--- In _ITB Gereja Katolik Indonesia Bukan "Alien"
Judul buku: Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia Penulis: Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap Penerjemah: R Hardawiryana, SJ Penerbit: Kanisius, 2005 Tebal Buku: 540 halaman Ukuran: 16 x 23 cm Kisah sukses kelapa sawit, menurut Dr Huub J Boelaars, adalah contoh Indonesianisasi yang berhasil. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang sekarang menjadi soko guru penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum direbut oleh Malaysia, Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Keberhasilan itu, tulis Boelaars, seorang pastor Ordo Fransiskan Kapusin, berawal dari yang sederhana. Pohon-pohon kelapa sawit berasal dari sebuah pohon kelapa sawit yang ditanam tahun 1848 oleh Dr Johannes Elias Teijsman di Kebun Raya Bogor. Analoginya jelas. Kekristenan yang tidak berasal dari Indonesia ditanam di Nusantara pada awal-awal abad yang silam, kemudian mengakar menjadi dewasa (hal 21). Melalui proses inkulturasi, Gereja Katolik Indonesia berkembang dan buah proses itu memberi sumbangan besar bagi Gereja Katolik semesta. Indonesianisasi dalam konteks buku ini berarti proses integrasi tidak menuju mentalitas ghetto. Gereja Katolik (Roma)-selanjutnya ditulis Gereja Katolik atau Gereja-dalam proses tidak menjadi unsur yang terasing dalam masyarakat (Indonesia). Gereja harus "kerasan" di Indonesia dan dipandang sebagai gejala yang biasa (hal 448). Indonesianisasi tiada lain ialah pemribumian atau pembangunan Gereja setempat di Indonesia (hal 56). Pernyataan yang dirumuskan tahun 1972 itu menjadi titik berangkat buku J Boelaars yang aslinya berbahasa Belanda. Premis Boelaars, benarkah di kalangan umat Katolik ada mental ghetto? Benarkah Gereja belum terintegrasi dalam negara-bangsa Indonesia? Jawaban atas premis diuraikan lewat analisis historis-deskriptif, sebuah pendekatan yang unik menurut penerjemahnya, Pater Hardawiryana, teolog yang merasa terinspirasi mengembangkannya. Berkat buku itu Pater Hardawiryana menulis "pentalogi", sebuah refleksi teologis bagi pengembangan reksa pastoral umat Katolik Indonesia (hal 9-10) yang terdiri atas lima judul buku bertopik "Cara Baru Menggereja di Indonesia" (2001). Arti reksa pastoral selain menekankan pembinaan dan pengembangan, juga pelayanan. Bukan "Alien" Ditempatkan dalam sederet buku sejarah perjalanan Gereja berbahasa Indonesia, buku ini komplementer. Di antaranya ia melengkapi buku- buku Dr MPM Muskens (editor) Sejarah Gereja Katolik Indonesia (1974), buku Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (1999), buku Dr F Hasto Rosariyanto SJ (ed) Bercermin pada Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia (2001), dan buku-buku deskriptif tentang keuskupan-keuskupan setempat maupun analisis tentang hubungan Gereja dan negara, Gereja dan masyarakat Indonesia. Data yang dikumpulkan sangat lengkap, rinci dan diperbandingkan dengan berbagai sumber, dianalisis secara deskriptif mendalam sehingga tidak kering. Mungkin saja itu pun berkat sentuhan tangan penerjemah. Buku ini tidak menguraikan munculnya nasionalisme Indonesia yang sudah ditulis Dr Muskens dan Dr Bank, di mana dalam kedua buku tersebut pihak Indonesia memperoleh banyak penguraian. Boelaars juga tidak menguraikan kasus konflik Jacob Groof-J Rochussen. Jacob Groof adalah Vikaris Apostolik (perwakilan Paus di suatu Gereja) yang dikirim ke Hindia Belanda tahun 1845 oleh Vatikan. Sebagai seorang penganut garis konservatif, ia menganjurkan umat Katolik di Hindia Belanda menjauhi kenikmatan duniawi, seperti pesta dan menonton teater. Gubernur Hindia Belanda JJ Rochussen tidak berkenan. Jacob Groof diminta dikembalikan ke Belanda, dan sebagai pengganti dikirim PJ Willekens yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Hindia Belanda tahun 1934. Buku ini juga tidak menguraikan secara rinci berkembangnya nasionalisme di kalangan tokoh-tokoh Katolik, walaupun kenyataan historis ini menjadi faktor penting dalam nuansa Indonesianisasi. Penegasan "Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia" yang kemudian memunculkan slogan "pro eccelesia et patria" (untuk Gereja dan Negara) dari uskup asli pertama Indonesia, Mgr Albertus Soegijapranata SJ, hanya disinggung sedikit. Titik temu mungkin banyak terjadi dengan buku Pater Hasto Rosariyanto (editor), yang merupakan refleksi atas berdirinya keuskupan-keuskupan, mulai dari Provinsi Gerejani Ende hingga Provinsi Gerejani Makassar. Lewat pembagian tiga fase Gereja Katolik Indonesia (fase I tahun 1534-sampai akhir abad ke-18, fase II abad ke-19, fase III abad ke-20), buku yang terkumpul dari tulisan para uskup itu mengajak pembaca bercermin pada perjalanan jatuh-bangun Gereja Katolik Indonesia, atau menurut istilah Boelaars sebagai Indonesianisasi. Dari antara buku Jan Bank, Muskens, dan Hasto ditemukan tiga titik berangkat yang sama. Dengan redaksi dan penekanan yang berbeda, termasuk buku Boelaars, ketiganya berangkat dari awal kehadiran Gereja yang dibawa oleh pedagang Portugis. Diuraikan bagaimana VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda kurang memberi angin bagi perkembangan Gereja, dan bagaimana keterlibatan awam (bukan rohaniwan/wati) sejak umat Katolik pertama dibaptis tahun 1534 sampai sekarang terlibat dalam perputaran roda kehidupan Gereja. Mereka pun tidak menjadi corpus alienum atau "benda asing" (istilah J Boelaars, hal 449) dalam perjalanan jatuh-bangun pembangunan negara bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Kronologi, urutan waktu, menjadi pilihan mendekati persoalan. Pengarang berangkat dari awal mula kedatangan agama Katolik ke Indonesia. Patokan tidak diambil catatan Syekh Abu Salih al-Armini bahwa di Sumatera Utara (Barus) pada abad VII sudah ada Katolik Nestorian (hal 60), tetapi ketika pedagang Portugis memburu rempah- rempah di Maluku tahun 1512. Pada tahun 1534 ada orang Indonesia yang dibaptis Katolik, dan tahun itu pula dijadikan tonggak kehadiran Katolisisme di Indonesia (hal 64). Kisah awal yang juga sudah ditulis dalam berbagai buku dilanjutkan dengan pentahbisan uskup pertama asli Indonesia, Mgr A Soegijapranata SJ tahun 1940 di Semarang dengan umat sekitar 41.000, sekitar 15.000 di antaranya orang Eropa (hal 112). Lima puluh tahun kemudian, tahun 1990, di seluruh Indonesia terdapat 4,6 juta umat Katolik-pada tahun 1940 termasuk Flores hanya ada sekitar 500.000 umat-yang berarti selama 50 tahun ada kelipatan sepuluh kali dengan 1.905 pastor (hal 191). Di zaman kolonial Jepang, meskipun ada 74 pastor, 47 bruder, 161 suster meninggal di tahanan, tetapi Gereja tetap lestari (hal 119). Sejarah awal kehadiran dan perkembangan Gereja hingga tahun 1050-an bisa juga dibaca dalam buku karya Dr Anhar Gonggong yang terbit tahun 1993 dan buku karya Dr G Budi Subanar SJ yang terbit 2003. Keduanya berkisah tentang sosok Mgr A Soegijapranata. Menuju Gereja Indonesia Pengarang memasukkan tahun 1940-1961 sebagai Dari Misi menuju Gereja yang Mandiri (hal 104-139). Pada periode itu setiap Gereja setempat (keuskupan) belum dipersatukan sebagai satu Gereja Indonesia, tetapi masih sebagai Gereja di Indonesia, karena itu berhubungan langsung dengan Takhta Suci di Roma. Dengan dihentikannya status Misi dan didirikannya hierarki Indonesia, berarti kawasan Indonesia ditetapkan sebagai mandiri oleh Roma (hal 139). Ada tantangan besar sebab dari 25 keuskupan, 22 di antaranya dipimpin oleh uskup bukan asli Indonesia, dan dua wilayah masih bersatus prefektur (langsung bertanggung jawab ke Roma), yakni Weetebula dan Sibolga (yang terakhir berstatus keuskupan tahun 1959). Indonesianisasi dengan konstelasi politik pasca-1965 disemangati, didorong, bahkan "dipaksa" oleh Konsili Vatikan II (1962-65) lewat dokumen-dokumennya yang inklusif. Sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1966 pun merumuskan bagaimana umat Katolik perlu terlibat dalam program pembangunan nasional. Pernyataan Mgr Soegijapranata yang nyaris menjadi klasik, "100% Indonesia 100% Katolik", ditegaskan kembali oleh Ketua MAWI waktu itu, Justinus Kardinal Darmojuwono. Indonesianisasi tidak hanya menyangkut perkembangan ordo dan kongregasi yang berkarya, tetapi pertumbuhan jumlah umat sebagai bagian dari negara-bangsa Indonesia. Boelaars memang tidak terlalu menekankan uraian peranan umat dalam politik. Persoalan itu diuraikan panjang dan lengkap dalam buku Muskens, Jan Bank, dan Hasto Rosariyanto. Boelaars terutama memberi penekanan pada cara menggereja dalam arti pewartaan Kabar Gembira (Injil). Pemribumian menjadi kosakata populer, sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II. Di antaranya tentang pertumbuhan terbesar jumlah umat Katolik terjadi pada periode tahun 1950-1960 sebesar 7,9 persen, sementara terkecil tahun 1980-1990 sebesar 3,6 persen (hal 192), dengan jumlah antara tahun 1971-1980 ada pertambahan 1,6 juta, sementara Islam 25 juta dan Kristen Protestan 2,5 juta. Kenyataan sekitar 68 persen dari seluruh umat tinggal di daerah pedesaan dan hidup dari bertani (hal 217), menurut Boelaars, menjadi bahan pertimbangan pokok dalam pelayanan. Keputusan Departemen Agama tahun 1978, Nomor 70 dan Nomor 77, dicatat sebagai salah satu fase serius Indonesianisasi. Katolik dan Protestan terhadap keputusan itu menentang dengan alasan melanggar kebebasan beragama (hal 177). Keputusan No 70 berisi peraturan tentang "penyiaran agama kepada rakyat yang beragama lain". Keputusan No 77 tentang bahwa semua bantuan luar negeri kepada golongan agama, baik finansial maupun ketenagaan, hanya dapat disalurkan melalui Departemen Agama. Dua keputusan itu berdampak cukup serius, di antaranya menyangkut kebutuhan tenaga pastor. Meskipun sampai sekarang belum pernah ada pencabutan, ada saja pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan politik. Menantang Pengarang mencatat pernah terjadi perbedaan pendapat antara Gereja Indonesia dan Pemerintah Indonesia (hal 327), yang memberi kesan seolah-olah kepemimpinan Gereja dapat beralih ke penanganan negara. Masalah muncul ketika pada bulan Mei 1984 pemerintah menyampaikan lima rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR, satu di antaranya RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan. Setelah melewati perdebatan panjang, menyangkut soal Gereja Indonesia sebagai bagian dari Gereja Semesta, akhirnya MAWI/KWI pada awal Januari 1987 menerima Pancasila sebagai asas. KWI membutuhkan waktu panjang menafsirkan UU Nomor 8 Tahun 1985 itu karena merasa dirinya bukan organisasi masyarakat, tetapi organisasi keagamaan (hal 332). Inkulturasi seperti disemangati Indonesianisasi, menurut Boelaars, secara umum tidak menimbulkan gejolak. Awalnya memang karena adat berakar dalam pandangan hidup yang melandasinya, perjumpaan Injil (Kabar Gembira) dengan adat, merupakan perjumpaan dua visi religius yang berlainan. Tetapi, setelah keduanya melakukan penyesuaian, perbedaan bisa diatasi, di antaranya terlihat dalam integrasi adat dalam perayaan religius yang mengalami perombakan total. Refleksi teologis yang konsekuen dan serius dilakukan, khususnya menghadapi peraturan-peraturan pemerintah, seperti disebut dua keputusan Departemen Agama dan UU No 8/1985. Refleksi teologis yang kontekstual terus diperkaya lewat pengembangan teologi sosial, di mana titik tolak dasarnya adalah kebutuhan setempat-dalam teologi kemudian, tetapi belum ditelaah Boelaars dalam buku ini-sebagai teologi pembebasan, yakni teologi yang berbasis pada kebutuhan setempat dan aksi nyata perubahan. Buku ini menantang. Tidak saja untuk dilanjutkan sebagai diskusi besar tentang makna "katolisitas" Indonesia, tetapi setidaknya Dr Boelaars telah mencatat lewat uraian deskriptif-historisnya perjalanan jatuh-bangun Gereja, dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Gereja bersama jatuh-bangun negara- bangsa Indonesia. Gereja bukan suatu makhluk asing, suatu corpus alienum, bukan sebuah ghetto, tetapi satu kesatuan simbiose- mutualitis dengan bangsa Indonesia. Buku ini pun menyisakan pekerjaan rumah yang sudah pasti tak kalah menarik, misalnya bagaimana proses Indonesianisasi pascakebangkitan agama-agama, bahkan juga terorisme yang sebenarnya berawal dari persoalan ekonomi- sosial, tetapi telanjur melekat pada satu sisi hidup keberagamaan. (ST SULARTO) Minggu, 27 Maret 2005 Hidup Itu Singkat Judul: Vita Brevis, Sebuah Gugatan dari Cinta Pengarang: Jostein Gaarder Penerjemah : VAM Kaihatu Penerbit : Jalasutra Tahun Cetak : Cetakan I, Februari 2005 Tebal : xxvii + 154 halaman Apa jadinya jika salah seorang peletak dasar teologi sebuah agama menjadi seorang tergugat? Santo Agustinus dalam agama Kristen adalah seperti Alghazali bagi kaum Muslim. Ada satu kesamaan dalam diri masing-masing, yakni sama-sama membuat risalah mengenai perjalanan dirinya, pencarian batinnya, dalam upaya meraih apa yang disebut tujuan final bagi para pemeluk agama. Agustinus menggubah Confessiones (Pengakuan) dan Alghazali mengarang Munqidz Minadholal (Penyelamat dari Kesesatan). Coba bayangkan, jika seorang sekaliber St Agustinus, yang pengakuan jujur dirinya termuat dalam Confessiones dengan narasi teologis yang indah, tiba-tiba terkuakkan sepenggal kisah yang selama ini tak pernah tercatat dalam sejarah. Pertama orang akan bertanya tentang kebenaran dari penggalan cerita tadi. Reaksi kemudian, tentu saja setiap orang akan mempunyai sudut pandang tersendiri tentang kisah tersebut, mempunyai penafsirannya masing-masing. Adalah Floria, si penggugat itu, yang mengaku sebagai bekas kekasih sang Santo, dan menggubah surat-surat yang diperuntukkan bagi mantan kekasihnya. Boleh dikatakan ia membuat pengakuan balik atau gugatan balik atas Pengakuan St Agustinus. Ia ingin didengarkan oleh gereja, seperti halnya Pengakuan St Agustinus yang juga dihargai oleh umat Kristiani (hal 30). Jostein Gaarder, si penemu Codex Floriae, surat- surat mantan kekasih St Agustinus ini, adalah seorang pengarang yang tak asing bagi khalayak pembaca sastra dan filsafat. Dunia Sophie (Sophie's World) merupakan salah satu karya besarnya untuk genre sastra-filsafat, yang diperuntukkan bagi para pemula, terutama remaja. Di pertengahan musim semi tahun 1995, demikian Gaarder menceritakan asal mula penemuan naskah tua ini, saat pameran buku di Buones Aires, ia mengunjungi pasar loak di San Telmo. Di sebuah toko yang menjual buku-buku dan naskah-naskah kuno, ia menemukan gulungan surat berkertas merah yang bertuliskan aksara Latin: Floria Aemelia Aurelio Augustino Episcopo Hipponiensi Salutem. Salam dari Floria Aemilia kepada Aurelius Agustinus, Uskup Hippo. Dari benak Gaarder lantas berdatangan aneka pertanyaan yang membuatnya makin penasaran, apakah yang dimaksud si penulis surat adalah Santo Agustinus, Sang Bapak Gereja yang hidup di sekitar abad ke-4 M. Rasa penasarannya tak bisa ditekan dan membuatnya harus bertaruh: ia dengan rela mengeluarkan hampir 12.000 dollar AS demi mendapatkan naskah tua itu. Setelah menelitinya, Jostein Gaarder berkeyakinan bahwa naskah ini memang asli. Mungkin merupakan salinan dari naskah yang lebih tua dan salinan yang dipegangnya dipastikan berasal dari abad ke-16. Ia kemudian mulai mencoba menerjemahkan surat-surat tersebut. Rasa kagum atas pilihan kata yang indah dari rangkaian tulisan tangan Codex Floriae, dicampur argumentasi teologis dan tuntutan dari seorang perempuan, semakin membuat Gaarder tak bisa menahan diri untuk berbagi dengan khalayak pembaca. Setahun kemudian, Codex Floriae diterbitkan dalam bahasa Norwegia, walaupun untuk judul, Gaarder tetap mengambil kalimat dalam bahasa Latin, yang sering dituliskan berulang kali oleh Floria: Vita Brevis, hidup itu singkat. Mungkin ada benarnya ungkapan seorang sastrawan Romania, EM Cioran: "Aku lebih menyukai surat-surat Nietzsche daripada membaca karya filsafatnya, ada kejujuran terdapat di sana, daripada buku filsafat yang canggih". Memang dalam penulisan yang serius, penalaran kita yang sistematislah yang lebih berperan. Atau bisa jadi kita memilih kata yang canggih dengan banyak kelokan dan dimaksudkan sebagai daya pikat yang membungkus argumentasi-yang bisa jadi sebenarnya sederhana-dalam sebuah tulisan serius seperti halnya filsafat. Berbeda dengan tulisan filosofis, tulisan dalam bentuk surat menyurat lebih menuturkan perasaan yang berkecamuk: gelisah yang melanda, kemarahan atas sesuatu, perasaan lara, maupun ungkapan cinta, yang semuanya bisa tergambarkan dengan jelas. Ungkapan perasaan si penulis dalam tulisan bentuk narasi seperti surat menyurat, misalnya, tergambar jelas dalam Confessiones St Agustinus, yang di dalamnya terdapat penuturan tentang hubungan dengan kekasih gelapnya selama 12 tahun. Hubungan gelap tersebut harus berakhir, St Agustinus lebih memilih agama Kristen atau jalan pengendalian diri, yang menuntut pertobatan total atas segala dosa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Perempuan tak bernama, yang oleh St Agustinus disebut Ibu dari Adeodatus, adalah celah kecil yang bisa melebar menjadi sebuah lubang. Penjelasan yang tidak begitu detil ihwal sosok perempuan tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh seseorang yang sangat memahami filsafat Yunani, teologi Kristen, dan sejarah Gereja (bisa jadi orang itu adalah Jostein Gaarder sendiri), entah untuk tujuan apa sehingga bisa menggubah Codex Floriae dengan bahasa dan tema yang benar-benar menyentuh, membuat kita tercenung, merenungkan kembali tentang makna kasih sejati, iman, takdir, tanggung jawab, dan sosok Tuhan itu sendiri. Itu dugaan yang mungkin, sendainya naskah itu betul-betul tidak dikarang oleh Floria, artinya ada orang lain yang memakai tangan Floria untuk menuliskan sisi yang tak terungkapkan dari kehidupan St Agustinus. Namun, jika naskah ini asli, kita harus mempertimbangkan banyak hal untuk membuktikan autentisitasnya. Pertama, untuk penelusuran naskah adalah hal yang tak mungkin ada mata rantai yang terputus. Si penjual naskah dan buku kuno, di mana Gaarder mendapatkan Codex Floriae, sudah tak ingat lagi dari siapa ia mendapatkannya. Kedua, penelaahan menyangkut isi dari naskah, Gaarder melihatnya dari segi bahasa yang digunakan. Ia berkeyakinan bahwa sintaks dan kosakata yang dipakai betul-betul sudah lama sekali, tidak mungkin berasal dari abad ke-16 dan dikarang di Argentina. Ketiga, dari penelusuran fakta sejarah. Artinya, harus ada kesesuaian antara kisah hidup St Agustinus dan peristiwa- peristiwa yang digambarkan dalam naskah tersebut. Ini yang dilakukan oleh St Sunardi dalam kata pengantar di buku ini. Patut kita ucapkan terima kasih kepada Penerbit Jalasutra, yang telah meminta St Sunardi, yang memang paham betul mengenai sejarah dan pemikiran St Agustinus, untuk menyusun sebuah pengantar yang faktual. Setelah membeberkan fakta-fakta sejarah St Agustinus, sampai akhirnya St Sunardi berkesimpulan: "Jadi tidak mustahil bahwa naskah Floria ini asli". Terlepas dari bagaimana dan seperti apa naskah ini dibuat atau jika kita melihat secara obyektif terhadap isi teksnya akan kita temukan perspektif yang cukup menggugah tentang bagaimana kita memandang St Agustinus dan juga ajaran Kristen. Dalam sebuah karyanya Fihi Ma Fihi, Maulana Rumi bertutur liris, "…Jalan Nabi Isa adalah perjuangan menahan diri dalam sunyi dan menjauhi godaan hasrat berahi...." Kisah hidup St Agustinus dalam Confessiones, dan dilengkapi dengan surat Flora, setidaknya memberikan gambaran betapa kerasnya perjuangan batin Sang Santo dalam menempuh jalan pengendalian diri ini. Sedangkan dari telaah teologis, surat-surat Floria menggambarkan adanya perbedaan yang berlawanan antara dirinya dan St Agustinus dalam memandang Tuhan, agama, kehidupan, dan hubungan lawan jenis. Floria mewakili paganisme di masa itu, yakni tradisi yang diwariskan dari Yunani-Romawi, sedangkan St Agustinus setelah bertobat, mewakili jalan Isa atau jalan pengendalian diri. Perbedaan pertama menyangkut hubungan di antara keduanya. Bagi Floria hubungan cinta antara St Agustinus dan dirinya dilandasi sebuah cinta ilahiah, tidak hanya berdasar hasrat raga semata, sedangkan bagi St Agustinus jelas sekali bahwa kehidupan masa lalu dengan kekasih gelapnya adalah kubangan penuh lumpur dosa yang harus dijauhi. Kedua, dalam hal memandang Tuhan. Bagi Floria gambaran tentang Tuhan adalah Dia yang tidak menuntut korban-jelas ia menganggap dirinya sebagai korban dari tindakan St Agustinus, sedangkan bagi St Agustinus seperti yang dicontohkan Nabi Isa dan para rasulnya, Tuhan menuntut pengorbanan diri kita secara total. Ketiga adalah dalam cara memandang kehidupan, keduanya menyadari betul akan betapa singkatnya hidup ini. Karena itu, harus dengan yang paling bermakna. Bagi Floria, kebermaknaan hidupnya terjadi manakala ia bisa bersama kekasihnya dalam kehidupan dunia ini. Namun, lain lagi bagi St Agustinus, kehidupan singkat dan fana ini harus ditukar dengan sesuatu yang lebih berharga, yakni kehidupan surga yang kekal kelak di kemudian hari. Himawijaya, Eksponen Komunitas Textour, Rumah Buku Bandung. --- End forwarded message --- ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/