http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/14/opini/1553522.htm

      Senin, 14 Februari 2005  
     
     
     

      Diplomasi Itu "Tricky" 


      Oleh Muhammad Takdir

      USAI sudah perundingan RI-GAM yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, 
tanpa hasil. Setidak-tidaknya menurut pemberitaan harian ini (Kompas, 1/2/04). 
Simpang siur pertanyaan, mengapa Deplu tidak disertakan dalam Tim Inti Delegasi 
RI yang berunding dengan GAM sempat berseliweran di media elektronik.

      Banyak ragam jawaban yang disodorkan, termasuk oleh Pejambon. Menurut 
mereka, perundingan itu tidak bisa disebut diplomasi. Karena pemerintah 
melakukannya bukan dengan pihak asing dan perundingan pun masih dalam konteks 
otonomi khusus di bawah naungan NKRI. Jadi wajar yang berangkat berunding ke 
sana adalah tim yang didominasi orang-orang non-Departemen Luar Negeri (Deplu).

      Sebenarnya, tanggapan itu lebih bersifat pembelaan. Tanpa diingatkan pun 
publik sudah tahu bahwa prakarsa penyelesaian yang ditawarkan empat tahun lalu 
pernah dipimpin pejabat Deplu. Bahkan, saat-saat terakhir menjelang perundingan 
RI-GAM itu mandek, peranan Deplu masih terasa pada pertemuan yang gagal 
direalisasikan di Tokyo. Selain itu, untuk menyebut perundingan RI-GAM di 
Helsinki sebagai masalah domestik sulit diterima.

      Pertama, karena mitra perundingan saat ini masih orang-orang Aceh yang 
berkewarganegaraan Swedia maupun Malaysia. Kedua, mediator perundingan adalah 
tokoh terkemuka mantan Presiden Finlandia Matti Ahtisari yang dikenal memiliki 
reputasi mendunia. Ketiga, tempat perundingan mengambil lokasi di negara ketiga 
yang tentu pengaturannya membutuhkan sentuhan diplomasi. Keempat, masalah Aceh 
telah menyita perhatian dunia dengan gempa bumi dan tsunami yang menelan korban 
ratusan ribu jiwa di wilayah tersebut.

      Apa pun pengistilahannya, diplomasi telah lama bermain dalam drama 
penyelesaian masalah Aceh. Prosesnya bukanlah perjalanan yang dirintis 
tiba-tiba dan disudahi secara tiba-tiba pula. Diplomasi merupakan usaha panjang 
yang menyerap energi dan kemampuan kita dalam mengolah isu-isu kepentingan agar 
sejalan dengan tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang bangsa kita. 
Karena itu, kita memang membutuhkan dasar-dasar yang jelas, agenda, time-frame, 
dan orientasi penyelesaian yang bulat dan solid.

      "Track" dan "trick"

      Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan kawan yang kebetulan bernasib 
baik menjadi seorang diplomat Indonesia, saya selalu sampaikan bahwa diplomasi 
kontemporer saat ini sarat jebakan. Diplomat kita tidak dapat memperlakukan 
dunia diplomasi seperti dunia anak-anak yang innocent bak dongeng dalam 
neverland. Isu-isu apa pun yang berkecambah dalam dunia itu pasti ditunggangi 
kepentingan-kepentingan tertentu yang kompleks. Adagium lama dalam diplomasi 
sudah mengingatkan itu. Katanya, diplomat is an honest man sent abroad to lie 
for his country.

      Soal apakah adagium itu masih relevan atau tidak dalam era informasi 
teknologi yang semakin canggih ini, itu masalah lain. Point-nya, sampai kapan 
pun diplomasi sebagai cara pasti selalu berbicara kepentingan. Dalam bahasa 
Norman J Padelford disebut bahwa apa yang dipandang vital oleh para pemimpin 
pemerintahan maupun rakyatnya dalam segala hal penting dipertahankan. Bagaimana 
konvergensi kepentingan itu terbangun, saya kira di situlah letak dinamika dan 
twisted diplomacy.

      Pilihan menggunakan seluruh saluran diplomasi dalam mengomunikasikan 
kepentingan kita adalah soal track. Boleh first track, second track, ataupun 
sekaligus multi-track. Tetapi, totalitas diplomasi yang tidak melihat sisi 
tricky dunia itu tak akan memberi banyak arti bagi pemenuhan kepentingan 
nasional. Tricky artinya penuh jebakan dan permainan sabun konsep. Menelusuri 
track diplomasi harus dengan sikap vigilant. Karena tataran aplikasinya sarat 
dengan persinggungan kepentingan yang berbeda. Situasinya mudah bernegasi 
antara satu kepentingan dan kepentingan lain. Di sinilah ranah trick-trick 
diplomasi bisa menjebak.

      Kita ingat ketika Presiden AS George W Bush menyiapkan desain invasi ke 
Irak, hal pertama yang dilakukan adalah mendisposisi konsep perubahan rezim 
kepada Menlu Collin Powell untuk dijual kepada masyarakat internasional. Mereka 
paham bahwa penerimaan masyarakat internasional terhadap aksi unilateralisme 
mereka sangat tergantung pada seberapa besar legitimasi yang dapat diciptakan 
oleh pesona konsep itu di tingkat tataran diplomasi. Meskipun tidak sepenuhya 
berhasil, beberapa negara penting seperti Inggris, Australia, Spanyol, dan 
sejumlah negara di kawasan Eropa Timur menerima jualan diplomasi AS tersebut.

      Contoh lain, dalam masalah pengaturan Selat Malaka, misalnya. AS kembali 
ingin memainkan trick-trick diplomasi dengan menggandeng Singapura dan menyebut 
jalur itu penting bagi keamanan dan keselamatan pelayaran (dari ancaman 
terorisme internasional). Karenanya, menurut AS, Selat Malaka sebagai selat 
internasional mesti membuka kesempatan bagi Washington untuk terlibat dalam 
pengaturan selat tersebut. Mesin diplomasi mereka pun bergerak menawarkan 
konsep itu kepada Malaysia dan Indonesia yang sejak awal sudah memperlihatkan 
sikap berbeda dengan Singapura. Dengan menyebutnya selat internasional, 
Washington ingin mengesankan bahwa perlindungan keamanan dan keselamatan jalur 
pelayaran selat strategis itu mesti merefleksikan kepentingan dan kebutuhan 
masyarakat internasional.

      Tidak ada yang salah dengan reasoning argumentasi itu, bahkan sepintas 
kedengarannya legitimate dan rasional. Muslihatnya yang justru diwaspadai 
adalah AS ingin mengenyampingkan hak pengelolaan mutlak ketiga negara yang 
langsung bersinggungan dengan Selat Malaka. Tricky memang jika tidak hati-hati. 
Padahal, seperti telah menjadi dasar penolakan Indonesia, persepsi selat 
internasional yang disodorkan AS harus segera diluruskan. Menlu Hassan Wirajuda 
telah mematahkan argumentasi itu. Karena rezim pengaturan Selat Malaka 
berdasarkan UNCLOS 1982, tunduk pada postulat "selat yang digunakan untuk 
navigasi internasional bukan selat internasional. Kedengarannya hampir sama. 
Jika Anda tidak hati-hati membandingkan kedua konsep itu, maka di situlah Anda 
mudah termakan oleh jebakan yang sengaja dijaring oleh diplomasi negara-negara 
lain yang penuh trick.

      "Nice guy"

      Memperjuangkan kepentingan nasional dengan keluar dari pakem-pakem 
tradisional diplomasi yang ada tidak selalu berarti jelek. Toh, banyak negara 
seperti Iran, Suriah, Venezuela, maupun Nigeria mampu bertahan dari penetrasi 
luar yang tendensius. Mereka mampu menampilkan profil resistensi mereka sebagai 
negara dengan kebanggaan-kebanggaan tertentu yang sulit diperoleh jika seluruh 
urusan mereka harus didikte pihak luar.

      Artinya apa? Kalau pengertian nice guy itu diperoleh karena kita tidak 
ingin terlihat "garang" dalam tatanan hubungan internasional, sementara 
kepentingan nasional menjadi "bulan-bulanan" oleh negara-negara tertentu, maka 
pertanyaannya adalah masihkah penting mempertahankan citra nice guy tersebut? 
Padahal menelusuri track diplomasi tidak hanya menyodorkan pilihan to be nice 
guy. Ada banyak pilihan yang dapat kita eksplorasi sesuai kebutuhan strategis 
kebijakan yang kita ambil. Kecenderungan kita selama ini saya kira cukup 
menyesatkan. Diplomasi lebih dipandang sebagai dunia yang mengharuskan kita 
mengikuti standar-standar baku global dalam seluruh format hubungan 
internasional yang ada.

      Penilaian itu sendiri tidak salah. Dengan konsep intermestik (keterkaitan 
dinamika internasional dengan masalah domestik dan vice versa), bangunan 
hubungan internasional memang diarahkan pada tatanan ideal kesalingterkaitan 
yang berkembang. Masalahnya, dunia diplomasi tidak seindah warna aslinya. Apa 
yang mengemuka dalam agenda diplomasi tidak selalu linear dengan apa yang 
sesungguhnya menjadi tujuan utamanya. Karena itu, ketika kepentingan nasional 
kita menjadi taruhan, tentunya pilihan menghadapi tekanan yang ada adalah 
sangat terbuka. Menjadi nice guy karena kuatnya mainstream yang memaksa kita 
merujuk pada standar-standar yang menafikan kepentingan nasional tidaklah 
cukup. Harus ada kemampuan untuk keluar dari proses sidelining tersebut.

      Penolakan kita terhadap gagasan Commission of Expert on East Timor yang 
diusulkan Sekjen PBB Kofi Annan adalah wujud kemampuan itu. Saya kira sikap dan 
kerelaan Indonesia dalam menyelesaikan masalah Timtim melalui popular vote 
tahun 1999 dan pembentukan peradilan ad hoc HAM, mestinya dibaca sebagai bentuk 
kontribusi Indonesia terhadap tatanan internasional yang lebih baik. Masyarakat 
internasional tidak dapat menilai perilaku Indonesia tadi sebagai ekspresi 
ketidakberdayaan kendati mereka terus mengolah isu-isu itu sehingga memunculkan 
kesan bahwa Indonesia terus menjadi sandera sikap masa lalunya.

      Karena jika itu yang terus dipaksakan, Indonesia saya kira harus 
menghadapinya secara realistis pula. Bahwa menjadi nice guy itu ternyata tidak 
selalu baik buat kepentingan kita. Sesekali dunia mesti tahu bahwa Indonesia 
dapat bersikap sebaliknya. Saya kira dunia sebaiknya menghindarkan kita untuk 
mengambil posisi yang "garang" ketika kepentingan nasional kita menjadi bulan- 
bulanan pihak lain.

      Pernyataan terakhir Presiden SBY yang akan memperkarakan para pengusaha 
Malaysia yang justru memanfaatkan kelemahan pengelolaan buruh migran kita bagi 
kepentingan mereka, setidak-tidaknya menjadi sinyal bahwa kita juga mampu 
mengambil sikap yang lebih dari sekadar basa-basi.

      Muhammad Takdir Mantan Anggota The Canadian Institute for International 
Affairs (CIIA)
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke