karena kemanusiaan dan usaha 
memanusiawikan manusia itu bertolak dari geografi kongkret dan tidak mengambang. Kalau 
kita melihat apa siapa  Indonesia sebagai bangsa, bangsa yang terdiri hampir dari 
banyak asal negeri dan turunan, rasanya menggunakan istilah dan apalagi sampai menuduh 
xenophopia adalah bertentangan dengan kenyataan dan sejarah bangsa dan negeri ini 
sendiri. Indonesia adalah sebuah negeri yang terletak dipersimpangan lalulintas dunia. 
Bergaul dengan bangsa manapun sudah menjadi kebiasaan. Dari segi asal warganegara, 
Republik Indonesia adalah sebuah republik [sekalipun terkadang merosot jadi kerajaan 
dan menjadi republik-republikan] berasal dari berbagai asal negeri, etnik dan bangsa. 
Ada Arab, ada Tionghoa, Yugoslavia, Russia, Afrika, Amerika, Inggris, Belanda, 
Perancis, Belgia, dan entah dari mana lagi ..[kecuali dari Eskimo, barangkali!]. 
Dengan contoh ini, yang ingin saya katakan bahwa pada bangsa dan negeri baru ini, 
xenophobia sesungguhnya tidak punya dasar dan akar. Phobia asing sama dengan 
menyangkal diri kita sendiri.Hal inipun tercermin pada bahasa nasional:Bahasa 
Indonesia. Dan ketika semua mereka menjadi menjadi warga Republik dan menjadi bangsa 
Indonesia, semuanya mencintai serta punya harga diri sebagai bangsa dan anak negeri 
bernama Indonesia. Juga pada Kwik. Harga diri juga tidak bertentangan dengan 
kebenaran. Hal ini pun ada pada Kwik. Karena itu pernyataan-pernyataan Kwik, saya baca 
pertama-tama saya baca sebagai rasa keindonesiaan, harga diri dan martabat  serta 
kecintaannya kepada bangsa dan negeri Indonesia yang mestinya setara dengan anak 
bangsa dan negeri manapun. Setara artinya anak bangsa dan negeri manapun bisa memberi 
pendapat dana kritik tapi juga selayaknya menghormati anak bangsa dan negeri lain 
tanpa menggunakan posisi adikuasanya dan keunggulan sementaranya.  

Sebagai orang Indonesia dan sebagai orang yang dididik di Negeri Belanda serta punya 
pergaulan internasional, rasanya akan aneh dan tidak masuk di nalar jika Kwik dituduh 
sebagai "xenophobia". Si penuduh, dalam hal ini Harian The Jakarta Post, patut 
memberikan bukti balik bahwa Kwik seorang xenophobia kalau harian ini tidak mau 
disebut gegabah dalam mengambil kesimpulan atau membudak kepada AS melalui pembelaan 
terhadap Liddle. Mengkritik, mencurigai William Liddle seorang apakah sudah cukup 
menjadi bukti bahwa Kwik seorang xenophobia? Apakah kasus kritik Kwik terhadap William 
Liddle bisa dijadikan sample representatif untuk suatu kesimpulan yang begitu jauh? 
Jika dibanding-banding, lebih Indonesia manakah gerangan antara Liddle dan Kwik? Yang 
jelas  Kwik adalah seorang Indonesia dan Liddle seorang warganegara AS.Dari segi jasa 
kepada Indonesia, mana lebih besar jasa Kwik [dengan segala kekurangan dan 
kelemahannya] dibandingkan dengan William Liddle yang dibela habis oleh The Jakarta 
Post?  Saya menuntut bukti kuat dari penulis tajuk rencana The Jakarta Post bahwa Kwik 
seorang xenophobia demi kejujuran jurnalistik yang tentu dihormati dan dijunjung oleh 
The Jakarta Post. Kalau tidak bisa, penulis tajukrencana The Jakarta Post perlu 
meminta maaf atas nama etika jurnialis dan transparansi, atas tuduhan xenophobia 
terhadap Kwik dan pembacanya. Saya tidak membela Kwik pribadi tapi suatu prinsip yaitu 
kejujuran dan tanggungjawab jurnalistik sambil bertanya pandangan The Jakarta Post 
tentang pemahamannya mengenai xenophobia dan kemerdekaan nasional, harga diri,martabat 
bangsa dan kesetaraan. Saya sangat mengharapkan penjelasan terbuka sebagaimana 
keterbukaan The Jakarta Post mengkritik Kwik. Saya kira terbukaan dan keberanian 
mengkritik diripun tanpa takut kehilangan muka  demi kebenaran --kalau masih dihormati 
-- juga diperlukan oleh para wartawan yang punya harkat. Mana lebih penting kebenaran 
dan muka diri yang esok akan mati?

Mudah-mudahan tulisan ini terbaca oleh penulis editorial The Jakarta Post dan Kwik 
yang terlalu gampang menarik ucapannya. Kalau saya boleh mengusulkan kepada Kwik: 
Pikirkan segala ucapan sebelum berkata! Beri makna pada kata dan bahasa. Sekedar usul 
dari seorang sahabat dan sesama anak manusia, sesama anak bangsa dan negeri. Boleh 
bukan?! Apalagi menjadi menteri atau presiden hanyalah suatu kebetulan sejarah 
barangkali.Tapi menjadi anak manusia adalah suatu kepastian  walau menjadi manusia 
itupun tak gampang. Tak semua manusia menjadi manusia.

Paris, Juli 2004.
----------------
JJ.KUSNI


p

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke