http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=54932:terorisme-dalam-perspektif-psikologi&catid=78:umum&Itemid=131


      Terorisme dalam Perspektif Psikologi      
      Oleh: Vety Dazefa 

      Tim Densus 88 Mabes Polri bekerjasama dengan Ditjen PAS Kemenkum HAM baru 
saja memindahkan 2 terpidana mati teroris ke LP Nusakambangan. 

      Mereka sebelumnya sempat mendekam di LP Cipinang, Jakarta Timur. Dua 
orang terpidana mati kasus terorisme tersebut adalah Iwan Darmawan Mutho alias 
Muhammad Rois dan Ahmad Hasan. Keduanya terlibat dalam kasus pengeboman 
Kedutaan Besar Australia tahun 2004.

      Rois dan Hasan sempat disebut-sebut sebagai orang yang mengatur pelatihan 
teroris di Aceh. Meski di dalam penjara, keduanya dikabarkan masih memiliki 
jaringan yang cukup luas. 

      Belum jelas apakah pemindahan ini dimaksudkan untuk memutus jaringan 
tersebut. Menkum HAM Patrialis Akbar sempat menelusuri informasi mengenai 
keterlibatan napi teroris terkait jaringan teroris Aceh-Pamulang. 

      Dia juga pernah melakukan razia kepemilikan telepon seluler (HP) di LP 
Cipinang. Khususnya terhadap Rois. Rois bersama dengan Doktor Azahari dan 
Noordin M Top adalah perencana pengeboman Kedutaan Besar Australia, 9 September 
2004. Rois ditangkap polisi pada November 2004 di rumah kontrakannya di 
Leuwiliang, Bogor. 

      Atas aksinya, Rois pun divonis hukuman mati pada 13 September 2005 oleh 
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sehari kemudian, tersangka lainnya, Ahmad 
Hasan, juga dijatuhi vonis hukuman mati oleh pengadilan yang sama.

      Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah 
antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak 
dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. 

      Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak 
Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai 
akibat dari Tragedi Bali beberapa tahun lalu, merupakan kewajiban pemerintah 
untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan 
mempidanakan pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. 

      Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan 
pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana 
Terorisme. 

      KUHP Belum Mengatur Secara Khusus 

      Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini 
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus 
serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. Pemerintah 
Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak 
Pidana Terorisme.

      Sebenarnya, siapa sih teroris itu? memang cukup sulit untuk menjelaskan 
dengan tepat istilah tersebut. Tetapi untuk memberikan sedikit gambaran, 
teroris adalah sebuah komunitas untuk menyampaikan pesan kepada pihak-pihak 
tertentu dengan cara melakukan aksi teror. 

      Yang banyak terjadi pada gerakan teroris di Indonesia ini dilakukan 
dengan cara aksi bom bunuh diri dengan mengatasnamakan agama dan mereka 
menyatakan bahwa mereka telah berjihad untuk Islam. Padahal sebenarnya Islam 
tidak mengenal konsep jihad dengan makna membunuh ketika berada dalam situasi 
damai dan tenteram. 

      Berjihad dalam perang pun sebenarnya dilakukan dalam konteks untuk 
mempertahankan diri. Tentu saja hal ini cukup merusak citra Islam sebagai agama 
yang mengajarkan keselamatan dan kedamaian yang diharapkan melahirkan 
pribadi-pribadi yang mulia secara sosial.

      Pertanyaannya yang sering muncul adalah mengapa pelaku bom bunuh diri 
tersebut yang sering disebut teroris yang notabene adalah seorang Muslim yang 
baik, shaleh, rajin shalat, taat menjalankan perintah agama, tidak pernah 
berbuat onar di masyarakat, menguasai berbagai pengetahuan termasuk ilmu agama? 
Mengapa mereka bisa melakukan itu semua? 

      Untuk menilai kepribadian seseorang tidak hanya dilihat dari satu faktor 
saja. Sangat kompleks permasalahannya karena manusia adalah mahluk yang 
dinamis. 

      Ideologi

      Bicara masalah terorisme, sulit untuk melepaskannya dari masalah 
ideologi. Ideologi adalah energi. Ketika sebuah gagasan, ideologi, dan 
keyakinan agama bersinergi, akan terjadi multiplikasi energi. Energi akan 
mengeras dan memiliki daya rusak tinggi saat digerakkan rasa dendam dan 
frustrasi yang tidak tersalurkan, didukung teknologi perakitan bom yang 
canggih. 

      Dengan mencari pembenaran pada ayat-ayat kitab suci yang tafsirannya 
disesuaikan dengan situasi batinnya, kematian diyakini sebagai emansipasi jiwa 
yang diberi label syahid, agar terbebas dari beban hidup dan bisa tersenyum 
saat jalan kematian ada di depannya, dan yakin surga telah menanti. 

      Para teroris memilih jalan kekalahan dan kematian, dimanipulasi, dan 
diyakini sebagai kemenangan dan kejayaan di surga. Mereka merasa telah membela 
agama dan bangsa, padahal yang terjadi adalah meninggalkan malapetaka dan 
fitnah ideologis berkepanjangan. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana 
kepribadian para teroris itu terbentuk perlu ada pendekatan khusus. 

      Sebenarnya apa sih kemungkinan latar belakang sikap yang dimiliki atau 
terbentuk sehingga menghasilkan pelaku teror sampai berani mengorbankan nyawa 
demi kepentingan kelompok tertentu?

      Biasanya seorang teroris mempunyai perilaku atau kepribadian yang anti 
sosial. Lihat saja gaya terpidana bom bali sewaktu dipenjara, kita bisa lihat 
perilaku mereka di televisi, mereka merasa bangga dengan ulah mereka dengan 
mengutuk golongan atau umat lain, dan merasa bahwa cara-cara yang ditempuh oleh 
teroris dengan kekerasan adalah benar sesuai dengan ideologi mereka. 

      Orang yang tidak bisa hidup dengan orang lain dalam suatu komunitas 
masyarakat yang majemuk adalah orang yang punya masalah dengan kepribadiannya. 
Orang yang bermasalah dengan kepribadian mempunyai dua kecenderungan sikap, 
yaitu sikap menarik diri dari masyarakat, dan sikap menentang masyarakat secara 
konfrontatif. 

      Pelaku teror malah melakukan dua-duanya, yaitu menarik diri lalu 
melakukan tindakan yang konfrontatif radikal.

      Biasanya tindakan yang dilakukan para teroris tersebut dibalut rasa 
kepahlawanan, yang mungkin hanya merupakan mekanisme psikologis yang mereka 
ciptakan sebagai kompensasi atas ketidakberdayaan yang dialami. Bahwa mereka 
bertindak menyerang dengan sasaran yang bukan musuh nyata, berarti mereka 
menyerang lebih karena kondisi psikologis yang dikuasai rasa permusuhan, tanpa 
objek yang jelas. 

      Dorongan agresi dahsyat yang terpendam mungkin berakar pada masa kecil 
yang banyak mengalami kekecewaan. Pelampiasan dorongan agresi dapat melalui 
saluran bermacam-macam. Namun, bahwa sebagian orang merasa cocok bergabung 
dengan kelompok teroris, ini menunjukkan bahwa dorongan agresi mereka berkaitan 
dengan kebutuhan tertentu, yang jawabannya mereka temukan dalam keanggotaan 
sebagai kelompok teroris. 

      Kekerasan merupakan ciri utama dari terorisme. Ciri lainnya adalah 
membentuk kelompok yang tersembunyi, menggunakan ideologi tertentu sebagai 
landasan gerakan, dan adanya perlawanan terhadap pemegang kekuasaan. 
Unsur-unsur ini mungkin merupakan jawaban atas kebutuhan psikologis orang-orang 
tertentu yang berpotensi jadi teroris.

      Kelompok merupakan sumber harga diri bagi seseorang. Dengan bergabung 
dalam suatu kelompok, seseorang dapat memenuhi kebutuhan akan identitas sosial. 
Dengan demikian, kelompok menjadi sumber harga diri terutama bagi individu yang 
mengalami rasa keterasingan. 

      Seseorang merasa cocok menjadi anggota kelompok teroris tentu karena 
terdapat kesesuaian antara misi kelompok dengan kebutuhan atau nilai-nilai 
pribadinya. Dengan melakukan perlawanan terhadap pemegang kekuasan, tampaknya 
ini merupakan saluran yang "tepat" bagi dorongan bawah sadar berupa tumpukan 
amarah terpendam terhadap suatu hal.

      Lingkungan keluarga tertutup tanpa disadari merupakan proses yang kurang 
tepat. Perilaku keluarga yang tertutup hanya akan mengkerdilkan wawasan anak. 
Anak harus diajak untuk bermain dan bergaul dengan teman-teman lain yang 
heterogen, dengan pemeluk agama lain, dengan suku lain, dan jika ada kesempatan 
bergaul dengan anak dari warga negara lain. Perbedaan yang disikapi sebagai hal 
yang tidak baik hanya akan menjadi masalah. 

      Apa yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah terorisme ini?

      Langkah pemerintah atau Polri meminta bantuan para mantan teroris 
merupakan salah satu alternatif untuk menanggulangi ancaman terorisme itu 
sendiri. Selain itu, pemerintah nampaknya juga perlu membuat UU Intelijen untuk 
mengatasi terorisme. Bahkan selama tidak dibentuk sebuah badan ideological 
surveillance yang mengawasi ideologi yang antikemanusiaan dan membahayakan 
NKRI, maka ancaman terorisme akan terus mengemuka.

      Sebenarnya memberantas teroris adalah tugas semua elemen bangsa, hukuman 
mati tidak akan menyelesaikan secara tuntas terorisme di Indonesia. Mati satu 
akan tumbuh seribu, mengingat jaringan terorisme dan ideologi yang ditanamkan 
sudah mengakar kuat. Pendidikan, bimbingan rohani, dan peningkatan kualitas 
ekonomi adalah jalan terbaik bagi pemberantasan terorisme.***

      Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke