Komentar: 

Biasa-biasa saja.... Pertanyaan "Jika Kita Memang Beragama, Kenapa Ada Trend 
Korupsi?" itu muncul, karena orang mengira beragama (menganut suatu agama 
secara formal) itu sama dengan beriman. Padahal, beriman itu tidak harus 
identik dengan beragama. Kalau orang beriman, pastilah tidak akan korupsi. 
Tetapi kalau sekadar beragama (baca: sekadar menjalani ritual agama), bukan 
saja bisa korupsi, ia bahkan bisa membunuh, merampok, memperkosa, dsb..dsb...

Kesimpulan sementara: Rakyat Indonesia banyak yang beragama, tetapi sedikit 
yang betul-betul beriman. 


--- On Thu, 5/13/10, sunny <am...@tele2.se> wrote:

From: sunny <am...@tele2.se>
Subject: [ppiindia] Jika Kita Memang Beragama, Kenapa Ada Trend Korupsi?
To: undisclosed-recipi...@yahoo.com
Date: Thursday, May 13, 2010, 9:04 PM







 



  


    
      
      
      Refleksi :  Apa komentar Anda sebgai orang beriman, terhadap pertanyaan : 
"Jika kita memang beragama, kenapa  korupsi  merajalela? 



http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=54664:jika-kita-memang-beragama-kenapa-ada-trend-korupsi&catid=78:umum&Itemid=139



Jika Kita Memang Beragama, Kenapa Ada Trend Korupsi?      

      Oleh : Rayenda Khresna Brahmana 



Pidato pengukuhan guru besar Prof. Fauziah Md Taib di Universiti Sains Malaysia 
bulan lalu sangat menginspirasi. Pidato tersebut menjelaskan bagaimana 40.000 
neuron di jantung (heart) lebih memiliki andil dalam kognasi manusia dibanding 
dengan milyaran neuron di otak (brain).



Artinya, tindakan perilaku manusia sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh 
neuron atau sel pikir dari jantung. Hal ini selaras dengan Armour dan Ardell 
(1994) yang menyatakan jantung merupakan "otak kecil" yang turut andil dalam 
afeksi, kognisi, dan kognasi. Otak kecil pada jantung inilah yang kita kenal 
sebagai hati nurani.



Secara logika, jika otak kecil di jantung (baca: hati nurani) memiliki andil 
dalam perilaku, ditambah dengan landasan etika dan moral yang baik dari agama, 
kenapa kasus kecurangan dan korupsi tetap ada? Lalu dimana peranan agama? Hal 
ini mengingatkan penulis dengan wawancara antara Susno Duaji dengan Tabloid 
Suara Islam. Berikut petikannya:



"Saya kira solusinya kita perbaiki moral melalui agama seluruh pimpinan negara 
ini. Sekarang ini kan orang tidak takut lagi sama Tuhan. Mereka tetap Sholat 
lima waktu tetapi korupsinya jalan terus. Kalau mereka ketemu daging babi 
muntah muntah, tetapi aspal dan pasir masuk perut." Hal yang menjadi catatan 
adalah ungkapan Susno Duaji bahwa Agama dan Korupsi merupakan dua hal yang bisa 
saja berjalan beriringan. Seseorang meskipun telah melakukan sholat lima waktu 
atau pergi ke gereja setiap minggu, tetap memiliki probabilitas yang besar 
untuk melakukan korupsi. 



Pendapat Susno Duaji tentu saja sejalan dengan bukti empiris seperti oknum yang 
telah pergi haji tetapi tetap tergoda melakukan korupsi atau para Mafia Cosa 
Nostra yang tetap pergi ke gereja setiap minggu. Secara teoritis, Paldam (2001) 
mengpostulasi hubungan agama dan korupsi berdasarkan the good competition 
theory-nya Adam Smith dan dynamic group collusion-nya David Hume. Paldam 
menjelaskan bahwa negara dengan jumlah keberagaman agama dan kepercayaan yang 
tinggi akan memiliki tingkat korupsi yang relatif lebih rendah daripada negara 
satu agama. Sayangnya, hal ini mungkin tidak berlaku di Indonesia. Di negara 
kita, Agama dan Korupsi seakan dua hal yang bersinergi.



Bukti-bukti empiris ini membuat kita kembali bertanya, jika otak kecil di 
jantung kita memiliki nilai agama yang kuat, lalu kenapa Indonesia tetap jadi 
sarang korupsi? Jika seharusnya keberagaman agama mengeliminasi tingkat 
korupsi, kenapa Indonesia tetap "membudayakan" korupsi? Kenapa kita beragama, 
jika trend korupsi tetap ada di Indonesia?



Disonasi Kognisi



Penjelasan paling sederhana untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah disonasi 
kognisi (Cognitive Dissonance). Teori ini menyatakan bahwa manusia mencari 
rasionalisasi dibalik penyesalan atas tindakan. Misalnya saja, seseorang akan 
memberi Zakat atau persepuluhan lebih besar kepada mesjid atau gereja ketika 
dia sadar dia telah melakukan korupsi. Contoh lainnya adalah seseorang akan 
lebih rajin beribadah ketika dia telah melakukan korupsi. Secara disonasi 
kognisi, tindakan ini diambil oleh koruptor sebagai cara untuk mencuci dosa 
korupsi. Hati nurani pun "berpikir" bahwa ritual dan ibadah agama adalah cara 
paling mudah untuk menghapus dosa korupsi. Ini mengindikasikan bahwa agama 
menjadi alat melenggangkan korupsi. Singkatnya, koruptor membutuhkan (ritual) 
agama sebagai media menghapus dosa. Bagi koruptor, agama adalah rasionalisasi 
termudah dan tersederhana untuk mencuci dosa.



Neuroteologi



Dalam ilmu neuroteologi, agama dan Tuhan diuraikan sebagai pengejawantahan atas 
neuron. Tuhan lebih bersifat hasil pemikiran daripada sebuah jiwa. Jika teori 
ini benar, hubungan sinergi antara agama dan korupsi mengindikasikan syaraf 
dalam tubuh kita telah permisif terhadap korupsi. Rasa bersalah dan cemas dapat 
ditekan oleh syaraf karena rasa penebusan dosa melalui agama. Lebih parah lagi, 
jika titik Tuhan (God Spot) dalam syaraf manusia telah tergantikan oleh 
tindakan permisif korupsi. Ini berarti bahwa agama mampu memberikan ketenangan 
jiwa bagi koruptor karena digunakan untuk penebusan rasa bersalah korupsi. 
Korupsi pun dapat beralih menjadi hal yang dapat ditebus dengan melakukan 
ritual keagamaan. Manusia pun akan berjamaah melakukan korupsi karena ada agama.



Penyakit Mental



Harmonisnya agama dan korupsi dalam kehidupan bisa juga mengindikasikan 
penyakit mental. Bagaimana mungkin agama yang mengajarkan nilai kehidupan yang 
baik menjadi tameng para koruptor untuk melakukan korupsi? Bagaimana mungkin 
Agama yang mengamalkan nilai moral yang tinggi diletakkan terpisah dengan 
tindak tanduk jahat koruptor? Jika proposisi ini benar, apakah ini berarti 
koruptor di Indonesia sedang mengalami penyakit kejiwaan (mental sickness)? 
Teoritisnya, Indonesia yang memiliki keberagaman kepercayaan seharusnya 
memiliki tingkat korupsi yang kecil. Namun faktanya, korupsi seolah menjadi 
darah dan daging. Dispersi inilah mengindikasikan bahwa koruptor yang berjamaah 
tadi sedang mengalami penyakit mental.



Universalisme Moral



Momok yang harus ditakutkan adalah ketika budaya korupsi menjadi universalisme 
moral. Artinya, korupsi diterima secara bersama sebagai moral yang buruk tetapi 
dapat dilakukan karena dosanya dapat ditebus melalui ritual agama. Ketika 
korupsi menjadi hal yang awam dan ditambah disonasi kognisi, maka neuron hati 
nurani akan merespon bahwa tindakan korupsi merupakan hal yang wajar untuk 
dilakukan. Hal ini akan semakin parah jika institusi agama telah ikut di 
"bail-out" oleh koruptor dan tidak dapat menjadi pengingat moral (moral 
reminder). Sehingga ketika hati nurani bertanya: "apakah korupsi melanggar 
ajaran agama ataupun moral?", hati kita pun menjawabnya, "Korupsi tidak salah 
secara universalisme". Otak kecil di jantung tadi tidak memberi respon rasa 
takut dan cemas atas dosa. Lalu korupsi pun menjadi agama baru buat kita. 
Semoga ini tidak terjadi.***



Penulis Kandidat PhD di Universiti Sains Malaysia, alumnus University of 
Birmingham, Pendiri Financial Market Community Unpad.

     



[Non-text portions of this message have been removed]





    
     

    
    


 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke