http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=118104
[ Jum'at, 19 Februari 2010 ] 


Mutualisme UU Perkawinan-Agama 

Oleh: Nur Aisyah

PERDEBATAN seputar Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Material Peradilan 
Bidang Perkawinan (RUU HMPBP) yang kini masuk dalam salah satu program 
legislasi nasional 2010 kian ramai. Khalayak kian gencar memperbincangkan 
sanksi pidana bagi pelaku perkawinan siri, mut'ah (kontrak), perkawinan kedua, 
ketiga, dan keempat, serta perceraian tanpa di muka pengadilan, melakukan 
perzinaan dan menolak bertanggung jawab, menikahkan atau menjadi wali nikah.

Sebagaimana banyak diberitakan, draf RUU HMPBP menyebutkan ancaman hukuman 
pidana bervariasi, mulai 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai Rp 6 juta 
hingga Rp 12 juta. Bagi yang pro, salah satu alasannya adalah untuk menjaga 
hak-hak perempuan dan anak. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahfud M.D., 
misalnya. Dia sepakat akan wacana pelarangan pernikahan siri dalam RUU HMPHP 
itu dengan alasan agar tidak terdapat korban akibat pernikahan jenis tersebut. 

Sementara bagi yang berseberangan atau yang kontra, agama (baca: Islam) secara 
normatif tidak melarang menikah di bawah tangan (nikah siri). Selama memenuhi 
sarat dan rukunnya, tanpa dicatat di hadapan pejabat nikah pun, hukum 
pernikahan itu sah. Negara tidak berhak mengurusi persoalan agama. 

Argumentasi demikian tentu dangkal dan cenderung dikotomis. Memang, di satu 
sisi menikah adalah urusan agama. Namun, di sisi lain juga terkandung persoalan 
sosial, seperti kesejahteraan dan rasa aman, berkait erat dengan masa depan 
anak dan kebahagiaan perempuan (istri) yang menuntut keterlibatan negara. 

Di lapangan, tidak sedikit hak perempuan dan anak terabaikan sebagai dampak 
dari nikah siri. Pejabat Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar 
pun mengakui korban akibat nikah siri sudah banyak terjadi. Dalam konteks ini, 
penulis menaruh apresiasi terhadap pemberlakuan UU baru itu yang konon sebagai 
penyempurna UU No 1 tentang Perkawinan Tahun 1975. 

***

Logika bahwa menikah adalah urusan agama yang terlepas dari intervensi negara 
tampaknya perlu digugat -untuk tidak mengatakan diluruskan. Logika di atas 
masih dominan berpijak pada konsep klasik dalam mengklasifikasikan pemahaman 
agama. Padahal, dalam konteks kehidupan saat ini, konsepsi-konsepsi di atas 
perlu ditampilkan dengan wajah baru agar sesuai dengan tuntutan zaman, 
khususnya persoalan jenis nikah siri. Apalagi, konteks bersosial, berhukum, dan 
berpolitik di negeri ini bisa dikatakan unik. Indonesia bukan negara sekuler, 
negara Islam pun bukan. Singkatnya, relasi agama dan politik sulit 
diidentifikasi jenis kelaminnya jika dilihat dari sudut pandang ilmu atau 
teori-teori politik yang selama ini dianggap pakem. 

Kendati demikian, antara agama, sosial, hukum, dan politik tidaklah dilihat 
sebagai entitas-entitas yang terpisah. Butir-butir Pancasila secara gamblang 
menegaskan bahwa antara agama dan negara adalah dua variabel yang saling 
terkait. Yang perlu dipikirkan dan menjadi tantangan bersama adalah bagaimana 
proses dan mekanisme mengimplementasikan gagasan integrasi antarentitas di 
atas. Dengan cara pandang itu, terbuka lebar tirai jawaban yang utuh terkait 
dengan perdebatan sanksi pidana dalam nikah siri. Utuh dalam arti tidak saling 
menafikan antarentitas, selain tidak ada pihak-pihak tertentu yang dirugikan. 

Hal demikian sekaligus menandaskan bahwa dalam melihat persoalan perkawinan 
siri kita tidak parsial dan tidak terjebak pada konsepsi: apakah nikah bagian 
dari urusan agama atau sosial (politik). 

Idealnya, memang agama menjamin kesentosaan dan kemakmuran. Namun, mentalitas 
dan kesadaran beragama yang sejati masih jauh panggang dari api. Agama kurang 
menampakkan wajah egaliter dan tanggung jawab profetiknya di masyarakat. 
Parahnya lagi, akibat ulah penganutnya, agama turut melanggengkan 
praktik-praktik pengabaian hak-hak bagi perempuan dan anak. 

***

Intervensi negara di sini tidaklah diartikan sebagai intervensi berlebihan 
negara terhadap ruang-ruang privasi individu. Agama dan negara secara prinsip 
memang dipisahkan. Negara lebih menitikeratkan dan ditujukan pada 
persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang dimunculkan oleh 
praktik-praktik dan pengalaman beragama. 

Perlu ada semacam pergeseran konsepsi bahwa pernikahan bukanlah semata 
berkaitan dengan hal-hal transendental atau semata pengalaman pribadi. Lebih 
dari itu, pernikahan berkelindan dengan urusan sosial, pemenuhan hak dan 
kewajiban, mulai keluarga, masyarakat, hingga pengaruhnya terhadap masalah 
negara. Dari pernikahan dan keluarga itulah kemudian terbentuk kehidupan sosial 
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Urusan agama, negara, privasi (individu), dan sosial sejatinya dilihat secara 
integral, tidak dikotomis, apalagi dipertentangkan. Antara urusan akhirat dan 
duniawi dalam satu bingkai utuh. Analoginya, keselamatan di akhirat adalah juga 
keselamatan di dunia. Keterkaitan nikah, agama, dan negara dengan pemenuhan 
hak, tanggung jawab, dan kewajiban harus berjalan seimbang. 

Tepat jika dikatakan turut campurnya negara dalam urusan perkawinan, khususnya 
masalah sanksi nikah siri, negara mengakomodasi dua urusan secara bersamaan, 
yakni urusan sosial dan agama. Dan, logika dikotomis yang mempertentangkan 
agama dan negara "berbahaya", yakni menggiring pada pola pikir pilihan apakah 
sekuler atau teokrasi (negara Islam). Pilihan kita tentu adalah berdasarkan 
ideologi Pancasila. Tidak sekuler dan bukan pula negara Islam. Paradigma 
simbiosis mutualisme antara agama dan negara di atas jargon Pancasila 
selayaknya dipancangkan kuat-kuat. Semoga! (*)

*). Nur Aisyah SPdI, peminat masalah sosial, alumnus Pascasarjana UMS, Solo 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke