From: "Mula Harahap" <[EMAIL PROTECTED]> 
Date: Mon Dec 25, 2006 1:45 pm 
Subject: Tentang Menjadi Teratai atau Lele (Re; Gerakan Syahwat Merdeka 
Mengepung Ind.)  mulaharahap 
 
  Sebagai seorang budayawan seharusnya Taufiq Ismail tahu bahwa kadang-
kadang seniman perlu menggunakan ekspresi-ekspresi tentang
seksualitas untuk memberikan kedalaman pemikiran dan perasaan dari
gagasan besar yang sedang diusungnya lewat karya kreatifnya itu. Dan
bila sang seniman berhasil membuat kita menangkap pesan yang lebih
dalam, maka ekspresi-ekspresi tersebut sebenarnya tidak menjadi
masalah. Dalam beberapa karyanya Umar Kayam Mohtar Lubis, N.H. Dini,
W.S. Rendra, Ahmad Tohari dsb. pernah memakai ekspresi-ekspresi
seperti tersebut di atas.
   
  Yang menjadi masalah ialah, bila ekspresi-ekspresi tentang
seksualitas itu tidak memberi kedalaman pemikiran dan perasaan
tentang gagasan besar yang sedang diusung sang seniman. (Apalagi
kalau ekspresi-ekspresi itu disajikan secara blatant dan vulgar).
Ekspresi-ekspresi tentang seksualitas itu menjadi mengganggu
dan "norak". Dan bagi orang yang tidak mempunyai cita rasa artistik
dan otaknya "ngeres", ekspresi-ekspresi itulah yang dianggapnya
sebagai gagasan besar yang sedang diusung oleh sang seniman. Pada
gilirannya pemahaman yang salah-kaprah itu hanya mengumbar nafsu
rendah manusia.
   
  Tapi saya jadi bertanya-tanya, mengapa hanya mengeluhkan ekspresi-
ekspresi tentang seksualitas? Bagaimana dengan ekspresi-ekspresi
tentang hal-hal lain yang juga diumbar secara berlebihan, blatant dan
vulgar?
   
  Saya melihat bahwa di banyak karya, ekspresi-ekspresi tentang Tuhan
dan agama pun acapkali diobral tanpa berhasil memberikan kedalaman
pemikiran dan perasaan dari gagasan besar yang sedang diusung sang
seniman lewat karya kreatifnya. Dan sama halnya seperti seksualitas,
ekspresi-ekspresi itu pun acapkali  terasa mengganggu, "norak",  dan
yang pada gilirannya juga hanya mengumbar nafsu rendah manusia.
   
  Kalau Taufiq Ismail mengeluh tentang media massa kita yang sarat
dengan ekspresi-ekspresi tentang seksualitas, maka seyogianya ia juga
mengeluh tentang media massa kita yang juga sarat dengan ekspresi-
ekspresi tentang Tuhan dan agama yang blatant dan vulgar. Bagi saya,
mengobral ekspresi tentang seksualitas demi tujuan popularitas dan
uang, sama saja bahayanya dengan mengobral ekspresi tentang Tuhan dan
agama  demi tujuan popularitas dan uang.
   
  Tapi dalam konteks karya-karya kreatif, kita sebenarnya bukan hanya
mengalami masalah dengan ekspresi-ekspresi tentang seksualitas dan
Tuhan. Kita juga mengalami masalah dengan ekspresi-ekspresi tentang
reformasi, demokrasi, keadilan, pendidikan, dan sebagainya.
   
  Menurut hemat saya, dewasa ini persoalan kita sebagai masyarakat dan
bangsa ialah bahwa kita telah kehilangan citarasa dan kepekaaan dalam
memandang berbagai kenyataan kehidupan. (Aduh, lihatlah tingkah laku
para politisi, birokrasi, penggiat LSM dan sebagainya itu). Kita
sedang mengalami proses pendangkalan berpikir dan merasa.
  Tapi pada fihak lain, para seniman kita pun tak bisa melepaskan diri
dari kubangan lumpur pendangkalan yang sedang melanda masyarakat dan
bangsanya. (Alih-alih menjadi teratai yang mampu memberikan bunga
yang indah, mereka tetap tinggal menjadi lele).
   
  Mereka telah kehilangan kemampuan untuk bisa menangkap berbagai
persoalan kehidupan yang dihadapi oleh dirinya, masyarakatnya dan
bangsanya, serta juga telah kehilangan kemampuan untuk membungkus
persoalan-persoalan  tersebut secara kreatif dalam ekspresi-ekspresi
yang subtil, sehingga masyarakat menjadi terbebaskan dan tercerahkan.
  Kalau memang benar adanya bahwa reformasi, demokrasi, keadilan,
kesejahteraan, seksualitas dan Tuhan adalah persoalan besar yang
sedang kita hadapi sebagai masyarakat dan bangsa; maka mana karya-
karya membebaskan dan mencerahkan yang merupakan pergumulan intens
para seniman tentang hal-hal tersebut? Tidak ada!
   
  Memang dalam beberapa karyanya seniman-seniman kita merepet tentang
reformasi, demokrasi, keadilan, kesejahteraan dsb. Tapi ekspresi-
ekspresinya juga sama blatant dan vulgarnya seperti ketika mereka
berbicara tentang seksualitas dan Tuhan serta agama. Dengarkanlah
ekspresi-ekspresi yang biasa dibacakan oleh para seniman kita
(bersama dengan para saudagar, bintang filem sinetron, politisi,
agamawan dsb) pada malam menjelang Hari Proklamasi 17 Agustus atau
malam Pergantian Tahun itu. Datar, dingin, tak memberi kedalaman apa
pun, bahkan mengganggu atau "norak". (Dan menurut hemat saya sajak-
sajak Taufiq Ismail adalah salah satu dari karya yang seperti itu).
   
  Kalau saya hadir di TIM ketika Taufiq Ismail membacakan orasi
kebudayaannya, saya juga pasti gelisah. Tapi kegelisahan saya pasti
akan berbeda dengan kegelisahan Din Syamsuddin dan kaum agamawan
lainnya yang cenderung melihat kerusakan moral masyarakat dan bangsa
ini hanya di seputar kebobrokan moral dan etika seksual.
   
  Saya gelisah karena seorang seniman dan budayawan seperti Taufiq
Ismail melihat persoalan masyarakat dan bangsa ini secara sangat
sederhana dan meredusirnya hanya ke urusan seksualitas. Saya gelisah
karena orasi kebudayaan cenderung berubah menjadi ceramah agama yang
populer. Saya gelisah karena lagi-lagi seniman dan budayawan
Indonesia--dalam kasus ini, Taufiq Ismail--tak mampu menangkap
persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dan bangsanya secara
mendalam dan komprehensif.
   
  Akhirnya, maafkanlah saya kalau gerutuan saya ini berubah
menjadi "orasi kebudayaan" yang seharusnya menjadi porsi tuan-tuan
terhormat yang menduduki kursi Akademi Jakarta itu.
  Selamat memasuki Tahun Baru 2007. Jayalah Indonesia.
   
  Horas,
   
  Mula Harahap
  
In mediacare@yahoogroups.com, "Wido Q Supraha" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Jumat, 22 Desember 2006
  Gerakan Syahwat Merdeka Mengepung Indonesia
  Seorang bule bertubuh tinggi besar bergegas ke luar ruangan Teater
Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Langkahnya acuh saja. Sembari berjalan lurus, dia kemudian mendekati
penyair Taufiq Ismail yang tengah dirubung banyak orang. Setelah
sampai di dekat Taufiq, ia menyalaminya.
  ''Selamat ya. Pidato kebudayaan Anda bagus sekali. Tapi ingat, media
massa Indonesia juga banyak sampahnya. Lihat siaran televisi Anda.
Bayangkan kalau di Amerika tayangan itu diputar pada pukul 03.00
pagi, di sini malah diputar pada prime time,'' kata si bule sembari
memegang tangan Taufiq. Yang disalaminya pun membalas dengan senyum
simpul. ''Terima kasih Tuchrello. Memang demikian adanya. Maaf, kalau
banyak mengambil contoh negara Anda,'' jawab Taufiq.
   
  Sesaat dia lantas menerangkan sahabatnya itu adalah Will Tuchrello,
direktur Perpustakaan Kongres AS Perwakilan Indonesia. ''Bayangkan,
mereka saja resah atas menggejalanya budaya bebas tanpa batas itu.
Tapi, kok kita tidak ya?'' ujar penulis lirik lagu-lagu hits Bimbo ini.
   
  Taufiq, Rabu (20/12) malam, melalui pidato kebudayaannya di depan
kalangan Akademi Jakarta mengguncangkan kesadaran publik untuk
kembali menengok nurani pada hilangnya rasa malu orang Indonesia.
Bahkan, Taufiq lugas menyebutkan hilangnya rasa malu itu telah mulai
meruntuhkan bangunan bangsa.
   
  Tagihan rekening reformasi, menurut Taufiq, ternyata mahal sekali.
Indonesia dikepung gerakan 'Syahwat Merdeka'! ''Gerakan syahwat
merdeka ini tak bersosok organisasi resmi, dan jelas tidak berdiri
sendiri. Tapi, bekerja sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia,
dengan kapital raksasa mendanainya. Ideologi gabungan yang
melandasinya, dan banyak media massa cetak dan eletronik menjadi
pengeras suaranya,'' kata Taufiq dalam pidatonya.
   
  Ketika mendengar 'kesaksian' Taufiq, sesaat ruangan Teater Kecil yang
penuh dipadati puluhan pengunjung mendadak berubah. Ketua Umum PP
Muhammadiyah, Din Syamsuddin, misalnya, segera membuka buku kecil
yang memuat pidato Taufiq Ismail.
   
  Dari arah bangku belakang, kemudian terdengar lenguhan panjang.
Seorang ibu berguman. Penulis skenario film senior, Misbach Yusa
Biran, menggeleng-gelangkan kepala. Pemusik kontemporer Slamet Abdul
Syukur tepekur di kursinya.
   
  Ruangan teater pun terus senyap. Suhu udara berpendingin kini mulai
terasa merambahi kulit. Taufiq kemudian meneruskan pidatonya dengan
menjelaskan mengenai siapa saja yang menjadi komponen 'syahwat
merdeka' itu.
   
  Paling tidak ada 13 pihak yang menjadi pendukung fanatik gerakan ini.
Pertama adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok
seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi.
Kedua, para penerbit majalah dan tabloid mesum yang telah menikmati
tiada perlunya SIUPP. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan
televisi.
   
  ''Semua orang tahu betapa ekstentifnya pengaruh layar kaca. Setiap
tayangan televisi rata-rata 170 juta pemirsa. Untuk situs porno kini
tersedia 4,2 juta di dunia dan 100 ribu di internet Indonesia. Untuk
mengaksesnya malah tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San
Fransisco, maupun Klaten,'' tegasnya.
   
  Pendukung keempat adalah penulis, penerbit, dan propagandanis buku-
buku sastra dan bukan sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-
cabulkan karyanya adalah penulis pria. Di Indonesia sebaliknya.
Penulis yang asyik menulis wilayah 'selangkangan dan sekitarnya'
mayoritas perempuan. ''Dalam hal ini ada kritikus Malaysia
berkata, 'Wah Pak Taufiq, pengarang Indonesia berani-berani. Kok
mereka tidak malu?'' ungkap Taufiq Ismail.
   
  Kelima, penerbit dan pengedar komik cabul. Keenam, produsen VCD/DVD
porno. Ketujuh, pabrikan alkohol. Kedelapan, produsen, pengedar, dan
pengguna narkoba. Kesembilan, pabrikan, pengiklan, dan pengisap
rokok. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan dalam masyarakat permisif,
interaksi antara seks, narkoba, dan nikotin akrab sekali. Sukar
dipisahkan.
   
  Selanjutnya, komponen ke-10 adalah para pengiklan perempuan dan laki-
laki panggilan. Ke-11, germo dan pelanggan prostitusi. Ke-12 adalah
dukun dan dokter praktisi aborsi.
   
  ''Bayangkan data menunjukan angka aborsi di Indonesia mencapai 2,2
juta setahun. Maknanya, setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu
tempat di negeri kita meninggal di suatu tempat akibat dari salah
satu atau gabungan faktor-faktor di atas,'' tandas Taufiq Ismail.
  Menurut Taufiq, kehancuran hilangnya rasa malu itu kemudian tecermin
dalam gemuruh gelombang penolakan RUU Pronografi dan Pornoaksi. Ini
adalah pihak ke-13. Pada satu sisi memang ada kekurangan. Dan salah
satu kekurangan RUU ini, yang perlu ditambah dan disempurnakan adalah
perlindungan terhadap anak-anak yang jumlahnya 60 juta.
  Perbandingannya, kalau di Indonesia masih nihil perundangan
perlindungan anak, di AS anak-anak di sana paling tidak kini
dilindungi enam undang-undang.
   
  Sastra ganjil
   
  Mengomentari keresahan Taufiq, pengarang perempuan NH Dini
menyatakan, saat ini memang ada yang ganjil dalam dunia sastra. Entah
mengapa tiba-tiba ada sekelompok penulis perempuan yang giat menulis
cerita bergaya pornografi. Mereka memang tidak merasa risi atau malu.
Entah sengaja atau tidak, mereka sudah menyalahartikan erotisme
menjadi sama saja dengan pronografi.
   
  ''Beberapa waktu lalu, ketika tinggal di Prancis, saya dikirimi
mendiang Ramadhan KH sebuah novel Indonesia yang mendapat penghargaan
karya sastra. Ramadhan, karena tidak 'kuat' membaca, meminta saya
membaca novel tersebut. Dan benar, saya hanya kuat baca beberapa
lembar saja.'' ''Saya kemudian berpikir, apa bagusnya novel ini, kok
sampai mendapat penghargaan? Malah lebih terkejut lagi, ketika
bertemu dengan seorang rohaniwan, dia malah memuji novel itu.
Akhirnya, saya semakin tidak mengerti,'' tutur NH Dini.
   
  Budayawan Riau, Al Azhar, menyatakan, apa yang dikatakan Taufiq itu
memang kenyataan yang kini terjadi. Beberapa penulis memang
menghasilkan karya yang 'tidak masuk akal' karena hanya membahas soal
selangkangan. Dominasi ide hanya memaparkan idealisme hedonis.
Realitas kehidupan rakyat yang berbudi diabaikan.
   
  ''Entah apa yang dipikirkan generasi hedonis itu. Mutunya sangat jauh
bila dibanding karya Pramudya Ananta Toer atau Ahmad Tohari. Terjadi
penurunan mutu karya yang serius. Generasi syahwat merdeka memang
kini mengepung kita,'' tandas Al Azhar.
  ( muhammad subarkah )
  
<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=276485&kat_id=3a.co.id/koran_detail.asp?id=276485&kat_id=3
 

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke