http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/04/opini/1599951.htm

      Jumat, 04 Maret 2005  
     
     
     

      Anatomi Ketidakberdayaan TKI 

      Oleh Eny Haryati



      Apa pun yang terjadi sebagai kenyataan, aku tak kuasa lari darinya, dari 
belenggu ketidakberdayaan... adalah ketidakberdayaan dalam melawan kejamnya 
hidup dan penghidupan.

      Aku tak berdaya saat di negeri sendiri. Aku juga tak berdaya ada di 
negeri orang. Kini aku benar-benar tak berdaya... melawan perburuan dan gerilya 
500.000 pasukan. Aku. tak berdaya!

      "TAK berdaya". Itulah kata kunci yang dapat menggambarkan kondisi nyata 
ratusan ribu tenaga kerja Indonesia ilegal yang kini berada di Malaysia. 

      Menurut Pemerintah Malaysia, kini sedikitnya 800.000 tenaga kerja ilegal 
masih tinggal di sana. Dari jumlah itu, sekitar 450.000 orang diperkirakan dari 
Indonesia. Jumlah ini setelah dikurangi tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal 
yang pulang pada masa pengampunan (amnesti) 29 Oktober 2004-31 Januari 2005 dan 
Operasi Nasihat 1-28 Februari 2005 (Kompas, 3/3).

      Pascaamnesti dan Operasi Nasihat, pekerja ilegal harus menghadapi Operasi 
Tegas yang diberlakukan mulai 1 Maret 2005. Untuk itu, Malaysia menyiagakan 
500.000 petugas yang siap memburu pekerja ilegal (Kompas, 28/2).

      Drama perjalanan TKI, khususnya TKI ilegal yang mengadu nasib ke Malaysia 
layak dipahami sebagai "balada penyandang derita". Mereka pahlawan devisa yang 
sengsara oleh kejamnya dunia. Itu dapat dikaji setidaknya melalui sejumlah 
fenomena berikut.

      Keberangkatan TKI

      Kepergian mereka ke luar negeri sebenarnya didorong oleh keinginan untuk 
mengubah hidup dan penghidupan karena di negeri sendiri tidak tersedia lapangan 
pekerjaan. Mereka tak tahan dengan kemiskinan panjang yang mencekam. Mereka 
lelah hidup dalam kecingkrangan dan serba kekurangan. Mereka ingin "melukis" 
masa depan baru bagi diri sendiri dan keturunannya. Mereka pun memutuskan untuk 
pergi, bermodal tekad dan nyali, tanpa berpikir panjang akan aturan hukum dan 
regulasi, lantaran mereka tidak mengerti.

      Tekad mereka untuk meninggalkan kampung halaman menuju negeri orang 
ditangkap sebagai peluang strategis oleh orang-orang oportunis. Para calo, 
pialang tenaga kerja, dan mereka yang mengaku sebagai mediator amat cerdas 
dalam mengambil kesempatan. Dengan memerankan diri sebagai "dewa penolong", 
sang calo membuka praktik "penyembelihan" calon TKI. Tak pelak jika mafia calo 
TKI akhirnya tampil sebagai unit bisnis "jalur basah" di negeri ini.

      Dari sini kita bisa memahami, betapa saat calon TKI memutuskan untuk 
berangkat ke luar negeri, mereka tak berdaya (karena serba tidak mengerti 
apa-apa) harus berhadapan dengan ulah calo. Pada tahap ini mereka benar-benar 
menjadi "sapi perah" bagi calo TKI. Untuk keperluan itu tidak jarang mereka 
harus menjual atau menggadaikan aset yang mereka miliki. Astuti, misalnya, TKI 
asal Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, keluarganya harus menjual sepetak sawah 
(satu-satunya aset produktif yang mereka miliki) untuk menutup biaya 
keberangkatannya ke mancanegara.

      Hasil penelitian Center for Policy and Development Studies (Clients, 
2003) di Kabupaten Pacitan, Ponorogo, dan Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, 
menunjukkan dana keberangkatan TKI bersumber dari menjual aset (21 persen), 
menggadaikan aset produktif sawah/tanah (37 persen), mencari pinjaman kepada 
sanak keluarga (17 persen), sisanya (25 persen) dari sumber lain, terutama 
dipinjami calo TKI.

      Jadi, saat niat berangkat ke luar negeri muncul, calon TKI sudah harus 
berhadapan dengan ketidakberdayaan melawan maraknya praktik calo tenaga kerja, 
di tengah lilitan hidup yang serba papa.

      Melawan majikan

      Kendati keberadaan TKI ilegal di Malaysia disebut "pendatang haram", 
tidak sedikit orang yang dapat mengambil keuntungan atas keberadaan mereka. 
Sejumlah besar majikan menggunakan jasa mereka sebab mereka yang ber-etos kerja 
tinggi, mau bekerja dalam jam kerja panjang, mau dibayar relatif murah, dan 
memiliki posisi tawar yang rendah tentu menguntungkan majikan.

      Oleh karena itu, fenomena hubungan majikan-TKI dapat dipahami sebagai 
hubungan "pengisapan", yang sarat kesewenangan, baik yang terjadi dalam 
hubungan sosial kemanusiaan maupun hubungan bisnis berkait keuangan.

      Menyadari lemahnya posisi tawar TKI ilegal, sejumlah majikan "nakal" lalu 
mengambil aksi untuk menunda pemberian gaji, bahkan tidak memberi gaji sama 
sekali. Langkah para TKI ilegal yang bekerja sebagai buruh bangunan di kawasan 
Flora Damansara, Selangor, untuk tidak mau meninggalkan Malaysia sebelum 
majikan membayar gaji mereka yang tidak diberikan sejak Desember 2004 (Kompas, 
3/3) merupakan salah satu indikasi, ketidakberdayaan juga terjadi dalam 
hubungan kerja TKI dan para majikan.

      Derita dalam perburuan

      Kini, saat Operasi Tegas diberlakukan mulai 1 Maret 2005, nasib TKI tak 
ubahnya seperti hewan. Mereka bersembunyi ke hutan, kucing-kucingan, selalu 
berdebar, dan didera ketakutan; dan mempertaruhkan dirinya untuk setiap saat 
tertangkap petugas keamanan, untuk kemudian berhadapan dengan hukum dan hukuman 
mengerikan.

      Problem dilematik terkini yang melilit TKI ilegal Malaysia adalah ancaman 
hukum yang setiap saat mengintai dan memaksa mereka bertaruh nasib di antara 
"hidup dan mati". Dalam konteks ini sejumlah kalangan memprediksi bakal terjadi 
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) luar biasa yang berpeluang terjadi pada 
kasus penangkapan TKI ilegal sepanjang Operasi Tegas berlangsung.

      Di titik inilah kinerja Pemerintah Indonesia dalam melindungi warga 
negaranya dan efektivitas negosiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap 
Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi pada 14 Februari 2005 lalu sedang diuji. 
Tentu saja, apa pun adanya, variabel ini akan menentukan format hubungan 
bilateral kedua negara di kemudian hari.

      Pulang tak berdaya

      Harus pulang dengan hampa dan tak berdaya tampaknya akan menjadi fenomena 
ratusan ribu TKI ilegal dalam waktu dekat. Kepergian yang diawali 
ketidakberdayaan ternyata harus diakhiri dengan proses kepulangan yang juga 
penuh ketidakberdayaan.

      Jalan panjang terjal yang sulit, menyakitkan, menyedihkan, dan melelahkan 
masih harus mereka lewati dalam proses pulang menuju kampung halaman. Sebab di 
sepanjang jalan itu segala kemungkinan terburuk yang menyempurnakan penderitaan 
TKI amat mungkin terjadi.

      Saudara-saudaraku para TKI, dulu Ibu Pertiwi "menangis" melepas pergimu. 
Kini Ibu Pertiwi juga harus "menguras air mata" menyambut kepulanganmu.

      Eny Haryati Dosen FIA-Unitomo; Staf Ahli Clients, Direktur Eksekutif 
Center for Integrated Community Learning and Empowerment (CIrClE)
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke