Penelitian, Kebenaran Dan Kreativitas Dalam Paradigma Islam
Oleh: Fahmi Amhar
Publikasi 16/02/2005

hayatulislam.net - Abstrak

Tulisan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama membawa kepada filosofi 
penelitian, Manfaat serta Peranannya dalam Permasalahan Dunia Kerja; bagian 
kedua tentang filosofi kebenaran; kemudian bagian ketiga tentang kreativitas 
sebagai tindak lanjut konkrit setelah pengenalan kebenaran bagi perkembangan 
peradaban manusia. Tulisan ini diakhiri dengan bagian keempat berupa paradigma 
Islam dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologi.


1. Penelitian

Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, 
setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas 
akhir, proyek akhir dan sebagainya. Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak 
sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh. Mereka 
adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya 
ilmiah dan teknologi. Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin 
ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, 
atau besar jumlah penduduknya.

Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama 
yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses 
penelitian. Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada 
sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala 
artis. Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah 
bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja 
Indonesia. Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti 
sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.

Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti? Jadi 
peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang. Lain 
dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau —sekarang ini— jadi 
anggota legislatif! Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus 
“Omar Bakri”. Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) 
baru Rp. 1.118.000. Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang 
peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 
tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta. Jumlah ini bisa 
didapat Inul hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!

Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah 
“Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”. Anggaran riset 
kita tak sampai 0,2% PDB. Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 
2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB. Sementara itu di sektor swasta, 
penelitian juga tiarap. Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset. 
Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di 
Luar Negeri. Di negeri asal itulah ada R&D. Di sini, mau buat apa? 
Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …

Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti. Sikap (attitude) dan 
kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya 
dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk 
institusi.

Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, 
kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, 
wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, 
sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional 
kepada publik.

Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan 
enterpreneurship. Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja 
susah. Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM 
yang tepat. Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD. 
Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain. Ya terang saja 
perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, 
lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur 
penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat 
pahala). Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu 
bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi 
dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah —sesuatu yang mudah-mudah 
didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.

Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak 
beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa 
mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun 
psikologis. Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun 
tentu bukan segala-galanya.


2. Kebenaran

Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung 
mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran 
itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dan 
sebagainya.

Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” 
sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah 
dengan al-Qur’an atau al-Hadits. Tindakan ini sangat berbahaya, karena 
andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang 
lebih akurat, maka al-Qur’an atau al-Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.

Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana 
kita bisa menempatkan diri secara proporsional.

Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini 
berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa 
disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif 
atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif. Tiga jenis 
kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.

Kebenaran deduktif adalah kebenaran pernyataan (declaration) dari seseorang 
karena otoritasnya —yang tentu saja bisa subjektif. Seorang ayah berhak memberi 
nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu 
Aceng. Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, 
sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan. Di sini kebenaran 
sama sekali tidak relatif. Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas 
ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.

Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti 
al-Qur’an, as-Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki 
deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang 
mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita. Karena itu hal yang 
paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.

Kebenaran naratif adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke 
penerima. Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, 
noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa 
benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi 
kredibilitasnya, dan lain-lain). Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh 
para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.

Kebenaran induktif adalah kebenaran objektif. Nilai kebenaranya tidak 
tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik 
kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun. Inilah jenis 
kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih. Dalam 
kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, 
yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.

Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak. Yang 
bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci. Yang 
mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.

Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan 
mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram). Namun mengatakan berapa besar 
radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu 
terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.

Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak 
benar. Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah 
akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih 
sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah. 
Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari al-Biruni, 
Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit 
dibayangkan.

Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar. Kalau untuk 
memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal. Orang harus 
beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein. Namun teori Newton ini berguna 
untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, 
aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius. Orang 
kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori 
Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.

Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran 
deduktif dan naratif. Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa 
dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA. Juga siapakah Nabi yang memang 
authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan 
(induktif) dari mukjizat yang dibawanya. Demikian juga, siapa yang ternyata 
kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.

Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain. Filsafat membagi objek 
empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” 
(yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK). 
Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut. 
Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma 
kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis.

Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung 
kebenaran syariat. Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, 
dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila 
memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL). Tentu saja bagi yang telah memenuhi 
syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH 
BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH. Dan ini sangat subjektif.


3. Kreatifitas

Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, 
kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan 
permasalahan yang dihadapi di dunia ini. Kreatifitaslah yang menjadikan suatu 
bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau 
kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.

Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3. Pada sumbu datar adalah 
jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif 
—analitif— kreatif. Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan 
mendapatkannya, yaitu aplikatif —modifikatif— inovatif.

inovatif_____7 Nobel__8 Nobel__9 Paten
Modifikatif ___4_______5_______6 Paten
aplikatif_____1________2_______3
____________observatif__analitif__kreatif

Riset para peneliti di negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang 
umumnya hanya berkutat riset pada kotak nomor 1, 2 atau 3.

Riset observatif-aplikatif artinya pengamatan mencari data dengan menggunakan 
teknik yang telah lazim diketahui, hanya diterapkan pada medan yang baru. 
Jarang kita kembangkan metode observasi yang baru untuk menangkap fenomena yang 
sebelumnya sulit didekati. Pernahkah membayangkan metode riset untuk mengamati 
fenomena mahluk halus?

Riset analitif-aplikatif artinya analisis antara berbagai data dengan 
menggunakan pisau analisis yang telah ada. Kembali di sini, jarang ditemukan 
pengembangan baru, sekalipun hanya modifikasi. Riset jenis inilah yang paling 
populer, sehingga di berbagai perguruan tinggi, seakan-akan tak mungkin ada 
riset tanpa statistik dan data real. Padahal untuk riset jenis kreatif, 
kehadiran statistik atau data real tidak terlalu mutlak, karena yang lebih 
penting adalah terciptanya suatu alat atau software yang bisa digunakan.

Namun riset kreatif di negeri muslim umumnya juga hanya aplikatif, sekedar 
menggunakan (try-out) produk yang sudah dibuat orang dari negara maju.

Alangkah jarang kita dapatkan riset observatif atau analitif yang inovatif, 
yang bila memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan, pantas dihadiahi Nobel 
atau yang setara dengan itu. Demikian juga riset kreatif, yang sekalipun 
sifatnya modifikatif, tapi sering pantas dilindungi paten —agar tidak dibajak 
oleh kapitalis bermodal raksasa, yang melihat penemuan itu memiliki nilai 
komersial yang sangat tinggi.

Paradigma kreatifitas ini yang harus dikembangkan di masyarakat muslim sehingga 
mereka tidak perlu hanya bersifat defensif menghadapi serbuan teknologi Barat, 
yang kadang disisipi pemikiran dan ideologi Barat, namun sebaliknya bisa 
proaktif mengekspor teknologi, pemikiran bahkan ideologi Islam ke Barat, 
sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam.


4. Paradigma Islam

Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam 
dimulai ketika iklim kebebasan berpikir —yang sering dianggap direpresentasikan 
kaum mu’tazilah— berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan 
kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu 
fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan.*1) Bahkan ketika 
ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk 
bertahan lebih lama.*2)

Hunke*3) dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat ummat muslim di 
Khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi Islam terjadi, dan 
ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.

Pertama, adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat 
faktor teologis menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut 
ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli 
ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari 
sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di 
Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta 
tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi 
sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga 
terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun menjadi sangat 
antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu 
pengetahuan atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan 
umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.

Kedua, adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan 
stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa 
berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu 
pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah 
yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan 
gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi ilmu-ilmu agama 
dan teknologi yang bebas nilai.

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyâkum” (Kalian lebih tahu 
urusan dunia kalian) —dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah 
teknologi— waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa 
teknologi bersifat bebas nilai.

Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi maupun 
guideline.

Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu 
hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari 
buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, 
“Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat 
semalam suntuk”, dan sebagainya.*4)

Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam 
filsafat ilmu*5), yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. 
Al-Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk 
menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta 
diciptakan, atau langit ditinggikan,…” (Qs. al-Ghâsiyah [88]: 17-18). Maka 
tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir menyandingkan 
buku astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” 
dari surat al-Ghâsiyah [88] tersebut.

Kaidah“Mâ lâ yatîmmu wâjib illâ bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan 
untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki 
peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan 
jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka 
—berpacu dengan waktu— mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi 
maupun kompas, mesiu dan sebagainya. Dan bila untuk mempelajari ini mereka 
harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun 
pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari 
sejumlah bahasa asing.

Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan 
skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul 
khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya.*6)

Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari. Epistemologi 
Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum 
syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan 
syara’, misalnya cloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Oleh karena itu, ilmu 
seperti ilmu sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya 
adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti 
kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh 
pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana 
nanti menggunakan ilmu itu. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa 
yang ada di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak 
mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.

Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau 
teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban 
(hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang 
walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk 
membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun kepentingan 
tertentu.*7)

Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum syara’. 
Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan 
memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, 
bukan untuk menjajah negeri-negeri lain. Oleh karena itu kebuntuan untuk 
mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin*8) —seperti yang terjadi dewasa ini 
di Afrika— akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.


5. Masa Depan

Saat ini, kemampuan sains dan teknologi ummat muslim sangat parah. Akibatnya, 
mereka mengalami ketergantungan kepada Barat, sehingga Baratpun memiliki posisi 
tawar yang lebih tinggi untuk memaksakan aturan ataupun kepentingannya di dunia 
Islam. Ada tiga ketertinggalan teknologi: 

Pertama, Sumber Daya Manusia Ilmuwan yang tidak memadai. Berbagai usaha 
meningkatkan kuantitas maupun kualitas ilmuwan muslim dengan mengirim mereka 
belajar atau riset di negara-negara maju akhirnya kandas: banyak di antara 
mereka yang justru kemudian menetap di negara maju (braindrain).*9) Sebagian 
kembali namun memilih bekerja pada perusahaan multinasional yang sedikit banyak 
tidak berkaitan dengan riset yang akan menjadi indikator kemajuan teknologi 
negaranya. Sedang sebagian kecil lagi, walaupun bekerja dalam riset sebagai 
pegawai negeri atau swasta nasional, namun waktunya terkuras untuk hal-hal yang 
kurang relevan, misalnya menjadi birokrat, pengurus partai politik atau sibuk 
mencari tambahan penghasilan dengan aktivitas lain.

Kedua, anggaran riset yang rendah. Dalam prosentase PDB, riset di dunia Islam 
termasuk yang terrendah dibanding negara-negara Barat. Dana riset menjadi tidak 
memadai manakala bahan atau peralatan riset harus didatangkan dari luar negeri. 
Akibat mutu SDM yang rendah, maka kreatifitas untuk menciptakan bahan atau 
peralatan pengganti juga hampir tak ada. Selain itu riset belum benar-benar 
terkait dengan dunia industri dan bisnis, sehingga riset praktis tidak mampu 
menghasilkan sesuatu secara ekonomis.*10)

Ketiga, dan ini berkait dengan mutu SDM dan anggaran: kualitas riset yang 
sangat rendah. Banyak riset yang dikerjakan fiktif, tidak menghasilkan paper 
yang layak dijadikan referensi, apalagi menghasilkan paten yang dicari dunia 
industri.*11)

Oleh karena itu, bila kita bicara kebijakan riset di negeri Islam, mau tidak 
mau harus kita pisahkan antara kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, 
antara yang bisa kita kerjakan dalam skop individu, skop “kelompok peduli”, dan 
skop sebuah negara.

Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang 
memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam. 
Untuk itu tak ada cara lain selain bahwa mereka memberi contoh dengan diri 
mereka sendiri, melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta 
usahanya yang tak henti untuk melakukan sosialisasi budaya ilmiah pada 
masyarakat.

Sementara itu dalam jangka panjang, negara harus menempuh sejumlah kebijakan 
yang akan menjadikan negeri-negeri muslim menarik untuk tempat berkiprah 
terutama ilmuwan muslim. Nilai atraktifitas ini hanya bisa dicapai dengan iklim 
kebebasan profesi ilmiah, berikut penghargaannya, kultural maupun ekonomis.

Sedangkan peran dari “kelompok peduli” adalah di satu sisi mendesakkan 
agenda-agenda kebijakan ini pada pemerintah, dan di sisi lain mengubah opini 
masyarakat luas, sehingga mereka ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan 
ilmiah ini nantinya.


Bacaan Lanjut

1. Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami. Jakarta, Dunia Pustaka 
Jaya, 2000.

2. Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated 
History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah 
Islam. Bandung, Mizan, 1993).

3. Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer, 1990.

4. Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung, 
Rosda, 1991.

5. Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor 
Indonesia, 1983.

6. Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 
1996.

7. Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton, 1960

8. Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn, Verlag 
Neue Gesselschaft,1987.

9. Muhammad ‘Abd al-Marsi: Bencana Dunia Islam – Pelarian Cendekiawan Islam. 
Bandung, Rosda, 1989.

10. International Seminar of Best Practices in Effective Research Financing 
Polecy. Jakarta, Bappenas-Ristek, June 17, 2002.

11. S. Farid Ruskanda (Ed): Pencapaian Ilmu LIPI (Suatu Model Evaluasi). LIPI, 
1998.

http://www.hayatulislam.net/comments.php?id=431_0_1_0_C



---------------------------------
  Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" your friends today! 
Download Messenger Now

[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke