Refleksi : Rezim autokratik Soeharto dan disusul rezim kleptokratik  tak 
mungkin direformasikan, sebab kedua sistem ini adalah seperti dikatakan 
pepatah: setali tiga uang. Bunglon hanya menyesuaikan  warna diri dengan 
keadaan sekeliling, tanpa ada perubahan mendasar, baik struktur mau pun bentuk. 

Bukankah yang menyebut mau mengreformasikan adalah orang-orang yang selama ini 
menikmati kelezatan kekuasan. Jadi mana bisa oknom-oknom ini mau membuang 
rejeki bin berkat dan kenikmatannya begitu saja. Sekali lagi ditergaskan bahwa 
masalahnya ibarat: "menyapu lantai kotor dengan sapu yang kotor".

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

  Sabtu, 15 Mei 201

Berharap pada Reformasi Birokrasi 
Oleh M. Mas'ud Said


KITA bisa sedikit bernapas lega. Rabu, 12 Mei 2010, Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY) membentuk Komite Reformasi Birokrasi Nasional dalam upaya 
melanjutkan rencana pemerintah yang sejak dulu belum efektif. Yaitu, 
terciptanya birokrasi yang akuntabel, produktif, profesional, dan bebas korupsi.

Rasa lega kita itu mungkin hampir sama seperti rasa puas sementara kita sesaat 
mendengar pengumuman program lainnya seperti yang dilakukan presiden dan 
menteri sebelumnya sejak era reformasi. Hampir setiap menteri Kementerian 
Penertiban Aparatur Negara (Men PAN) atau Mendagri dilantik, sering dibarengi 
dengan rencana reformasi birokrasi.

Namun, setidaknya, kali ini, kita bisa berharap lebih banyak. Sebab, desain dan 
format reformasi birokrasi yang baru ini dilengkapi hal-hal dasar yang 
dibutuhkan. Yakni, siapa yang bertanggung jawab atas reformasi birokrasi, apa 
saja content (isi) reformasi birokrasi, bagaimana road map yang dikehendaki, 
bahkan sedang disusun indikator dan konsekuensi apa saja yang akan bisa 
ditanggung (oknum) atau lembaga pemerintah kalau tidak sesuai dengan aturan 
birokrasi yang baik.

A Necessary Evil 

Tidak saja di Indonesia, di negara maju pun, birokrasi sering dikritik pedas. 
Birokrasi yang buruk digambarkan sebagai ''hantu buruk yang dibutuhkan'' atau 
''a necessary evil''. Secara akademik, fungsi birokrasi dan aparatur negara 
adalah penyelesai masalah atau a world of solution. Namun, kenyataannya, 
birokrasi sering menjadi bagian dari sumber masalah atau source of problem. 
Dalam kaitan inilah, salah seorang Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen 
pernah berujar, birokrasi kita bukanlah penyesai masalah, mereka itu adalah 
masalah juga.

Dalam kadar tertentu, birokrasi Indonesia sering dijangkiti penyakit (patologi) 
birokrasi seperti korupsi, manipulasi, sikap boros, dan kesukaannya memelihara 
upacara. Mulai upacara peresmian, pencanangan dimulainya sesuatu program, serta 
kebiasaan upacara setiap Senin tanpa menemukan makna esensinya. Masalahnya, 
kalau sudah dimulai dengan seremonial, sebagian tujuan dianggap tercapai. 
Selain itu, upacara ulang tahun daerah dan acara seremonial dianggap sebagai 
kebutuhan pokok. 

Secara garis besar, penampilan birokrasi di daerah kita, yang diharapkan 
membantu masyarakat untuk menyelesaikan beberapa keperluan dasarnya, gagal 
dipenuhi. Misalnya, sampai saat ini warga negara miskin dan tinggal di daerah 
terpencil sulit memperoleh hak-hak dasar seperti pendidikan murah, pelayanan 
kesehatan, serta jaminan hidup minimal bagi ''fakir miskin dan anak telantar'' 
sebagaimana diamanatkan pendiri negara. 

Dalam kaitan inilah, Komite Reformasi Birokrasi harus menfokuskan diri dalam 
bekerja nanti. Apa yang telah digariskan presiden agar komite reformasi 
birokrasi nasional bisa berperan untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga 
negara akan sulit tercapai bila tiga masalah dasar, yaitu struktur, kultur, dan 
aparatur birokrasi, tidak dipaksa berbenah diri. Teorinya, komite akan bisa 
berhasil bila terdapat kehendak dari kalangan birokrasi sendiri untuk berbenah.

Di negara berkembang, termasuk Indonesia, kelemahan birokrasi tidak hanya pada 
tataran strukturnya yang rigid, namun juga memiliki kelemahan proses serta 
kelemahan personel. Karena itu, orang sangat sulit memulai dari mana dan oleh 
siapa pembenahan mesti dimulai. Ketika suatu elemen birokrasi atau unsur non 
pemerintahan melakukan pembenahan, hal itu akan terdistorsi oleh kuatnya 
praktik buruk yang dilakukan secara sistemik.

Salah satu bentuk patologi birokrasi di negara-negara berkembang adalah adanya 
kecenderungan mengutamakan diri (self serving). Karena itu, kita lihat banyak 
pejabat birokrasi yang menaikkan gajinya di kala rakyat kelaparan dan sulit 
mendapatkan pekerjaan. Penyakit lain mempertahankan status quo dan resistan 
terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangan 
yang besar itu sering memanfaatkan untuk kepentingan sendiri. 

Birokrasi yang Inovatif 

Gejala modernisasi kehidupan, terutama di sektor pemerintahan, telah mengantar 
isu inovasi sebagai bagian integral dari usaha untuk mencapai kemajuan 
kehidupan manusia. Dengan kata lain, tidak akan ada kemajuan tanpa inovasi, 
tidak akan ada inovasi tanpa pembaruan teknologi, cara kerja, dan optimalisasi 
sumber daya yang ada. 

Pada kaitan pertama, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor yang 
terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Yang kedua bertumpu pada pandangan 
bahwa inovasi hanya bisa dilakukan jika organisasinya berubah, baik prosedur, 
struktur, maupun kulturnya. Yang ketiga adalah perpaduan antara faktor pertama 
dan kedua. Komite bisa mengusulkan tawaran-tawaran inovatif di berbagai lembaga 
pemerintahan di tingkat nasional, provinsi, sampai kabupaten dan desa.

Mike Davis, dalam tulisannya, menekankan bahwa untuk memulai birokrasi yang 
inovatif, disyaratkan perubahan yang konstan atau constant renewel dan 
fleksibilitas atau flexibilty. Dalam inovasi birokrasi, diperlukan inovator 
dalam organisasi. Dalam berinovasi, pimpinan birokrasi harus bisa menjadikan 
ide inovasi secara sistemik, menjelaskan secara runtut tujuan dan langkah, 
serta dan bagaimana proses adopsi ide tersebut akan dilaksanakan.

Selanjutnya, Davis menyatakan bahwa manajer birokrasi harus bisa melihat 
kesempatan, harus bisa menangkap dan menjelaskan kepada anggota organisasi 
untuk melakukan sesuatu yang baru, sesuatu yang baru itu akan bermanfaat bagi 
kemajuan organisasi. 

Apa persyaratan yang harus dimiliki seorang pejabat agar bisa melakukan 
inovasi? Ada tiga bahan dasar kemampuan kepemimpinan. Yaitu, rasa ingin tahu 
yang tinggi (curiosity), kejujuran penggagas (honesty), dan rasa ikut memiliki, 
andarbeni atau ownership. Tanpa tiga jiwa penting itu, tentu inovasi tidak akan 
bisa dilakukan dengan baik.

Pada masa lalu, birokrasi paling mengetahui banyak hal. Sekarang, birokrasi 
justru jauh ditinggalkan masyarakat yang lebih dulu memperoleh informasi, 
termasuk dunia usaha dan masyarakat profesional, karena kelambanan dan 
inefisiensi kerja birokrasi.

Perkembangan sosial politik terakhir di tanah air yang menjadikan geliat 
internal pemerintahan masih mengindikasikan bahwa kekuatan respons pemerintahan 
kita belum secepat yang diharapkan. Pada era yang disebut the era of openness 
and responsive government, era keterbukaan dan pemerintahan yang bertanggung 
jawab ini, belum ditemui momentum yang tepat, bahkan tampaknya belum menemukan 
tim yang kuat, untuk melaksanakannya.

Tidak semua pemerintah berani dan mampu serta menyediakan diri untuk mengadopsi 
sistem pelayanan yang inovatif. Hanya pemerintah, pimpinan birokrasi, yang 
inovatif yang dengan gigih melaksanakannya. Diharapkan, kehadiran komite ini 
bisa menjadi jawaban bagi masa depan reformasi birokrasi kita. Semoga. (*)

*) Prof M. Mas'ud Said PhD, guru besar ilmu pemerintahan UMM, fungsionaris DPP 
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke