Bung Kusni yang baik,
 
Saya sangat setuju dengan pendapat yang bung kemukakan. Saya adalah salah 
seorang anak muda yang lahir dan besar di zaman Orba. Semester pertama kuliah 
langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa Soeharto adalah seorang penguasa 
otoriter yang harus ditumbangkan. Jelas saya terkaget-kaget.
 
Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya, ketika itu masih SD, 
terkagum-kagum pada figur Soeharto dalam film "Serangan Oemoem 1 Maret" dan 
juga pada film "Pengkhianatan G.30.S/PKI."  Dalam benak saya, dia jagoan titik. 
Hebat.
 
Lalu memasuki 1997-1998, ketika baru kuliah, mata saya melek. Terbuka lebar. 
Betapa di balik kehebatan pembangunan ekonomi yang dilakukannya, tersimpan 
buruk wajah Orde Baru. Artinya, bagaimanpun juga, saya adalah bagian dari 
korban brain washing Orba.
 
Saya tentu setuju apabila keburukan PKI ketika masih berjaya pun ditulis dengan 
gamblang. Tanpa ba bi bu lagi. Dan tentu dengan serangkaian fakta yang kuat 
pula. 
 
Sekarang ada kesan "wajar" apabila orang-orang kiri dibantai habis. Karena pada 
periode sebelumnya PKI begitu garang menyerang kelompok politik lawan-lawannya. 
Inilah yang tidak beres. Bagaimana kesombongan PKI pada waktu itu dibalas 
dengan membantai massal kepada 3 juta massanya.
 
Mengenai pelurusan sejarah. Menurut hemat saya, ini perlu diperjelas lagi. Di 
kalangan sejarawan di Indonesia, saat ini sedang terjadi "tarung" antara mereka 
yang menggunakan istilah "penulisan ulang sejarah" (Prof Taufik Abdullah) 
dengan yang menggunakan istilah "Pelurusan Sejarah" (Asvi Warman Adam).
 
Penulisan ulang sejarah adalah sebuah usaha untuk menuliskan kembali sebuah 
peristiwa sejarah yang sebelumnya telah ditulis, dengan menggunakan fakta yang 
baru atau fakta yang sama dengan penulisan sebelumnya namun dengan intepretasi 
yang baru. Penulisan ulang sejarah yang baru tidak menggantikan versi sejarah 
yang sebelumnya. Ini didasarkan atas adanya adagium: bahwa setiap 
orang/kelompok memiliki hak untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat 
berhak menentukan karya sejarah mana yang mereka baca.
 
Sedangkan "Pelurusan Sejarah" adalah sebuah upaya untuk mengoreksi penulisan 
sejarah yang terdahulu, yang telah terbukti memutarbalikan fakta. Versi sejarah 
yang diluruskan dapat menggantikan versi sejarah sebelumnya, ketika fakta yang 
digunakan dalam penyusunannya terbukti lebih sahih daripada versi sebelumnya.
 
Terkhusus untuk kasus 65, mari kita tengok buku "Kesaktian Pancasila di Bumi 
Pertiwi." Buku ini diterbitkan oleh BP. Almanak Republik Indonesia. Diberi kata 
pengantar oleh Nugroho Notosusanto. Kalau tidak salah ingat Pada hal. 51 
terdapat sebuah foto yang memuat gambar beberapa mayat bergelimpangan dalam 
keadaan tangan terikat di tepian Bengawan Solo. Dalam caption disebutkan 
"Inilah korban keganasan PKI." Padahal fakta yang sesungguhnya mayat-mayat 
tersebut adalah anggota dan simpatisan PKI yang dibantai oleh militer atau 
milisi pendukungnya. Ini kan jelas pemutarbalikan fakta, sehingga perlu 
diluruskan, bukan ditulis ulang. Karen kalau ditulis ulang, lalu membiarkan 
versi yang sebelumnya, tentu akan membiarkan masyarakat awam bingung, bahkan 
tersesat dalam prasangkanya.
 
Contoh berikutnya juga bisa dilihat dalam buku Alex Dinuth "Kewaspasdaan 
Nasional: Kumpulan Dokumen Terpilih Peristiwa G.30.S/PKI" terbitan Intermasa 
tahun 1997. Pada hal 510-511 juga terdapat foto seperti di atas dan juga dengan 
caption yang menyesatkan. 
 
Tentang pembantaian di tepian kali Bengawan Solo dan Brantas sudah ditulis 
dengan bernas oleh Hermawan Sulistyo, "Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah 
Pembantaian Massal yang Terlupakan di Jombang-Kediri 1965-1966."

So, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan dalam penulisan sejarah 
wabilkhusus tahun 1965 adalah "Pelurusan Sejarah" bukan "Penulisan Ulang 
Sejarah."
 
Sekian dari saya.
 
Bonnie Triyana

Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
JURNAL KEMBANG KEMUNING:


MASALAH KETIDAKSINAMBUNGAN SEJARAH


Masalah ketidaksinambungan sejarah ini telah disinggung dalam diskusi tentang 
Manikebu versus Lekra di tahun-tahun 60an. Di negeri ini kukira memang ada 
ketidaksinambungan sejarah, bahkan pada suatu periode yang terjadi bukan hanya 
ketidaksinambungan sejarah tapi bahkan kebutaan sejarah negeri sendiri, 
termasuk dalam hal masalah debat sengit antara Lekra dengan para pendukung 
Manifes Kebudayaan yang sering disingkatg secara sinis dengan Manikebu. Istilah 
Manikebu ini pertama kali digunakan oleh Pramoedya A.Toer di Lentera, ruang 
kebudayaan harian Bintang Timur yang ia asuh. Manikebu adalah kata lain  dari 
"mani kerbau". 

Oleh adanya keadaan ketidaksinambungan sejarah ini maka sejak beberapa tahun di 
negeri ini ada usaha "meluruskan sejarah" -- istilah yang tidak semua orang 
setuju dengan alasan sejarah adalah sejarah. Ia, sejarah itu ada, dan 
memperlihatkan dirinya secara nyata. Lukisan sejarawan tidak lebih dari suatu 
tafsiran. Tafsiran sejarah sering sangat subyektif. Karena itu Prof. Arkoun 
dari Univ. Sorbonne [Paris III] dalam sebuah ceramahnya membedakan dua macam 
sejarah, yaitu sejarah tafsiran alias sejarah politis dan sejarah obyektif. 
Sejarah tafsiran atau politis adalah sejarah yang ditulis demi kepentingan 
politik tertentu dari suatu rezim tertentu. Oleh keberpihakan membuta begini 
maka si penulis tidak segan memutarbalikkan kenyataan dan menciptakan 
kebohongan yang oleh Goebel, menteri penerangan Hitler diberi dasar teori 
"kebohongan akan jadi kebenaran jika dipropagandakan terus-menerus". Tiga puluh 
tahun rezim Orde agaknya merupakan periode "penyebaran kebohongan" sehingga 
"kebohongan
 itu menjadi "kebenaran", kebenaran pihak pemegang kekuasaan, dan penyebaran 
kebohongan ini dikawal oleh Orde Baru Soeharto dengan pendekatan "keamanan dan 
kestabilan nasional" yang melahirkan ketakutan dan membunuh pertanyaan. 
Pertanyaan menjadi suatu tindak subversif.

Pemutarbalikan data sejarah dan penyebaran luas kebohongan oleh pemegang 
kekuasaan politik akan langsung mempunyai dampak pada masyarakat luas, 
lebih-lebih jika ia dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah si seluruh 
tingkat. Kebohongan dan pemutarbalikan ini diperkokoh oleh media massa yang 
hadir di rumah-rumah keluarga, menyusup hingga bilik-bilik pribadi saban hari 
sehingga anak-anak yang lahir dan diasuh pada zaman Orba boleh dikatakan tumbuh 
mendewasa dengan ide-ide kebohongan. Kalau kebohongan dan pemutarbalikan ini 
adalah daki-daki dan debu, maka daki dan debu-debu inilah yang menutup jiwa dan 
pikiran satu angkatan paling tidak, sama dekilnya dengan jiwa kaum sektarian. 
Membuang daki-daki dan debu ini bukanlah pekerjaan sederhana seperti membalik 
telapak tangan. Tidakkah masalah ini menjadi bidang garapan para sastrawan?!

Terbitnya berbagai Memoire para saksi sejarah yang masih tersisa dan lepas dari 
pembinasaan fisik, pada masa yang digelapkan sesudah turun panggungnya 
Soeharto, kukira termasuk acuan berguna bagi angkatan muda. Daya kritik tetap 
diperlukan dalam membaca Memoire itu, sebab sering dalam menulis tentang diri 
sendiri, orang gampang terpeleset ke lobang-lobang egosentrik.

Jadi kalau dikatakan di negeri ini ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah 
maka penanggungjawab utamanya adalah pemegang kekuasaan politik. Sejarah 
dijadikan alat penopang kekuasaan. Tapi sejarah itu sendiri tetap ada 
sebagaimana adanya kejadian-kejadian itu sendiri. Ia ada sebagaimana dirinya, 
entah disukai atau tidak, menyenangkan atau tidak tapi sebagai data dan 
kejadian ia akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Jika dikatakan 
ketidaksinambungan maka ketidaksinambungan itu sendiri, kukira adalah ujud dari 
suatu sejarah tertentu pada periode tertentu. Dari segi ini, aku kira, 
sesungguhnya tidak ada yang disebut ketidaksinambungan sejarah. Yang disebut 
ketidaksinambungan sejarah di atas, kukira, adalah praktek politik terhadap 
sejarah, dan praktek ini ujud dari sebuah sejarah juga. Sejarah sebagaimana 
adanya sejarah. Misalnya: Manikebu atau Lekra, suka atau tidak suka orang 
padanya, keduanya ada dan nyata ada dalam catatan sejarah. Masalahnya: 
Bagaimana kita memahami hakekat
 peristiwa dan menempatkannya dalam suatu rangkaian sari sejarah yang utuh.

Untuk memahami sari ide dan musabab atau roh yang melatari kejadian-kejadian 
ini untuk kepentingan-baik hari ini dan masa depan, kukira menjadi inti dari 
suatu pengkajian dan diskusi. Pengkajian masalah atau renungan, bukanlah 
mengembangkan saling hujat yang tak akan punya ujung, juga bukan pamer jasa dan 
kepahlawanan atau keluarbiasaan diri. Mengabaikan sari ide, mengenyampingkan 
roh, dan pertanyaan-pertanyaan hakiki, hanya akan membawa kita ke jalan buntu 
ketidaktahuan. Hal ini pun kukira berlaku pada saat kita memperbincangkan 
masalah Lekra versus Manikebu. Agar perbincangan jadi efektif, mengena pada 
sasaran barangkali, yang kita perlukan adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan 
dan membahas secara terfokus pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan adalah 
dermaga bagi pelayaran kapal pencarian. Dan pencarian ini adalah usaha yang tak 
punya sudah. Kepahaman hanyalah dermaga sementara guna melanjutkan pelayaran 
pencarian lebih lanjut ke penjuru-penjuru lebih luas yaitu peningkatan
 pemanusiawian dan pembudayaan diri manusia. Jika demikian benarkah sejarah itu 
terputus ataukah hanya warna periode ini dan itu berbeda satu dari yang lain -- 
tapi ia adalah salah satu warna saja dari suatu keutuhan lukisan? Menangkap roh 
dan sari ide lukisan inilah kukira yang akan menjadikan perbincangan efektif 
dan berguna serta bisa tersimpul. Agaknya, debat ide dan diskusi nalar memang 
bukan sederhana, tapi kiranya layak dibiasakan dan dipelajari. Kemampuan 
menggunakan sarana ini, kukira bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui tingkat 
kedewasaan yang sudah kita capai sebagai anak manusia.*** 

Paris, Juli 2005.
----------------
JJ.KUSNI


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




---------------------------------
YAHOO! GROUPS LINKS 


    Visit your group "ppiindia" on the web.
  
    To unsubscribe from this group, send an email to:
 [EMAIL PROTECTED]
  
    Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 


---------------------------------



Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke