ALKOHOL 

DALAM MAKANAN, OBAT, DAN KOSMETIK :

TINJAUAN FIQIH ISLAM*

 

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**

 

1. Pendahuluan

                Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa  seorang muslim wajib 
mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya 
pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, 
hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam).” (HR. Al-Baghawi) 
(Haqqi, 2003:40).

                Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim 
mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang 
digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, 
halal-haramnya makanan, obat, dan kosmetik.

                Akan tetapi, penentuan status halal haramnya suatu makanan, 
obat, atau kosmetik kadang bukan perkara mudah. Di satu sisi, para ulama 
mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk pangan, obat, dan 
kosmetik dewasa ini. Asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku-liku, 
banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Di 
sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan 
metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah, 
relatif minimal. Dengan demikian seharusnya para ulama mencoba memahami 
kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah 
seharusnya menggali kembali pengetahuan syariahnya, di samping membantu ulama 
memahami kompleksitas masalah yang ada. (Apriyantono, Penentuan Kehalalan 
Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan, www.indohalal.com). 

                Berkait dengan itu, penting sekali dikemukakan metode penentuan 
status hukum, baik penentuan hukum untuk masalah baru (ijtihad) maupun sekedar 
penerapan hukum yang sudah ada pada masalah baru (tathbiq al-hukm ‘ala mas`alah 
al-jadidah). Berdasarkan metode Taqiyuddin An-Nabhani (1994:201; 2001:74), 
terdapat 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh dalam menetapkan satus hukum :

Pertama, memahami fakta/problem secara apa adanya (fahmul musykilah 
al-qa`imah). Fakta ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal dengan istilah manath 
(Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, III/24) . Di sinilah para ulama wajib memahami 
masalah yang ada, dibantu oleh para ilmuwan muslim.

Kedua, memahami nash-nash syara’ (fahmun nushush asy-syar’iyah) yang berkaitan 
dengan fakta tersebut (jika belum ada hukumnya), atau memahami hukum-hukum 
syara’ (fahmul ahkam asy-syar’iyah) yang telah ada yang berkaitan dengan fakta 
tersebut (jika sudah ada hukumnya),

Ketiga, mengistinbath hukum dari nash dan menerapkannya pada fakta; atau 
menerapkan hukum yang telah ada pada fakta.

                Makalah ini bertujuan terutama menjelaskan hukum alkohol dalam 
makanan, obat, dan kosmetik. Sebelum itu, akan dijelaskan lebih dulu beberapa 
prinsip dasar dalam fiqih Islam dalam penentuan status hukum. Prinsip ini pula 
yang secara spesifik digunakan dalam makalah ini untuk meninjau hukum alkohol 
dalam makanan, obat, dan kosmetik. 





2. Beberapa Prinsip Dasar

                Prinsip-prinsip dasar berikut ini ada yang berupa suatu hukum 
syara’ (al-hukm al-syar’i), dan ada pula yang berupa kaidah syara’ (al-qa’idah 
asy-syar’iyah) yaitu kaidah umum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus. 
Berikut penjelasan sekilas prinsip-prinsip tersebut.

 

2.1. Hukum Asal Benda Adalah Mubah

                Prinsip ini dalam rumusannya yang lengkap berbunyi  Al-Ashlu fi 
al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim  (hukum asal benda adalah 
mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya). (‘Atha Ibnu Khalil, 
Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 16; Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 
48; Al-Qaradhawi, Halam dan Haram dalam Islam, hal. 14-15). Yang dimaksud 
asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan manusia 
dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak termasuk di 
dalamnya (Atha Ibnu Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, hal. 15). Kaidah ini 
disimpulkan dari berbagai ayat yang menyatakan bahwa segala apa yang diciptakan 
Allah di langit dan bumi adalah diperuntukkan bagi manusia, yaitu telah 
dihalalkan oleh Allah (misalnya QS Al-Baqarah [2] : 29, QS Al-Jatsiyah [45] : 
13, QS Luqman [31] : 20).

                Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum hewan yang 
tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini, ditetapkan 
hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya halal, 
berdasarkan prinsip ini (Abdul Hamid Hakim, Mabadi` Awwaliyah, hal. 48). 

 

2.2. Hukum Asal Benda Yang Berbahaya Adalah Haram 

                Prinsip ini berbunyi : Al-Ashlu fi al-madhaar at-tahrim (hukum 
asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram) (Taqiyuddin An-Nabhani, 
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah,  III/451). Prinsip ini berarti bahwa segala 
sesuatu materi (benda) yang berbahaya, sementara tidak terdapat nash syar’i 
tertentu yang melarang, memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya haram. 
Sebab, syariat telah mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya, ecstasy dan 
segala macam narkoba lainnya hukumnya haram karena menimbulkan bahaya bagi 
penggunanya.

                Dasar dari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW, di antaranya 
sabda Nabi SAW, “Laa dharara wa laa dhirara.” (Tidak boleh menimpakan bahaya 
bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain) (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, 
dan lain-lain) (An-Nawawi, 2001:214).

 

2.3. Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda Yang Mubah, Jika Berbahaya atau Membawa 
pada Bahaya, Maka Kasus Itu Saja Yang Haram, Sedang Hukum Asalnya Tetap Mubah 

                Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min 
afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima 
dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin An-Nabhani, 
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah,  III/451). Kaidah ini berarti, suatu masalah 
(berupa perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus tertentu 
darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang 
diharamkan. Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya 
boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa 
berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, 
sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing, 
hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita hipertensi, daging 
kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing 
hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.

                Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits (Abdullah, 1996:141). 
Antara lain, Rasul SAW pernah melarang para sahabat untuk meminum air dari 
sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air 
tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 
IV/164).        

 

2.4. Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram, Hukumnya Haram

                Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi 
al-wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau 
benda] yang membawa kepada yang haram, hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum 
asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada 
yang haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama, bahwa perantara itu 
diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram. Kedua, bahwa 
akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil 
syar’i (An-Nabhani, 2001:92).

                Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) :

 

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, 
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu 
pengetahuan.” (QS Al-An’aam [6] : 108)

 

Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya mubah. Tapi kalau itu 
akan menimbulkan makian kepada Allah SWT, maka hukumnya menjadi haram. Dari 
sinilah muncul kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam.

                Contoh penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau 
perasan (jus) anggur --dan yang semacamnya-- yang diketahui akan dijadikan 
khamr. Padahal jual beli itu hukum asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan 
mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram 
hukumnya, berdasarkan kaidah di atas.

Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat 
khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya. Diriwayatkan oleh 
Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”“Barang siapa menahan 
(menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang 
Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia 
akan masuk neraka” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, dan dipandang shahih oleh 
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy). 

Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur 
kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul Authar, V/234). 
Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai 
khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang akan menimbulkan 
keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut.

 

2.5.Hukum Makanan/Minuman Tidak Didasarkan Pada Illat (Motif Penetapan Hukum)

                Prinsip ini lengkapnya berbunyi Inna al-‘ibadat wa al-math’umat 
wa al-malbusat wa al-masyrubat wa al-akhlaq laa tu’allalu wa yaltazimu fiihaa 
bi al-nash.  (Sesungguhnya [hukum] ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan 
akhlaq, tidaklah didasarkan pada illat [motif/alasan penetapan hukum], 
melainkan didasarkan pada nash semata) (Abdul Qadim Zallum, 1985 : 51).

                Kaidah tersebut diperoleh dari penelaahan induktif (istiqra`) 
terhadap hukum-hukum syara’ dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, minuman, 
dan akhlaq. Kesimpulannya, hukum-hukum tersebut tidak mempunyai illat tertentu. 
Misalkan, puasa disyariatkan karena ada nash yang memerintahkannya, bukan 
karena alasan supaya orang yang berpuasa menjadi sehat. Khamr diharamkan karena 
ada nash yang mengharamkannya, bukan didasarkan pada alasan bahwa khamr itu 
memabukkan bagi yang meminumnya.

                Kesimpulan tentang khamr ini lebih dipertegas oleh penjelasan 
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW 
bersabda,”Diharamkannya khamr itu karena bendanya, banyak maupun sedikit. Juga 
(diharamkan) yang memabukkan dari setiap minuman”  (HR An-Nasa'i dengan sanad 
hasan, Sunan An-Nasa'i  VIII/320-321).  Ibnu Umar RA juga meriwayatkan, ketika 
surat An-Nisaa' ayat 43 turun (larangan mabuk pada waktu shalat), Rasulullah 
SAW berkata,”Diharamkan khamr karena zatnya.” (HR Abu Dawud). 

Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu diharamkan karena 
zatnya itu sendiri, bukan karena ada illat tertentu. Hal ini sama dengan 
memakan daging babi atau bangkai, hukumnya haram bukan karena ada illat 
tertentu, tapi karena kedua benda itu diharamkan karena zatnya (berdasarkan 
nash). 

 

2.6. Maslahat Bukan Dalil Syar’i (Sumber Hukum)

                Maslahat artinya identik dengan manfaat (utility), yaitu suatu 
kemampuan yang terdapat pada benda (barang) atau perbuatan (jasa) untuk 
memenuhi kebutuhan manusia. Maslahat bukan dalil syar’i atau sumber hukum. 
Posisi maslahat jika dikaitkan dengan suatu ketetapan hukum syara’, dirumuskan 
dalam kaidah : haitsuma yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah (di mana ada 
penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat). Itulah yang benar, bukan 
aynama wujidat al-maslahah fa tsamma syar’ullah (dimana ada maslahat maka di 
sana ada hukum Allah). (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958).

                Karena itulah, kita akan dapat memahami, mengapa khamr itu 
tetap diharamkan walaupun khamr itu mempunyai beberapa maslahat (manfaat) 
(lihat QS Al-Baqarah [2] : 219). Manfaat khamr misalnya menghasilkan kalori.  
Setiap 1 gram etanol diketahui menghasilkan energi sebesar 7 kalori (Mustaha 
KS, 1983:24). Belum lagi manfaat-manfaat khamr dari segi ekonomi. Namun khamr 
tetap haram. Mengapa? Karena maslahat itu memang bukanlah dalil syar’i yang 
menjadi dasar untuk menetapkan halalnya sesuatu. Maslahat hanyalah dampak atau 
efek yang muncul setelah adanya penerapan hukum syara’, bukan dasar atau alasan 
penetapan hukum.

 

2.7. Perkara Syubhat Sebaiknya Ditinggalkan

                Syubhat artinya ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak 
bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu 
bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan 
sifat atau faktanya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fil Islam, 
hal. 100) 

Ketidakjelasan status hukum, misalkan tentang hukum kura-kura atau penyu. 
Masalah ini belum bisa difatwakan oleh MUI karena faktanya masih kabur. Dalam 
situs www.halalmui.or.id, MUI menyatakan, “Masalah kura-kura di-pending. 
Memanggil pakar tentang kura-kura (penyu).” 

                Selain itu, syubhat bisa juga muncul karena ketidakjelasan 
fakta sesuatu itu sendiri. Meskipun status hukumnya sudah jelas. Mie goreng 
misalnya jelas status hukumnya mubah. Tapi terkadang di restoran tertentu 
ditambahkan arak (khamr) untuk untuk menambah selera pada mie goreng yang 
dimasak. Ini bisa terdapat pada mie goreng ayam, mie goreng sea food, mie 
goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan ini biasanya 
adalah khamr putih, arak merah, atau mirin (www.halal.mui.or.id). Jadi, meski 
status mie goreng itu mubah, tapi penambahan zat yang haram ini lalu 
menimbulkan syubhat, apakah mie goreng di restoran tertentu itu halal atau 
haram?

                Maka, sikap yang terbaik adalah meninggalkan perkara yang 
syubhat, sebagai suatu sikap wara’ yang sudah selayaknya dimiliki setiap 
muslim. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW : “…barangsiapa meninggalkan yang 
syubhat, berarti ia telah menjaga kebersihan agama dan kehormatan dirinya…” 
(Muttafaqun ‘alaihi, Lihat Subulus Salam, IV/171). Rasulullah SAW berkata 
pula,”“Tinggalkan apa yang meragukanmu [menuju] kepada apa yang tidak 
meragukanmu.” (HR At-Tirmidzi). 

 

2.8. Keadaan Darurat Membolehkan Yang Haram 

                Darurat (adh-dharurat) menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah 
wa an-Nazha`ir  hal. 61 adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak 
memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati binasa. Semakna 
dengan ini, darurat menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah 
Al-Islamiyah III/477 adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang 
dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirar al-mulji` 
alladzi yukhsya minhu al-halak). 

                Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram, 
sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih termasyhur : adh-dharuratu tubiihu 
al-mahzhuuraat (keadaan darurat membolehkan apa yang diharamkan) (Abdul Hamid 
Hakim, As–Sulam, hal. 59). Kaidah itu berasal dari ayat-ayat yang membolehkan 
memakan yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam kondisi terpaksa. 
Misalnya QS Al-Baqarah [2] : 173 dan QS Al-Maidah [5] : 3.  

                Contoh penerapannya,  misalnya ada orang kelaparan yang tidak 
memperoleh makanan kecuali daging babi, atau tidak mendapat minuman kecuali 
khamr, maka boleh baginya memakan atau meminumnya, karena darurat. 

 

2.9.Memanfaatkan Benda Najis Hukumnya Haram

                Memanfaatkan (intifa’/isti’mal) benda-benda najis (an-najasat) 
adalah masalah khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun 
pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkan. Dalilnya antara lain 
firman Allah SWT :

 

“"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) 
berhala, dan mengundi dengan anak panah itu adalah rijsun (najis) termasuk 
perbuatan syetan, maka jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan…” 
(QS Al-Maaidah [5] : 90)

 

Dalam firman Allah “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu) terkandung 
perintah untuk menjauhi rijsun yang berarti kotoran atau najis. Maka, 
memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita 
untuk menjauhi najis itu.

Maka, haram hukumnya memanfaatkan khamr, memanfaatkan kotoran binatang untuk 
pupuk, memanfaatkan alkohol, dan semua benda najis lainnya, sebab itu semua 
adalah najis yang wajib dijauhi, bukan didekati atau dimanfaatkan.

Memang, dalil QS al-Maidah : 90 ini dibantah oleh sebagian fuqaha yang 
mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut adalah najis secara maknawi 
(atau najis hukmi, yakni najis secara hukum), bukan najis dzati (atau najis 
aini, yakni najis secara materi/zat). Karena kata rijsun tidak hanya khabar 
(keterangan) bagi khamr, tetapi juga keterangan bagi perbuatan berjudi, 
berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib, yang semuanya jelas tidak bisa 
disifati dengan najis dzati. Mereka berdalil dengan firman Allah SWT (artinya) 
: ”Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu” (QS Al Hajj [22] : 30). 
Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut adalah najis maknawi, bukan najis 
dzatii. Contoh lain najis maknawi terdapat pada surat At Taubah ayat 28 
(artinya) :”Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS At Taubah [9] : 
28). Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzati (tubuh) 
mereka, tetapi najis maknawi, yaitu aqidah yang mereka peluk adalah aqidah 
syirik yang harus
 dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha'. 

Dengan demikian,  menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 
tersebut, adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati. Implikasinya, khamr 
itu suci, bukan najis. Alkohol pun lalu adalah suci dan bukan najis. Pandangan 
tersebut --menurut mereka-- diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min ‘amal 
asy-syaithan (dari perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud dengan najis 
(rijsun) dalam QS Al-Maidah ayat 90 adalah najis secara maknawi, bukan najis 
dzati  (Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, I/28; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 
2003:205-206). 

Hanya saja, pendapat jumhur itu (yang memandang bahwa kata rijsun dalam ayat 
tersebut juga  mencakup najis dzati) dikuatkan oleh dalil hadits Nabi SAW :  
"Sesungguhnya kami (para sahabat) berada di negeri para Ahli Kitab, mereka 
makan babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap 
bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,"Apabila kamu 
tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di 
dalamnya, dan minumlah."  (HR Ahmad dan Abu Dawud). Perintah untuk mencuci 
bejana wadah khamr dan periuk wadah daging babi itu, menunjukkan bahwa kedua 
benda tersebut tidak suci. Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi SAW 
tidak akan memerintahkan mencucinya dengan air.   

Dalil lain, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang pria akan memberikan 
hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman khamr, maka Rasulullah SAW berkata:

 

“Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,"Apakah aku 
harus menjualnya?", Rasulullah SAW menjawab,"Sesungguhnya sesuatu yang 
diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya". Laki-laki itu bertanya 
lagi,"Apakah aku harus memberikan kepada orang Yahudi?" Rasulullah 
menjawab,"Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, diharamkan pula diberikan 
kepada orang Yahudi". Laki-laki itu kembali bertanya,"Lalu apa yang harus saya 
lakukan dengannya?" Beliau menjawab,"Tumpahkanlah ke dalam selokan." (HR Al 
Khumaidi dalam Musnad-nya). (Ahmad Labib al-Mustanier,  Hukum Seputar Khamr, 
www.islamuda.com)

                Perintah untuk menumpahkan khamr ke selokan ini, menunjukkan 
bahwa khamr adalah najis dan tidak suci, yakni najis secara dzati.

                Kesimpulannya, ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90 
yang berbunyi “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah 
perintah untuk menjauhi rijsun (najis) yang mencakup najis dzati. Maka, 
memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita 
untuk menjauhi najis itu (Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 
1986:228).

 

2.10.  Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan Hukumnya Makruh

                Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada 
pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauyziyyah. Ada yang 
membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan 
darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini 
dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih (kuat), yakni yang menyatakan 
bahwa berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan memanfaatkan benda najis dan 
haram hukumnya makruh, bukan haram.

                Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah 
Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan 
mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif 
(ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang 
berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW 
bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang 
diharamkan." (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban). Rasulullah 
SAW bersabda pula,"Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan 
menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah 
kalian berobat dengan sesuatu yang haram.”(HR Abu Dawud).

Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan 
haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air 
kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari 
dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar 
agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW 
memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum air susu dan air 
kencingnya… (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan 
pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. 
Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air 
kencing unta itu najis.

Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan 
(rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera 
karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam 
Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadits membolehkan berobat dengan 
benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, 
sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu 
Dawud, dan At-Tirmidzi.

Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Di 
sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. 
Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram 
(“janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram”)  tidak otomatis 
menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan 
perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar 
tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas 
(jazim) ---sehingga hukumnya haram-- atau tidak tegas (ghairu jazim) –sehingga 
hukumnya makruh--, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan 
sifat tuntutan tersebut. Nah, dua hadits di atas yang membolehkan berobat 
dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang 
memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah 
tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh,
 bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang 
haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan 
kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, 
hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu 
najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan). 

 

2.11. Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram

                Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih “Kullu maa 
hurrima ‘ala al-ibaad fabay’uhu haram.” (Segala sesuatu yang diharamkan Allah 
atas hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Taqiyuddin 
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248). Karena itu, 
memperjualbelikan babi, darah, khamr, dan patung adalah haram. Karena syariah 
telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah, meminum khamr, dan 
membuat patung.

Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi 
SAW, ”Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan 
sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya." (HR Imam Ahmad 
dan Abu Dawud). 

Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,"Sesungguhnya 
setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka menjuabelikannya pun haram, 
disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) 
kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil."  
(Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221) 

                Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang najis dan 
haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram. Sebab berobat dengan benda 
najis dan haram hukumnya makruh, tidak haram. 

 

3. Hukum Syara‘  Seputar Alkohol

 

3.1. Pengertian Khamr

Khamr dalam pengertian bahasa Arab (makna lughawi) berarti “menutupi”. Disebut 
sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan menurut pengertian 
‘urfi (menurut adat kebiasaan) pada masa Nabi SAW, khamr adalah apa yang bisa 
menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur (Asy-Syaukani, Nailul Authar, 
IV/57).

Sedangkan dalam pengertian syara', khamr adalah setiap minuman yang memabukkan 
(kullu syaraabin muskirin). Jadi khamr tidak terbatas dari bahan anggur saja, 
tetapi semua minuman yang memabukkan, baik dari bahan anggur maupun lainnya. 
Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Di antaranya 
adalah hadits dari Nu'man bin Basyir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat 
khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu 
terbuat khamr”  (HR Jama'ah, kecuali An-Nasa'i).

Dari Jabir RA, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada 
Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. 
Minuman tersebut terbuat dari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya 
kepadanya, "Apakah minuman itu memabukkan?” "Ya" jawabnya. Kemudian Rasulullah 
SAW menjawab :

”Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang 
yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari 
thinah al-khabal. Mereka bertanya, apakah thinah al-khabal itu? Jawab 
Rasulullah,"Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka." (HR Muslim, 
An Nasa'i, dan Ahmad).

Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa RA bahwa ia berkata, 
“Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau memberikan fatwanya tentang 
dua jenis minuman yang dibuat di Yaman, yaitu al bit'i dan al murir. Yang 
pertama terbuat dari madu yang kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa 
memabukkan). Yang kedua terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman 
hingga keras. Wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan 
sempurna, kemudian Rasulullah SAW bersabda,””Setiap yang memabukkan itu haram.” 
(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW juga 
bersabda,””Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram.” (HR 
Muslim dan Daruquthni).          

Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari 
perasan anggur saja, sebagaimana makna urfi, tetapi mencakup semua yang bisa 
menutupi akal dan memabukkan. Setiap minuman yang memabukkan dan menutupi akal 
disebut khamr, baik terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. 
Berarti itu merupakan pengertian syar'i tentang khamr yang disampaikan Rasul 
SAW dalam hadits-haditsnya (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul Uqubaat, hal. 
49-50). Dalam keadaan demikian, yakni setalah adanya makna syar'i --makna baru 
yang dipindahkan dari makna aslinya oleh syara'-- yang berbeda dengan makna 
lughawi dan makna ‘urfi, maka makna syar'i tersebut harus didahulukan daripada 
makna lughawi dan makna urfi.

Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan 
bahwa “setiap yang memabukkan itu khamr”, berarti itu menunjukkan kepada kita 
bahwa sifat yang melekat pada zat khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama 
khamr itu memabukkan, maka untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk 
mengenali zatnya adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat 
memabukkan.

Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian fakta), oleh para 
kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan 
dalam khamr adalah etil alkohol atau etanol. Zat inilah yang memiliki khasiat 
memabukkan. Minuman yang mengandung alkohol ini, dikenal dengan terminologi 
“minuman beralkohol”. Walaupun bermacam-macam namanya dan kadar alkoholnya, 
semuanya termasuk kategori khamr yang haram hukumnya (Lihat Tabel 1). 






3.2. Sekilas Fakta Alkohol 

                Alkohol yang dimaksud dalam pembahasan di sini ialah etil 
alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus C2H5OH (Hukum Alkohol 
dalam Minuman, www.mui.or.id). 

                Penggunaan etanol sebagai minuman atau untuk penyalahgunaan 
sudah dikenal luas. Karena jumlah pemakaian etanol dalam minuman amat banyak, 
maka tidak mengherankan keracunan akut maupun kronis akibat etanol sering 
terjadi (Mutschler, 1991:750).

Alkohol di Dunia Barat sudah menjadi lazim dan diterima dalam pergaulan sosial. 
Namun seringkali digunakan berlebihan sehingga menjadi penyebab utama 
kecelakaan lalu lintas yang fatal (Tjay & Rahardja, 1986:711). Pada konsentrasi 
1,0 – 1,5 mg/ml darah, alkohol menimbulkan gejala euforia dan tidak ada rasa 
segan, sehingga sering menyebabkan kecelakaan lalu lintas (Mutschler, 1991:751).

Alkohol jelas banyak digunakan dalam industri minuman beralkohol, yaitu minuman 
yang mengandung alkohol ( etanol ) yang dibuat secara fermentasi dari jenis 
bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat, misalnya: biji-bijian, 
buah-buahan, nira dan sebagainya, atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil 
fermentasi. Termasuk di dalamnya adalah minuman keras klasifikasi A, B, dan C 
(Per. Menkes No. 86/ 1977). 

Menurut Per. Menkes No. 86/ 1977 itu, minuman beralkohol dibedakan menjadi 3 
(tiga) golongan.  Golongan A dengan kadar alkohol 1 – 5 %, misalnya bir. 
Golongan B dengan kadar alkohol 5- 20 %, misalnya anggur. Golongan C dengan 
kadar 20 – 55 %, misalnya wiski dan brendi (www.halalmui.or.id) 

Kadar alkohol dalam minuman beralkohol berbeda-beda, sebagaimana dapat dilihat 
dalam tabel berikut :

 

No           Nama Minuman                   Kadar Alkohol

1              Bir Putih                                 1 - 5 %

2              Bir Hitam                               15 %

3              Samsu                                   20 %

4              Macam-Macam Anggur      15 %

5              Ryn & Moezelwijn                                10 %

6              Anggur Malaga                     15 - 17 %

7              Tokayer                                  15 %

8              Sherry                                    20 %

9              Likeuren                                                30 – 50 %

10           Anggur Perancis                  9 – 11 %

11           Champagne                         10- 12 %

12           Anggur Spanyol                   15 – 20 %

13           Anggur Hongaria                 15 – 20 %

14           Rhum dan Brandy               40 – 70 %

15           Jenever                                  40 %

16           Bols                                        40 %

17           Hulskamp                             40 %

18           Whiskey                                 30 – 40 %

19           Cognac                                  30 – 40 %

20           Tuak & Saguer                     11 – 15 %

21           Macam-Macam Anggur Obat  15 – 20 %

22           Shake                                    10 %

 

Tabel 1.  Nama Minuman dan Kadar Alkoholnya. (Sumber : Mustafa KS, Alkohol 
Dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan, Bandung : PT Alma’arif, 1983 : 
23)

 

Minuman beralkohol dibuat dari proses fermentasi karbohidrat (pati) melalui 3 
(tiga) tahapan, yaitu : (1) pembuatan larutan nutrien, (2) fermentasi, (3) 
destilasi etanol. Adapun bahan-bahan yang mengandung gula tinggi, tidak 
memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda dengan bahan yang yang berasal 
dari bahan pati dan selulosa, yang memerlukan penambahan asam (perlakuan kimia) 
dan penambahan enzim untuk menghidrolisisnya menjadi senyawa yang lebih 
sederhana. Jika bahan untuk fermentasi berasal dari biji-bijian seperti jagung 
dan sereal lainnya, maka bahan tersebut harus direndam dalam air (soaking) 
hingga berkecambah, lalu direbus dan diprose menjadi mash  dan dipanaskan.  Di 
samping penggunaan mikroorganisme pada proses fermentasi, kondisi optimal 
fermentasi harus dijaga, seperti aerasi, pH, suhu, dan lain-lain (Tabloid 
Dialog Jumat, Jumat 18 Pebruari 2005, hal. 6). 

Dalam dunia kimia, farmasi dan kedokteran, etanol banyak digunakan. Di 
antaranya :

1.       Sebagai pelarut. Sesudah air, alkohol merupakan pelarut yang paling 
bermanfaat dalam farmasi. Digunakan sebagai pelarut utama untuk banyak senyawa 
organik (Ansel, 1989:313,606). 

2.       Sebagai bakterisida (pembasmi bakteri). Etanol 60-80 % berkhasiat 
sebagai bakterisida yang kuat dan cepat terhadap bakteri-bakteri. Penggunaannya 
adalah digosokkan pada kulit lebih kurang 2 menit untuk mendapat efek maksimal. 
Tapi alkohol tidak bisa memusnahkan spora (Tjay & Rahardja, 1986:170; 
Mutschler, 1991:612).  

3.       Sebagai alkohol penggosok. Alkohol penggosok ini mengandung sekitar 70 
% v/v, dan sisanya air dan bahan lainnya. Digunakan sebagai rubefacient  pada 
pemakaian luar dan gosokan untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang 
terbaring lama (Ansel,1989:537).

4.       Sebagai germisida alat-alat (Ansel, 1987:537).

5.       Sebagai pembersih kulit sebelum injeksi (Ansel, 1987:537; IONI 
2000:423).

6.       Sebagai substrat, senyawa intermediat, solven, dan pengendap 
(Apriantono, www.indohalal.com)

 

3.3. Alkohol Itu Najis

                Telah disinggung sebelumnya bahwa khamr adalah najis (meski ada 
perbedaan pendapat dalam hal ini). Sebagai implikasinya, alkohol (etanol) 
sebagai zat yang memabukkan dalam khamr, hukumnya najis juga. Hal ini sesuai 
kaidah fiqih : At-Taabi’ Taabi’ (Hukum bagi yang mengikuti, adalah mengikuti 
(sama dengan) hukum yang diikuti). (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 64). 

Dengan menerapkan kaidah itu, kita tahu bahwa khamr hukumnya najis. Maka, 
etanol sebagai bagian dari khamr, hukumnya mengikuti khamr dari segi 
kenajisannya. Jadi, etanol hukumnya mengikuti hukum khamr.

                Jika sudah jelas alkohol itu najis, maka bagaimana hukum 
menggunakannya? Jawabannya, pemanfaatan benda najis pada asalnya adalah haram 
(lihat prinsip dasar 2.9.). Adapun bila digunakan untuk kepentingan pengobatan 
atau produksi obat, seperti digunakan sebagai desinfektan alat dan tangan 
sebelum operasi, pembersih kulit sebelum injeksi, atau sebagai campuran obat, 
hukumnya makruh, tidak haram (lihat prinsip dasar 2.10). 

Menjualbelikan alkohol pada asalnya adalah haram, kecuali untuk kepentingan 
pengobatan, hukumnya boleh (lihat prinsip dasar 2.11).      

 

3.4. Alkohol dalam Makanan/Minuman

Alkohol dalam bentuk khamr (minuman beralkohol) banyak dijumpai sebagai 
campuran dalam makanan atau minuman. Hukum menggunakan alkohol sebagai campuran 
makanan dan minuman ini adalah haram, karena termasuk dalam pemanfaatan benda 
najis yang telah diharamkan dalam Islam (lihat prinsip dasar 2.9.). Kecuali 
dalam kondisi darurat, yaitu jika tidak memakan makanan tersebut akan mengancam 
keselamatan jiwa, maka diperbolehkan (lihat prinsip 2.8.). Juga dikecualikan, 
makanan seperti itu jika digunakan sebagai obat, maka hukumnya boleh, dalam 
arti makruh (lihat prinsip 2.10).

Berikut ini paparan fakta mengenai keberadaan alkohol (khamr) dalam berbagai 
makanan dan minuman (sumber www.halalmui.or.id) : 

 

a.  Khamr Sebagai Penyedap Masakan

Dikenal ada beberapa khamr (arak) sebagai penyedap masakan Cina, Jepang, Korea, 
dan masakan lokal yang berorientasi khamr. Khamr-khamr itu  misalnya : (1) Ang 
Chiu, sebagai penyedap masakan, berguna untuk mempersedap masakan daging, tim 
ayam, sea food dan sayur mayur, (2) Lo Wong Chiu, digunakan sebagai saus 
penyedap masakan, dan digunakan juga sebagai penyedap masakan daging, tim ayam, 
sea food dan sayur mayur; (3) Anggur Beras Putih, sebagai rendaman obat 
Thionghoa dan berbagai masakan. 

b. Khamr dalam Kue Ultah

Dalam sebuah resep kue ulang tahun yang terdapat di majalah ternama terdapat 
deretan bahan yang harus disiapkan. Salah satunya adalah “rhum”. Masyarakat 
ternyata acuh tak acuh terhadap keberadaan bahan tersebut. Mereka perlu tahu 
bahwa rhum adalah nama dari sebuah minuman keras dengan kadar alkohol sampai 30 
persen.

c. Khamr dalam Makanan Bakaran 

Dalam masakan ikan bakar, daging panggang atau barbeque, khamr sering digunakan 
untuk melunakkan daging dan menciptakan aroma khas khamr. Khamr yang sering 
digunakan adalah dari jenis arak putih atau anggur beras ketan. Memang tidak 
semua ikan bakar atau daging bakar menggunakan bahan ini. Tetapi dari beberapa 
kasus yang terjadi di restoran Jepang dan Cina, penggunaan khamr ini 
kadang-kadang ditemukan. Ciri masakan bakar yang menggunakan khamr agak susah 
dideteksi. Secara umum khamr dalam masakan bakar agak susah dideteksi. Secara 
umum daging atau ikan yang direndam khamr biasanya lebih lunak, lebih empuk dan 
memiliki aroma khas khamr. Tetapi tanda-tanda tersebut pada kenyataannya sulit 
dikenali, karena daging yang lunak dan empuk juga bisa disebabkan oleh enzim 
papain dari daun atau getah pepaya. Sedangkan aroma khamr sangat sulit 
dikenali, khususnya bagi orang awam yang tidak terbiasa dengan aroma tersebut.

d. Khamr dalam Tumisan

Masakan yang menggunakan cara pemasakan tumis juga sering menggunakan khamr 
sebagai bahan yang ditambahkan. Aroma khamr akan muncul pada saat tumisan 
dipanaskan dengan api dan khamr dimasukkan ke dalam wajan. 

e. Khamr dalam Mie

Mie goreng dengan berbagai rasa kadang-kadang ditambahkan khamr untuk 
mencitarasakan khamr guna menambah selera. Seperti mie goreng ayam, mie goreng 
sea food, mie goreng udang dan seterusnya. Khamr yang digunakan dalam masakan 
ini biasanya adalah arak putih, arak merah atau mirin. 

f. Khamr dalam Sea food

Jangan dikira setiap sea food  pasti aman. Meskipun semua isi laut halal, 
tetapi cara memasaknya sangat beraneka ragam. Nah, pemasakan sea food itulah 
yang kadang-kadang menggunakan saus dan khamr untuk menghasilkan rasa dan aroma 
khas yang konon mengundang selera. 

g. Khamr dalam Campuran Minuman

Di restoran-restoran atau café sering ditawarkan beraneka ragam minuman dengan 
nama keren dan penampilan yang eksentrik. Kadang-kadang kita terjebak dengan 
nama minuman itu yang kelihatannya aman. Misalnya avacado fload, lemon squash, 
oranges dan beberapa minuman yang berkonotasi buah-buahan. Tetapi tidak ada 
salahnya jika kita bertanya kepada pramusaji, apa saja isinya. Sebab tidak 
jarang di dalam minuman buah itupun ditambahkan rhum atau minuman keras yang 
lain. Katanya untuk menimbulkan sensasi khusus ketika kita meneguknya. Dari 
semua jenis makanan yang berpeluang ditambahkan khamr atau minuman keras itu 
memang sulit dideteksi secara visual. Apalagi bagi kita yang tidak pernah 
mengenal minuman keras. 

 

3.5.Alkohol dalam Obat-Obatan

                Seperti telah dijelaskan di atas dalam prinsip 2.9. di atas, 
berobat dengan benda najis dan haram hukumnya adalah makruh, bukan haram. 
Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol –meskipun najis— dalam 
rangka pengobatan tidaklah berdosa, sebab hukumnya makruh. (Namun, perlu sekali 
dicatat, makruh itu sebaiknya ditinggalkan. Orang yang meninggalkan yang 
makruh, mendapat pahala dari Allah SWT. Tapi jika ia mengerjakannya, tidak 
mengapa dan tidak berdosa).

                Atas dasar itu, maka penggunaan berbagai bahan yang najis dan 
haram, tidaklah mengapa. Hukumnya makruh.  Misalnya, menggunakan alkohol 
sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum diinjeksi, sebagai 
pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini, segala macam 
benda najis lainnya di luar alkohol. Misalnya penggunaan selongsong kapsul dari 
bahan babi, penggunaan urine sebagai sarana terapi, dan sebagainya.

                Namun karena ada pendapat lain dari umat Islam yang 
mengharamkan penggunaan benda najis untuk berobat, sebaiknya sebisa mungkin 
kita hanya menggunakan bahan yang suci dan halal dalam dunia obat-obatan. 
Kalaupun kita mengikuti pendapat yang memakruhkan, kita disunnahkan menggunakan 
bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari 
perselisihan. Kaidah fiqih menyatakan : Al-Khuruj minal Khilaaf mustahab 
(Menghindarkan diri dari perselisihan pendapat, adalah disunnahkan). (Abdul 
Hamid Hakim, As-Sulam , hal. 68) 

    

3.6.Alkohol dalam Kosmetik

Fungsi alkohol dalam sediaan kosmetika (terutama parfum) pada umumnya adalah 
sebagai pelarut dan digunakan di luar badan. Bagaimanakah hukumnya menurut 
fiqih Islam?

Hukumnya haram, sebab alkohol itu najis sebagaimana telah dibahas sebelumnya, 
dan memanfaatkan najis adalah haram (lihat prinsip dasar 2.9).

Memang benar, bahwa alkohol itu mudah menguap. Beberapa saat setelah sediaan 
kosmetika (juga parfum) diaplikasikan, maka alkohol akan segera menguap dan 
tidak terdeteksi lagi (undetectable). Adanya bau dari parfum yang diaplikasikan 
di pakaian, adalah zat wanginya, bukan alkoholnya (Mursyidi, Kehalalan Bahan 
dalam Sediaan Kosmetika, makalah, tidak dipublikasikan). Pertanyaannya, apakah 
jika pada hasil akhir alkohol tidak terdeteksi, berarti kita boleh menggunakan 
alkohol dalam proses tersebut?

Hukumnya haram, sebab ada tidaknya alkohol pada hasil akhir, bukanlah 
satu-satunya pertimbangan hukum. Yang (juga) menjadi pertimbangan, adalah 
tindakan pemanfaatan alkohol itu sendiri. Bukan hanya dilihat apakah pada hasil 
akhirnya alkohol itu masih dapat dideteksi atau tidak.

Padahal pemanfaatan alkohol adalah haram, karena alkohol termasuk ke dalam 
kategori benda najis yang tidak boleh dimanfaatkan (lihat prinsip dasar 
2.9.).Jadi pemanfaatan alkohol dalam sediaan parfum adalah haram, meskipun pada 
hasil akhirnya alkohol itu sudah tidak dapat terdeteksi lagi.                   
             

                Jawaban ini juga berlaku untuk penggunaan bahan najis lainnya 
dalam bidang kosmetika. Misalnya, penggunaan lemak babi sebagai bahan pembuatan 
sabun. Sabun yang dihasilkan, secara sifat fisik dan kimiawi sudah sangat 
berbeda dari bahan dasar/asalnya yang najis. Pertanyaannya, apakah boleh 
menggunakan lemak babi sebagai bahan dasar sabun? Jawabannya adalah tidak boleh 
(haram), sebab ada tidaknya lemak babi pada hasil akhir, bukanlah satu-satunya 
pertimbangan hukum. Yang (juga) menjadi pertimbangan, adalah tindakan 
pemanfaatan lemak babi itu itu sendiri. Bukan hanya dilihat apakah pada hasil 
akhirnya lemak babi itu masih dapat dideteksi atau tidak. Pemanfaatan lemak 
babi adalah haram, berdasarkan nash Al Qur`an yang telah mengharamkan babi 
(Al-Baghdadi, 1994:43-44), di samping lemak babi termasuk benda najis yang 
tidak boleh dimanfaatkan (lihat prinsip dasar 2.9.)  

Dapat ditambahkan, bahwa akhir-akhir ini telah diketahui, heparin (sodium  
heparin) yang sudah  diproduksi secara komersial,  ternyata berasal dari  
jaringan  mukosa usus babi. Dalam dunia kosmetika, heparin merupakan salah satu 
 bahan  yang digunakan dalam pembuatan cream untuk nutrisi kulit, cream  untuk 
sekitar mata, produk-produk anti acne dan juga hair tonic. Produk ini 
diproduksi di China serta diekspor terutama untuk  negara  Amerika  dan Eropa. 
Maka, umat Islam sudah seharusnya menghindari produk  kosmetika yang mengandung 
unsur heparin (sodium heparin) yang  berasal  dari Amerika, Eropa  apalagi  
China (www.halalmui.or.id).

 

4. Penutup

                Sebagai penutup, kiranya patut kita renungkan, bahwa masalah 
keberadaan alkohol dalam makanan, obat, dan kosmetik telah menjadi salah satu 
persoalan kaum muslimin setelah mereka dikungkung oleh sistem sekuler yang 
kufur ini. Sistem tersebut sama sekali tidak memperdulikan halal dan haram, 
karena berdiri di atas asas manfaat (pragmatisme/utilitarianisme). Akibatnya, 
kaum muslimin merasa kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya, karena hampir 
semua segi kehidupan dipenuhi dengan kemaksiatan dan keharaman. Termasuk 
membajirnya produk-produk yang dilarang oleh syara’ baik makanan, obat, maupun 
kosmetik.

                Berbeda halnya jika kaum muslimin hidup dalam naungan negara 
Khilafah Islam. Sebuah sistem yang melindungi kaum muslimin dari berbagai jenis 
pelanggaran terhadap syara’at Islam. Termasuk akan menjaga kaum muslimin dari 
berbagai produksi makanan, minuman, dan obat-obatan yang haram. Karena itu, 
persoalan ini baru akan tuntas secara total apabila Negara Khilafah Islam 
berdiri. Kita bermohon kepada Allah, agar kita senantiasa diberi kekuatan untuk 
tetap berjuang secara ikhlas dalam menegakkannya. Semoga Allah SWT memberikan 
pertolongan kepada kaum muslimin di seluruh dunia. Wallahu a’lam.

 

 - - - - - - -

 

*Makalah disampaikan dalam Seminar Farmasi bertema Halal Haramnya Bahan 
Tambahan dalam Makanan, Obat, dan Kosmetik, diselenggarakan oleh Islamic Study 
Club of  Pharmacy Himpunan Mahasiswa Farmasi, Fakultas MIPA, UII, hari Ahad, 27 
Pebruari 2005, di Ruang Auditorium FTSP, UII, Yogyakarta.

 

**Aktivis Hizbut Tahrir. Alumnus Fakultas MIPA IPB dan Pesantren Al-Azhhar 
Bogor, staf pengajar STEI Hamfara Yogyakarta, sedang menyelesaikan program 
pasca sarjana di Magister Studi Islam UII, Yogyakarta.  

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Beirut : Darul 
Bayariq. 

 

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1986. Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah. Sidney 
: Tanpa Penerbit.  

 

----------. 1994. Babi Halal Babi Haram. Jakarta : Gema Insani Press.

 

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

 

Al-Mustanier, Ahmad Labib. Tanpa Tahun. Hukum Seputar Khamr. www.islamuda.com.

 

Al-Qaradhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi 
Al-Islam). 

Terjemahan oleh Muammal Hamidy. Surabaya : PT Bina Ilmu

 

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul 
Al-Fiqh). Al-Quds : 

Mansyurat Hizb Al-Tahrir.  

 

----------. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fil Islam. Beirut : Darul Ummah. 

 

----------.1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Beirut : Darul Ummah.

 

----------. 2001. Nizhamul Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb 
Al-Tahrir.

 

An-Nawawi, Imam. 2001. Syarh Matn Al-Arba’in An-Nawawiyah (Syarah Hadits 
Arba’in). 

Terjemahan oleh H. Murtadho dan Salafuddin. Solo : Al-Qowam.

 

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. EdisiIV. Jakarta : UI 
Press. 

 

Apriyantono, Anton. Tanpa Tahun. Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil 
Bioteknologi: Suatu 

Tantangan, http://www.indohalal.com/doc_halal3.html

 

Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz I. Bandung : Maktabah Dahlan.

 

Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. Juz III. 
Beirut : Darul 

Fikr.

 

Hakim, Abdul Hamid. Tanpa Tahun. Mabadi` Awwliyah. Jakarta : Sa’adiyah Putra.

 

----------. Tanpa Tahun. As-Sulam. Jakarta : Sa’adiyah Putra. 

 

Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. Al-Arba’una Haditsan fi Al-Akhlaq ma’a Syarhiha 
(Syarah 40 Hadits 

Tentang Akhklak). Terjemahan oleh Abu Azka. Jakarta : Pustaka Azzam. 

 

Departemen Kesehatan Dirjen POM. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. 
Jakarta : 

Depkes.

 

MUI. Hukum Alkohol dalam Minuman. www.mui.or.id

 

Makhluf,  Hasanain Muhammad. 1994.Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an. 
Damaskus-Beirut : 

Darul Fajr Al-Islami. 

 

Mursyidi, Ahmad. Tanpa Tahun. Kehalalan Bahan dalam Sediaan Kosmetika. Makalah. 
Tidak 

Dipublikasikan.     

 

Musthafa K.S. 1983. Alkohol dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan. 
Bandung : PT 

Alma’arif.

 

Mutscher, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB.

 

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 1986.  Obat-Obat Penting : Khasiat, 
Penggunaan, dan Efek-

Efek Sampingnya. Edisi IV. 

 

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. 
Jakarta : Gema 

Insani Press.

 

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=416

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=417





---------------------------------
  Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" your friends today! 
Download Messenger Now

[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke